"Assalamualaikum." dengan suara agak gemetar, aku masuk ke rumah kak Gita. Di sana sudah ada Arif, mas Fian; suami kak Gita, serta kak Gita sendiri.
Entah mengapa, meskipun sudah dua tahun bekerja di kantor yang sama dengan Arif, tapi setelah ia mengajukan Khitbah, setiap melihatnya dadaku selalu gemetar, badan pun ikutan panas dingin.
"Nah itu Rara sudah datang." kak Gita mempersilakan aku duduk di sampingnya. "Karena semua sudah ngumpul, silakan Rif, sampaikan apa yang ingin disampaikan." kak Gita mempersilakan pada Arif untuk berbicara. "Sepertinya penting sekali sampai ketemuannya dadakan gini."
"Mmm, sebenarnya ...." Arif tampak ragu-ragu, terbukti dari gerakannya yang tidak nyaman, tertangkap oleh ujung mataku.
"Kenapa Rif?" kini mas Fian yang buka suara. "Bicarakan saja. Tidak usah ragu-ragu. Toh kalian sebentar lagi menikah." tambah mas Fian, membuat pipiku jadi merona karena malu.
Mengingat tentang pernikahan yang tinggal menghitung hari memang selalu membuatku jadi salah tingkah. Membayangkan memasuki fase baru di hidupku. Di mana semuanya akan dilakukan bersama orang baru, yaitu Arif. Rasanya badan jadi semakin panas dingin.
"Baiklah. Sebelumnya saya mohon maaf." Arif menundukkan kepalanya. Entah mengapa, aku yang semula panas dingin karena merasa sedang jatuh cinta berubah resah. Muncul pertanyaan dalam benakku, apa yang ingin disampaikan Arif, mengapa ia terlihat tidak nyaman. Padahal ia biasanya santai sekali kalau berbincang dengan kami. Bahkan bisa sampai bercanda.
"Ya Rif, silakan," mas Fian kembali mempersilakan Arif.
"Saya ingin minta maaf pada Rara, saya tahu ini mungkin akan membuat Rara marah atau bahkan membenci saya. Tapi harus saya sampaikan." kata Arif dengan berat.
Semua orang kini fokus menanti kata-kata Arif selanjutnya. Sebab semua yang hadir benar-benar dibuat penasaran olehnya.
"Saya ingin membatalkan acara pernikahan dengan Rata," kata Arif, dengan suara pelan namun terdengar lantang di telingaku.
Hah, batal? Tunggu dulu, maksudnya apa? Entah kenapa, tiba-tiba di atas pundakku ada beban berat ratusan kilogram yang tidak bisa kuangkat. Sehingga membuatku otomatis menunduk.
"Apa?" kak Gita hampir melonjak dari tempat duduknya. "Kamu bicara apa, Rif?"
"Sabar Bun, biar Arif selesaikan pembicaraannya dulu." pinta mas Fian, masih berusaha setenang mungkin.
"Jadi saya ingin membatalkan rencana pernikahan dengan Rata." Arif mengulangi pernyataannya tadi.
"Tapi kenapa, Rif?" tanya mas Fian, sambil menggenggam erat tangan istrinya yang mulai naik darah.
"Karena menurut saya, Rara terlalu baik untuk saya. Rasanya saya tidak pantas mendapatkan Rata ...," kata Arif, namun langsung dipotong oleh kak Gita.
"Terlalu baik? Lalu kamu mau mencari calon istri yang bobrok atau berandalan, Rif? Iya?" kak Gita sudah tidak bisa menahan diri. Akhirnya ia bicara dengan nada suara naik dua oktaf.
"Bukan begitu, kak. Tapi ...," Arif tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
"Rif, sebenarnya ada apa?" mas Fian masih mencoba tenang menghadapi Arif yang mulai terasa menggemaskan.
"Saya tidak bisa menikah dengan Rara, mas." jawab Arif.
"Tapi kenapa?" tanya mas Fian lagi.
"Rara itu terlalu baik untuk saya, mas. Rasanya saya tidak akan mungkin bisa menyeimbangi Rara. Saya terlalu jauh dibandingkan Rara. Saya tidak percaya diri, mas." ungkap Arif.
"Jangan begitu, Rif. Kamu lihat saya dan istri. Kami juga berbeda jauh. Istri saya perfeksionis, ia bisa semua hal. Sementara saya sangat jauh dibandingkan dia. Bayangkan saja, dalam segala hal termasuk karir saya ketinggalan. Tapi saya tidak menolak itu, justru bersyukur Allah berikan semua itu. Kenapa? Sebab itu rezeki dari Allah. Yang terpenting kita bisa membimbing mereka menjadi istri yang shalihah." kata mas Fian.
"Enggak bisa mas. Saya tetap tidak bisa." ungkap Arif.
"Kamu ini, mau mempermainkan ya? Kamu kira kamu siapa Rif? Tega sekali kamu mempermainkan anak orang. Kamu tahu dosanya, Rif? Lagipula dari awal kan kamu tahu tentang pekerjaan Rara. Kenapa baru komplen sekarang?" bentak kan Gita, sambil bangkit dari duduknya. Mungkin kalau tangannya tidak ditahan mas Arif, sudah habis Arif dijambaknya.
"Bukan kak," jawab Arif, seperti takut menghadapi kak Gita.
"Alasan kamu itu terlalu klasik, Rif. Terlalu baik. Di telingaku terdengar seperti mengada-ada. Pasti ada alasan lain yang kamu sembunyikan. Iya, kan? Jawab, Rif!" kak Gita terus menyerang Arif, memaksanya mengaku, tapi yang diintrogasi tetap memilih jawaban klasik menurut kak Gita sebagai alasan pembatalan rencana pernikahan yang tinggal menghitung hari.
"Benar kak, semua karena menurut aku, Rara terlalu baik. Kakak tahu sendiri, kan, Rara lebih bagus karirnya di kantor, bahkan kemungkinan besar ia akan dinaikkan jabatan sebagai supervisor," ungkap Arif.
"Manajer!" tambah kak Gita.
"Hah, manajer? Benar, kak? Tuh kan," Arif langsung berubah uring-uringan. "Sementara aku hanya staff biasa, kak. Yang sepertinya naik jabatan hanya impian saja."
"Aneh, aku enggak bisa terima." ungkap kak Gita.
"Sudah, bunda diam dulu. Sekarang kita dengarkan apa pendapat Rara." usul mas Fian.
Kini, tiga pasang mata itu menatapku penuh tanda tanya. Mungkin mereka juga heran, sejak awal Arif mengemukakan pendapat, aku tidak bicara sedikitpun. Lebih memilih diam, mendengarkan perdebatan sengit antara Arif dan Kak Gita.
Sikapku itu mungkin karena kaget. Siapa coba yang enggak syok, mendengar kata pembatalan dari seseorang yang kita percaya akan menghabiskan sisa hidup kita, hanya sepekan sebelum pernikahan. Ya, sepekan, tujuh hari.
Rasanya badan sudah panas dingin. Bukan lagi panas dingin karena jatuh cinta, tapi karena tiba-tiba hati yang berbunga-bunga dihancurkan. Remuk seremuk mungkin.
Di sini, meski patah hati, aku mencoba untuk tidak menangis sedikitpun. Kalaupun air mata ini harus menetes, tidak di hadapan Arif. Ia tidak pantas untuk ditangisi. Arif jahat, jahat sekali.
Entah kenapa aku malah ingin memberinya sedikit pelajaran agar ia sadar atas kesalahan yang dilakukannya.
"Ra," kak Gita menggenggam pelan tanganku.
Perlahan, aku mengangkat wajah, dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. Ibu senyum yang sudah kukatakan untuk nanti diperlihatkan pada tamu-tamu yang datang di acara pernikahan kami. Tapi karena semuanya akan batal, maka senyum ini kupersembahkan untuk Arif.
"Kalau tidak mau bicara, tidak apa-apa, Ra." bisik kak Gita.
"Aku enggak apa-apa, kak." kataku. Masih dengan senyum yang sama. "Baiklah, karena mas Fian dan mungkin semuanya ingin tahu jawabanku, maka akan kujawab. Kalau Arif memang ingin membatalkannya, ya sudah. Mulai sekarang hubungan kita berakhir." kataku. Singkat, padat, tanpa ada drama menangis meraung-raung meratapi keputusan Arif meski dadaku sakit sekali ingin menumpahkan air mata.
"Benar Ra, tidak apa-apa?" tanya Arif, hati-hati. Sepertinya ia tidak yakin dengan jawaban yang aku berikan.
"Iya, tidak apa-apa." aku mengacungkan ibu jari, menunjukkan padanya bahwa aku baik-baik saja. Tetapi hatiku berkata lain, hancur, semuanya porak-poranda.
"Ra," kak Gita malah terlihat berkaca-kaca.
"Baiklah, karena Rara sudah menjawab tidak apa-apa, berarti masalahnya sudah selesai. Kalau begitu aku pamit dulu." ucap Arif.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Sept September
aku mampir yaaaa 🤗
2020-09-12
0
Nyonya Harahap_81
udah 2thn bekerja, saat ini umur Rara 22thn, apa mau dibikin sok cerdas lulus kuliah umur 20thn? bahkan untuk lulusan D3 aja baru berusia 21thn.
author disini suka bgt bikin umur tokohnya pada nanggung. 22thn Mah masih bocah kemaren sore. bikin aja umurnya 26/27thn, udah bisa dibilang cukup dewasa lah.
2020-09-11
4
younghoon wife
laki ga ada akhlak
2020-09-04
1