"Rara!" tiba-tiba panggilan histeris Aya membuyarkan lamunanku. "Kok enggak masuk? Ngapain bengong di parkiran? Oh aku tahu, kamu pasti grogi ya, soalnya ini hari terakhir bertemu Arif. Besok kan kamu harus dipingit sebelum nikah. Iya, kan?" tanya Aya.
"Hah, enggak ... itu," aku tidak mampu menjawab rentetan pertanyaan itu. Sehingga cuma bisa nunjuk ke gedung kantor sambil celingak-celinguk persis orang linglung.
"Tenang Ra, enggak usah grogi gitu. Santai. Tarik nafas dalam-dalam, lalu hembuskan. Yuk masuk!" ajak Aya, ia menggandeng tanganku menuju gedung kantor.
"Selama pagi bu Rara, ya ampun yang bentar lagi mau nikah!" timpal Anita, customer servis yang cukup akrab denganku. "Aira calon pengantin mulai tampak dari wajahmu, Ra. Walaupun matamu agak bengkak. Eh bentar bentar. Inimah bengkak benarkan."
"Lho, kamu belum cuti, Ra?" timpal Arya, teman satu divisi Arif. "Padahal Arif sudah ambil cuti perhari ini. Wah tuh anak nyolong star duluan. Harusnya kan yang duluan cuti itu kamu, Ra. Secara kamu perempuan, perlu ke salon, persiapan ini dan itu. Eh malah dia yang libur duluan. Benar-benar enggak kompak itu anak!"
"Sekarang mah kebalik. Laki-laki lebih ribet ketimbang perempuan." sahut Anita lagi. "Kalau perempuan simple, apalagi kayak Rara. Iya kan Ra?"
"Enak aja," Arya tidak terima. "Tetap saja yang paling ribet itu perempuan! Contohnya istriku. Kalau ada apa-apa, misalanya mau pergi aja persiapannya setahun. Saking ribetnya!"
"Siapa bilang." Arya tetap tidak mau mengalah sehingga suasana kantor makin ramai sebab satu-persatu teman-teman lain berdatangan dan seperti Anita dan Arya, mereka langsung menjadikan aku sebagai bahan ledekan.
"Cieee Rara yang bentar lagi nikah."
"Ya ampun Ra, tinggal ngitung haru udah sah jadi nyonya Arif."
"Wow, nanti Rara dan Arif kalau ke kantor barengan dong. Akhirnya kita pecah telur, ada yang sesama pegawai couople juga."
"Biasanya habis ini ada yang bakal ngikutin jejak Rara dan Arif."
"Makanya join dengan geng ARA dong!"
"Apa tuh ARA?"
"Arif Rara!"
"Gimana sih ceritanya kok bisa jadian?"
"Ra, jangan lupa doakan aku ya biar cepat nyusul!"
"Rara, kamu pasti deg-degan banget kan."
"Cie calon pengantin."
"Cieee cieee."
Aku benar-benar pusing mendengarnya ledekan yang sambung menyambung bahkan dikolaborasikan tak henti-hentinya dari satu karyawan ke karyawan lain hingga membuat kehebohan yang berhasil membuatku semakin kacau. Seperti diserbu oleh ribuan lebah yang mendengung-dengung.
"Cukup!" kataku, dengan suara agak kencang agar dengungan-dengungan dari perkataan mereka bisa hilang.
"Ra, kamu kenapa?" tanya Risa.
"Tolong beri aku kesempatan bicara." pintaku.
"Kenapa Ra?" kini Aya yang bicara.
Hufff. Perlahan aku mengumpulkan keberanian. Menyatukan puing-puing di hati yang sudah sangat berantakan. Kau setelah mengucapkan basmallah, aku pun bicara pada seluruh teman-teman satu kantor.
"Aku dan Arif tidak jadi menikah." kataku.
"Hah?" Aya langsung menatapku, tidak percaya dengan apa yang ia dengarkan barusan.
"Iya. Aku dan Arif tidak jadi menikah. Ini bukan candaan sebab aku tidak berniat menjadikan ini bahan candaan. Untuk saat ini aku sedang tidak ingin ditanya perihal pernikahan ini. Yang jelas kami sudah membatalkan semuanya. Jadi tolong jangan bahas masalah ini lagi ya. Terimakasih." kataku.
Baru beberapa langkah, kini aku beradu pandang dengan kak Gita yang baru saja datang. Ia melemparkan senyum padaku.
***
Aku baik-baik saja. Tidak, lebih tepatnya aku berusaha untuk baik-baik saja meskipun sebenarnya hatiku sangat berantakan. Porak-poranda oleh Arif. Tapi ini semua tidak boleh menghancurkan hidupku. Aku harus terus berjalan, melanjut kehidupan meskipun sudah gagal nikah.
"Kamu yakin enggak apa-apa, Ra?" tanya kak Gita, saat kami sudah berada di mushalla kantor, berdua saja.
"Iya kak. Aku enggak apa-apa." jawabku, sambil berusaha memaksakan senyum, namun tetap saja terlihat aneh.
"Mama?"
"Ya agak syok. Tapi semoga saja mama merelakan semuanya."
"Kalau hari enggak nyaman, aku kasih izin. Kamu istirahat saja dulu, Ra. Sehari atau dua hati. Atau kapan perlu sepekan. Liburan kemana saja untuk menyenangkan hati."
"Enggak usah lah kak, buang-buang uang saja. Apalagi baru habis-habisan untuk persiapan nikah yang enggak jadi."
"Ra, maafin kecerobohan kak Gita ya."
"Ini bukan salah kak Gita kok."
Kak Gita membiarkanku berada di mushalla kantor sendiri sebab aku beralasan ingin salat Dhuha dulu sebelum kembali ke ruanganku. Intinya, aku butuh sendiri. Untuk menata hatiku, agar semuanya kembali normal.
Sebenarnya tidak ada yang harus ku kuatirkan dengan teman-teman di kantor sebab sejauh ini mereka selalu bisa memahami kondisiku, aku yakin tidak akan ada yang menyinggung. Hanya agak sedikit tidak nyaman jika nanti bertemu dengan Arif kembali. Bukan karena aku sudah terlanjur menyukainya, aku sangat yakin perlahan hati ini bisa melupakannya, apalagi atas apa yang sudah dilakukannya padaku.
Untuk urusan hati, aku memang tergolong yang sulit untuk menerima sosok baru di hidupku. Tapi begitu ia mendapatkan tempat lalu membuta sebuah kesalahan yang fatal, maka akan dengan mudah hilang dari hatiku.
Tapi tetap saja kan, semua orang sudah tahu bahwa kamu akan menikah. Pasti rasanya sudah tidak enak.
Ya Allah ... aku harus bagaimana?
Aku mulai menunaikan salat Dhuha. Ada ketenangan yang terasa saat bulir bening itu menetes ketika sujud di hadapan Allah. Betapa kecilnya aku, betapa lemahnya aku.
Dulu aku pernah dikecewakan oleh Papa dengan kepergiannya begitu saja. Tidak lagi peduli padaku dan Dinda. Padahal kami masih membutuhkan sosok papa. Sekarang Arif, ketika ia jadi lelaki asing yang pertama bisa merajai hatiku, ternyata ia malah membatalkan secara sepihak. Ya Allah ... sakitnya.
"Rara ayolah, kamu tidak secengeng ini!" bisikku pada diri sendiri.
Sedang larut dalam renungan, tiba-tiba sebuah pesan masuk dalam Hpku. Dari catering untuk pengajian ba'da Maghrib nanti.
[Mbak Rara, makanannya mau diantar nanti sore atau siang?] pesan dari pihak catering. Ada nasi dan kue-kue untuk ibu-ibu pengajian.
Ya Allah ... bagaimana ini?
Aku langsung membuka notes di Hp, memeriksa kembali catatan-catatan tentang persiapan pernikahan. Hari ini akan ada seratus orang ibu-ibu pengajian dari masjid dari dekat rumah kami yang akan datang ke rumah untuk pengajian jelang pernikahan.
Aku langsung menelepon ibu yang jadi penanggung jawab rombongan tersebut untuk mengabarkan bahwa acara batal. Dari seberang terdengar banyak tanya yang dilontarkan padaku, namun tidak ada yang ingin ku jawab. Aku hanya memberikan alasan bahwa acara dibatalkan.
"Baru membatalkan satu undangan saja sudah segini beratnya. Apalagi seribu undangan!" lagi-lagi aku menundukkan kepala, pusing memikirkan ini semua.
Duh Rara, lakukan sesuatu agar kamu bisa segera keluar dari masalah ini!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Gita Risnawati
pengin banget tu si arif tak uleg tak bejek²🤬🤬🤬🤬
2022-11-03
0
Santi Harahap
ckckckck
2020-08-21
0
Endang Oke
lagian kok batalin aneh juga.bukan gerak cepat batalin semua.makanan bagiin tetangga .anak yatim.kaum dhuafa..
2020-08-11
3