Hanya beberapa meter dari rumah, tiba-tiba motor berhenti mendadak. Persis seperti dugaaanku, bensinnya habis. Aku memang tipikal orang yang sering lupa untuk mengisi bensin. Entah mengapa ini selalu saja terjadi. Terpaksa motor kutuntun. Lalu tiba-tiba terpikir tentang alasan Arif membatalkan pernikahan, bahwa aku terlalu baik.
Senyum langsung terkembang. Sambil geleng-geleng aku bicara pada diri sendiri. Kalau memang terlalu baik, sangat sempurna, hal sekecil ini mungkin tidak akan pernah terlupakan olehku. Ini bisa jadi bukti betapa tidak sempurnanya aku.
"Tidak. Jangan dipikirkan lagi Ra, kamu harus lupakan semuanya. Ayo melangkah ke depan. Jadikan ini sebagai doa. Bahwa kamu harus lebih baik lagi!" aku menyemangati diriku sendiri.
Langkah kakiku terhenti tepat di depan pintu rumah. Salam yang ingin kuucapkan langsung surut saat mendengar percakapan Mama dan Dinda.
"Ma, harusnya Mama enggak diam saja disalah-salahin sama Papa. Dinda dan kak Rara itu kan bukan tanggung jawab Mama. Tidak ada kewajiban bagi Mama untuk merawat, membesarkan apalagi membiayai kami. Tapi itu semua adalah tanggung jawab papa. Jangan setelah ada masalah seperti ini baru papa bicara hanya untuk nyalah-nyalahin mama. Selama ini papa kemana? Kenapa tega ninggalin kami?" ucap Dinda dengan suara parau, entah ia sudah menangis atau baru akan menangis. Kalau Dinda sudah begitu pasti ia sudah merasa sangat sakit sekali.
Aku sangat hafal Dinda sebab ia satu-satunya adikku. Kami berdua punya sifat yang nyaris sama. Hanya Dinda lebih tomboi. Kami bukan tipikal anak-anak cengeng. Kami ditempa oleh keadaan menjadi anak-anak kuat yang tahan banting meskipun sebenarnya Mama berusaha memberikan yang terbaik untuk kami berdua.
Diusia kami yang masih sangat muda, ditinggalkan begitu saja oleh Papa. Kami melihat perjuangan Mama yang begitu keras untuk kami, sehingga membuat kami sadar diri. Ikut berjuang bersama mama dengan segala cara yang kami bisa.
"Sudah Din," terdengar jawaban dari mama.
"Tidak bisa Ma. Dinda tidak bisa terima papa menelepon seperti itu. Harusnya papa tanya dulu dong apa masalahnya. Ini semua murni bukan salah kita. Siapa juga yang ingin pernikahannya gagal? Tidak ada Ma. Kak Rara juga pasti sedih sekali. Mama libatkan bagaimana kak Rara mencoba bersikap biasa-biasa meski sebenernya hatinya remuk. Dinda paham betapa sakitnya kak Rara.
Ia satu kantor dengan si Arif itu. Setiap hari bisa bertemu dengannya. Pasti tidak nyaman ma. Kalaupun kak Rara mengatakan semuanya baik-baik saja, tapi Dinda yakin seratus persen bahwa tidak seperti itu perasaannya. Ia hanya tidak ingin terlihat lemah!
Belum lagi beban yang harus ditanggung kak Rara untuk menjelaskan ke semua orang yang tahu tentang rencana pernikahan tersebut. Pasti sangat tidak nyaman ma. Ia kalau semua orang mengerti, tapi kebanyakan juga orang-orang yang kepintaran setengah mati, hanya demi memuaskan nafsu keingin tahuannya sampai bertanya tanpa punya perasaan. Entah untuk apa tujuannya.
Mama dan Dinda juga merasakan hal yang sama. Kita juga tidak nyaman, kan? Kalaupun kita bisa tersenyum, itu semua demi kak Rara. Supaya kakak menganggap kita tidak terluka sehingga tidak menambah beban kakak. Padahal apa, ma? Kita sama-sama terluka.
Kak Rara mungkin enggak tahu dan Dinda berharap kakak tidak tahu semua itu untuk selamanya. Sudah cukup beban kak Rara, jangan sampai malah jadi trauma dengan pernikahan, apalagi kami adalah anak-anak korban perpisahan.
Harusnya Papa memahami semua itu. Jangan lagi menambah beban kita. Toh papa enggak rugi apa-apa, kan? Biaya semuanya dari mama dan kak Rara. Persiapan juga kita bertiga yang mengaturnya. Sedangkan papa? Paling hanya membantu menjelaskan pada keluarga-keluarga papa yang Dinda juga yakin tidak akan benar-benar peduli dengan hati kita!" ungkap Dinda dengan nada tinggi untuk meluapkan emosinya.
Astagfirullah. Mendengar semua kata-kata Dinda membuat air mata ini menetes satu-persatu. Semakin lama makin deras. Sakit sekali membayangkan luka pada hati Mama karena aku, meski sebenarnya aku tidak sengaja melakukan.
Andai saja aku tahu semua akan begini, tidak akan pernah mau menerima Arif untuk selamanya. Bahkan aku tak ingin mengenal ia. Tapi sebagai seorang muslim, berandai-andai itu tidak dibolehkan.
"Apa yang harus kulakukan?" aku bertanya pada diri sendiri.
Sebenarnya membicarakan tentang pernikahan yang gagal ini adalah sesuatu hal yang membuatku sangat tidak nyaman sekali. Tetapi sekarang aku tidak punya pilihan lain selain menjelaskan pada papa agar tidak lagi menyalahkan Mama. Aku tidak mau Mama semakin terluka karena masalah ini.
"Din, sudahlah. Mama rela kok jadi sasaran kemarahan papa, asalkan papa tidak menyinggung Rara." ucap Mama.
"Enggak bisa ma. Mama juga punya hati. Itu namanya toxic. Jangan biarkan papa terus menyakiti Mama sebab selain Mama, kami juga terluka dengan perlakuan papa yang seenaknya pada mama. Jadi tolong bicara pada papa. Tolak segala tuduhan yang tidak benar kepada Mama.
Papa harus sadar, jasa Mama kepada kami sungguh besar. Mama tidak hanya jadi ibu untuk kami, tapi juga jadi ayah. Itu semua tidak mudah. Dinda tahu itu ma.
Papa harusnya bersyukur sebab Mama tidak menuntut apapun. Ketika dan sedikit kesalahan, harusnya papa tidak main marah-marah sampai mengatakan Mama tidak becus dan menghina Mama sedemikian rupa. Dinda sedih ma, mendengar cacian papa pada mama.
Kalau papa menyalahkan pendidikan yang mama berikan untuk kami, lalu apa yang sudah papa lakukan untuk kami? Tidak ada kan, ma?" ungkap Dinda.
"Din ... sudah." Mama meminta Dinda untuk tidak lagi membuka luka lama yang ditoreh pala pada kami bertiga.
"Papa yang tidak becus sebagai lelaki, suami dan juga ayah. Papa yang salah ma. Papa yang jahat. Papa yang tidak baik. Bukan Mama!"
"Tapi Din,"
"Enggak ada tapi-tapi ma. Dinda sudah lelah melihat mama terus menerus menerima semua sikap papa yang menjadikan Mama samsak ketika papa marah.
Apa papa tahu kenapa dulu Dinda bolos sekolah, berulah hingga papa dan mama di panggil ke sekolah? Bukan karena keinginan Dinda sendiri, ma. Tapi karena Dinda kesal pada papa. Dinda iri dengan anak-anak tiri papa yang diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Sementara Dinda, jangankan diperhatikan, mungkin papa saja tidak ingat punya anak Dinda dan kak Rara. Jahat itu namanya!"
"Din,"
"Ma, biarkan Dinda mengungkapkan semuanya. Biar papa paham seberapa besar kesalahannya dan tidak mengulang lagi. Dinda dan kak Rara sudah lama kehilangan sosok papa. Bagi kami papa adalah sosok yang amat sulit kami raih. Jangan lagi tambah hal buruk di benak kami tentang papa karena sebenarnya kami enggak ingin menjadi durhaka. Kami ingin jadi anak baik, ma. Ingin berbakti juga pada papa. Tapi papa juga harus jadi ayah yang baik untuk kami, setidaknya jangan menyakiti Mama lagi. Tidak ada anak yang rela ibunya sakit, meski oleh ayahnya sendiri!"
"Din, sudah. Jangan sampai kakak kamu dengar nantinya. Mama takut Rara jadi sedih. Kita bantu Rara untuk memulihkan luka hatinya. Jangan dibebani lagi. Cukup kita saja yang terluka. Sebentar lagi Rara pulang, kalau ia tahu pasti sangat sedih sekali, Din"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Euis Yohana
ngomongnya di depan papa donk Din,,jgn sama mamah ,,kasian mamah tambah keteken perasaannya ...
2022-12-07
0
Samara
sedihbanget hatiq thorr😭😭😭😭😭
2020-08-24
0
Sindi Kartika Putri
kasian sekali😢😢😢
2020-08-02
1