Mama memang tidak tahu tentang peristiwa tersebut sebab aku dan Dinda sepakat merahasiakannya. Kami tidak ingin menambah beban Mama yang sudah cukup berat sebagai seorang single parent.
Itulah mungkin penyebab keheranan Mama tentang hubungan kami dengan papa.
Beberapa kali Mama mencoba mencari tahu kenapa tidak mau lagi disuruh ke Bogor, padahal sebelumnya, kami selalu bertanya-tanya pada mama, kapan boleh nginap di rumah papa. Tetapi mama tidak bisa mengizinkan karena papa belum mengajak.
Hingga akhirnya, papa menawarkan kami berdua untuk nginap di rumah papa. Bayangkan, untuk datang ke sana, kami benar-benar mempersiapkan diri semaksimal mungkin. Membayangkan seharian akan menghabiskan waktu bersama papa, anak-anak papa dan ibu tiri kami. Bahkan aku dan Dinda sampai tidak bisa tidur sebelumnya saking grogi .e agan harus setelah lama menanti untuk bisa berkumpul seharian penuh.
"Ra, kamu kenapa?" tiba-tiba Mama menyadarkanku dari lamunan.
"Kak Rara ngelamun ya? Kakak mikirin apa? Dari tadi diajak ngobrol diam saja." ungkap Rara.
"Hah? Ngelamun? Enggak kok." kataku, dengan agak tergagap.
"Itu buktinya sampai hah hih hah hih." ucap Dinda.
"Hush, ngomongnya enggak boleh begitu, Din. Lagi mikirin apa sih, Ra?" tanya mama, dengan suaranya yang lembut.
"Enggak apa-apa, ma. Ada sedikit kerjaan yang belum selesai. Rara ke kamar sebentar ya." aku buru-buru pamit sebelum Mama kembali menahan.
"Tapi Ra!" seru Mama.
Pintu kamar segera kukunci. Setelah itu aku menjatuhkan diri ke lantai, duduk menyender di pintu. Sedih sekali rasanya hati ini, tapi tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan semuanya.
Perlahan, air mata itu kembali tumpah. Aku tidak lagi mencoba untuk menghapusnya. Kubiarkan ia jatuh begitu saja. Mungkin dengan begitu hatiku bisa sedikit lega. Tetapi tetap saja, sesaknya masih terasa.
Mengapa Arif tega melakukan ini semua? Kukira, saat ia dan kedua orang tuanya datang ke rumah untuk melamar pada mama sebagai waliku, sebab papa saat itu tidak bisa datang, benar-benar tulus ingin menikah denganku.
Tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa ia akan membatalkan secara sepihak. Kalau sudah begini bagaimana caranya menghadapi Mama, Dinda, keluarga besar, teman-teman serta tamu undangan sebanyak lima ribu orang yang sudah diundang?
Buliran bening itu semakin deras menganak sungai. Aku tidak bisa merangkai kata permohonan maaf untuk mama. Entah bagaimana caranya menyampaikan pada perempuan yang sudah melahirkan dan memperjuangkan hidupku bahwa pekan depan, acara pernikahannya tidak jadi.
Tidak akan pernah ada sepasang pengantin bernama Rara dan Arif. Semuanya sudah berakhir dan enggak akan lagi ada kisah.
Arif bisa dikatakan adalah lelaki pertama yang aku cintai. Padanya aku menggantungkan harapan untuk menjalani sisa hidupku dengannya Menjadi teman paling setia dalam suka dan dukanya. Menghabiskan waktu dalam segala suasana, membersamai anak-anak kami kelak hingga tua dan menutup mata.
Tetapi ternyata kisah itu tidak akan pernah ada sebab ketika kami baru tahapan bersiap untuk memulai, ia sudah mengakhirinya.
Sakit? Sudah pasti. Ia yang datang, menawarkan semuanya padaku dengan sangat indah hingga akhirnya aku yang biasanya cuek akan cinta mau menerima. Keluargaku pun membuka diri pada Arif.
Ia memang tergolong anak yang supel sehingga dalam satu kali pertemuan saja Mama sudah menyukai Arif, Dinda pun siap menjadi adik iparnya.
Ini seperti menelan pil pahit. Sebelumnya diberikan manisan yang sangat melenakan. Oh, dimanakah salahnya?
Meskipun sebenarnya sakit, namun ada satu sisi yang aku syukuri. Setidaknya, perpisahan ini terjadi sebelum pernikahan digelar. Sebelum kami mempunyai keturunan. Aku tidak bisa bayangkan harus menjalani perpisahan untuk kedua kalinya.
Rasa sakit dan kehilangan saat papa dan mama berpisah saja belum hilang sampai sekarang, jika harus ditambah lagi, mungkin aku tidak akan sanggup.
"Kak Rara!" dari balik pintu terdengar Dinda menggedor, memanggil namaku.
Aku yang berada persis di balik pintu sampai melonjak kaget. Anak ini sudah diajarkan berkali-kali untuk menjaga sikap malah sesukanua. Ia beralasan karena terlalu bersemangat.
"Kak Rara, ayo keluar, ada temannya. Kak Risa dan kak Aya!" pekik Dinda lagi.
"Iya ... iya. Sebentar." jawabku, dari balik pintu.
Tidak lama terdengar langkah kaki Dinda menjauh. Lalu terdengar suara ia bicara pada Risa dan Aya.
Aku buru-buru ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Mencuci wajah agar tidak terlihat bekas menangis.
Masih merah. Aku sampai mencuci wajah dengan sabun tiga kali. Tapi bekas air mata di wajah tidak bisa disembunyikan.
"Fiuff. Bagaimana ini?" tanyaku lagi. Rasanya belum siap menghadapi dua sahabatku itu dalam kondisi seperti ini. Mereka pasti akan bertanya-tanya sampai tahu jawabannya. Mereka tidak akan pergi sebelum mendapat penyebab mengapa aku menangis.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Meski agak malas akhirnya aku memakai masker yang diberikan oleh Dinda. Katanya bagus untuk meremajakan kulit. Untuk urusan perskencare-an, Dinda memang lebih unggul dariku.
"Eh, kalian udah lama ya nunggunya?" tanyaku, bicara agak susah sebab masker yang kupakai.
"Ya ampun Rara. Maaf kalau kami ganggu. Kamu lagi maskeran ya?" tanya Risa.
"Iya," jawabku, sambil menunjuk masker di wajah.
"Nah, gitu dong Ra. Perawatan. Biar kinclong saat hati H." celetuk Aya. Mereka memang paling paham kalau aku enggak suka dandan.
"Wah, akhirnya kak Rara pakai masker juga!" seru Dinda, yang kebetulan mengantar minuman untuk dua tamuku. " Dari kemarin disuruh enggak mau. Ternyata makainya diam-diam." Dinda tertawa kecil.
"Duh, enggak usah repot-repot Din. Kami cuma mampir bentar, ada yang mau diberikan untuk Rata." ungkap Risa.
"Enggak apa-apa, kok kak." tambah Dinda, sebelum akhirnya ia berlalu ke dalam.
"Ini untuk kamu, Ra!" Risa mengeluarkan dua buah lagu paper besar yang diletakkan dalam Yas gunungnya.
"Apa ini?" tanyaku.
"Buka aja!" seru Aya.
Mataku langsung melotot melihat hadiah yang diberikan oleh ketiga sahabatku. Pakaian tidur sepuluh lembar sebagai hadiah untukku. Rasanya ingin menangis sekencang mungkin. Jangan memberiku kado apapun lagi supaya aku tidak perlu klarifikasi ke siapapun.
"Ra, kamu kenapa?" tanya Aya, melihatku hanya diam ketika sudah membuka kado.
"Ra, kamu enggak suka kadonya ya?" tanya Risa. "Maaf ya Ra. Kami cuma ingin membuat kamu lebih feminim aja." tambah Risa.
"Enggak apa-apa. Aku suka kok. Malah senang sekali sampai terharu, makanya tidak bisa berkata apa-apa." ucapku.
"Benar Ra?" tanya Risa.
"Iya benar!" jawabku seantusias mungkin meski sebenarnya jantungku berdebar kencang.
"Ra, tapi kok kayaknya kamu beda?" tanya Aya.
"Enggak beda. Aku biasa saja." aku berusaha tertawa. " Aku sudah bicara gara-gara masker ini!" aku menunjuk kembali masker yang menempel di wajah.
"Oh iya, kamu kamu lagi maskeran." ucap mereka berdua sambil tertawa bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Dyah Shinta
5000 orang undangan?
Hah?
Acaranya di lapangan sepak bola?
2022-10-04
0
QQ
Mungkin ini yang bertanya adiknya Rara iya yaitu si Dinda ???
2022-09-29
0
Jeng Anna
Tiap part-nya cuman dikit, itupun lanjutan dr part sblmnya....kok ga disambung aja sih thor? jd part baru itu cerita baru gituuhh
2020-12-23
0