Selesai bicara dengan papa, aku menatap Mama. Meski wajahnya masih mengguratkan kesedihan mendalam, tapi seutas senyum sudah terukir di sana. Ahhhh, perempuan hebat ku. Mama adalah inspirasi untukku, betapa tabahnya Mama. Pejuang kuat yang hatinya luar biasa tegar dan cantik. Andai papa bisa menyadari semua itu, rugi sekali meninggalkan Mama. Tetapi lagi-lagi, kita tidak boleh banyak berandai-andai.
"Ma, boleh Rara memeluk Mama?" tanyaku.
Mama membentangkan kedua tangannya, sebagai pertanda bahwa iapun siap menerima pelukanku dengan senang hati. Tetapi belum sampai mendarat di pelukan Mama, Dinda sudah lebih dulu memeluk Mama.
"Dinda, kak Rara duluan." kataku.
"Siapa cepat itu yang dipeluk Mama dulu!" Dinda mencibir.
"Ya ampun Din, yang sedih kan kakak, kok kamu main nyosor gitu. Dasar adik usil!" aku mencibir balik.
"Siapa suruh lelet." Dinda masih belum melepaskan pelukannya pada mama.
"Ma, Dinda usil lagi tuh." aku pura-pura marah, lalu kami tertawa bersama. Lebih tepatnya tertawa sambil menangis. "Maafkan Rara ya ma ...." aku berbisik di telinga perempuan yang sudah melahirkanku.
"Mama sayang kamu Ra." bisik Mama juga.
***
Pagi yang masih terasa berat. Sebab masih banyak masalah terkait pembatalan pernikahan yang harus aku selesaikan, tetapi bukan berarti aku harus menghindari semuanya, termasuk bolos kerja meski kak Gita selaku manajer di atasku langsung sudah memberi izin.
Sampai di depan kantor. Aku menarik nafas panjang. Berdoa agar Allah menguatkan hati ini. Kemarin masih aman, sebab Arif tidak masuk kerja. Entah apa alasannya, padahal cuti kamu sudah dibatalkan karena pernikahannya gagal.
Mungkin ia belum siap menghadapi orang-orang kantor, termasuk kak Gita dan ketiga sahabatku; Aya, Dini dan Risa yang bisa dipastikan akan berada di garis terdepan untuk membelaku.
"Rara!" tiba-tiba Anita melambaikan tangannya padaku. Ragu-ragu ia menatapku, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi juga terlihat tidak enak.
"Kenapa?" tanyaku.
"Enggak. Kamu baik-baik saja, kan Ra?"
"Ya. Alhamdulillah. Memangnya kenapa?"
"Kamu sabar ya Ra!"
Anita secara spontan memelukku erat. Kami memang tidak terlalu dekat, itulah sebabnya aku agak sedikit bingung dengan sikap Anita.
Sebegitunya kah ia terhadapku? Mungkin karena kami sama-sama perempuan. Atau karena ia iba padaku yang ditinggal nikah. Kuputuskan untuk segera berlalu ke ruanganku setelah Anita melepas pelukannya.
Ternyata tidak hanya Anita yang bersikap aneh. Hampir seluruh karyawan yang kutemui mengucap dukungan agar aku bersabar. Yang perempuan malah menepuk pelan pundak dan punggungku. Bahkan ada yang memelukku erat hingga meneteskan air mata.
Ada apa ini?
Tidak ada yang mau menjawab. Semua memutuskan untuk tutup mulut. Makanya kusimpulkan bahwa ini adalah bentuk dukungan mereka padaku atas kejadian pembatalan nikah yang kemarin aku umumkan.
"Rara!" Aya, Dini dan Risa masuk ke ruanganku, hanya beberapa menit setelah aku meletakkan tas dan hendak mulai membuka komputer.
"Kalian kenapa? Risa kok nangis?" aku menunjuk Risa yang paling mellow di antara kami berempat.
"Ra, kamu belum dengar kabar terbaru yang dikirim ke email kantor?" tanya Aya.
"Kabar apa?" sejak kemarin aku memang belum sempat mengecek email sama sekali sebab moodku masih berantakan sehingga pekerjaan kantor jadi terabaikan.
Aya mengambil alih mose yang aku pegang. Ia menghidupkan komputer, lalu dengan cepat membuka email. Kemudian terpampang lah semuanya. Sesuatu hal yang aku yakini kenapa teman-teman memeluk dan memberikan semangat padaku.
Arif akan menikah!
Apa maksud semuanya? Aku mengerutkan kening, mencoba menelaah undangan yang dikirimkan tadi malam ke email kantorku. Juga berarti dikirim ke semua pegawai yang lainnya.
"Arif mau menikah?" aku balik bertanya. "Maksudnya bagaimana?"
"Entah. Apa si Arif sudah stres?" tanya Dini.
"Hus, jangan asal bicara. Dia yang membatalkan masa dia yang stres." ungkap Risa.
"Tapi buktinya dia mengirimi semua karyawan di sini undangan pernikahan kosong, hanya ada namanya saja sebagai calon pengantin pria. Sedangkan nama wanita sengaja dikosongkan. Itu kan namanya stres. Padahal dia yang membatalkan rencana pernikahan. Ini jelas-jelas sengaja karena undangan dikirim setelah ia membatalkan rencana pernikahan dengan Rara." Dini menjelaskan hasil analisanya.
"Kalau dia merasa stress atau menyesal kan harusnya tinggal ngomong sama Rara." Risa masih belum setuju dengan penjelasan Dini.
"Terus maksudnya apa, dong?" Dini balik bertanya.
Kini pandangan ketiga sahabatku tertuju padaku, tentu saja tujuannya agar aku memberikan mereka penjelasan. Tapi aku geleng-geleng kepala. Meski pernah menjalani ta'aruf dengan Arif, tidak semua hal tentangnya kutahu. Baru pada hal-hal umum saja.
"Tenang ... tenang ... tenang. Serahkan ini semua pada Aya." ia langsung menekan ponselnya. Berbicara sebentar, kemudian mematikan panggilan. Tidak lama ada yang menelepon Aya.
[Jadi gedungnya di pesan atas nama siapa?] tanya Aya pada seseorang di ujung panggilan. [Pasti ada dong nama calon pengantin pria dan wanitanya?] lagi-lagi Aya diam. [Tolong dong bocorin, yakinlah enggak akan ada masalah apa-apa.] Aya masih bernegosiasi. [Oh ya. Baik. Terimakasih.]
Telepon ditutup. Kemudian Aya melirik ke arahku. Ia tampak ragu mengatakan hasil penyelidikannya.
Aya menelepon pemilik gedung tempat lokasi pernikahan Arif seperti tertera di undangan digital yang ia kirimkan untuk mencari tahu gedung dipesan atas nama siapa. Begitu mendapatkan namanya, Aya sengaja diam sebentar sehingga membuat kami bertiga jadi sangat penasaran.
"Pernikahan itu memang akan ada." kata Aya hati-hati. Meski begitu sukses membuatku panas dingin.
Aku merasa seperti tersengat listrik. Tubuhku langsung lemas. Jadi ia membatalkan pernikahan denganku karena ingin menikahi wanita lain. Tapi siapa? Kenapa ia jadi setega itu padaku? Atau bagaimana sih sebenarnya?
Ya Allah ... aku harus bagaimana?
"Siapa nama perempuan yang merebut Arif dari Rara, Ya?" tanya Dini, ia begitu penasaran sekaligus marah atas perlakuan buruk Arif padaku.
"Iya Ya, kasih tahu dong!" pinta Risa. "Jangan diam saja!"
"Ayo ngomong Ya. Kasih tau aku!" kini giliran aku yang mendesak Aya.
"Baiklah. Tadi kata informan yang aku telepon, nama calon pengantinnya Monika." ungkap Aya.
"Monika?" aku, Dini dan Risa saling lirik.
"Tunggu, Monika siapa nih? Model di kantor kita yang sudah resaign itu?" aku menatap Aya, penuh selidik, berharap semua dugaan yang muncul tiba-tiba di benakku itu salah.
"Iya, benar Ra. Monika Ariella." ungkap Aya.
Kini aku benar-benar curiga dengan beberapa kejanggalan yang terasa satu pekan terakhir sebelum Arif membatalkan rencana pernikahan kami.
Tapi tidak, aku tidak akan berpikiran negatif dulu sebelum mendengar penjelasan langsung dari mulut Arif. Aku tidak mau mengotori hati sendiri meski sebenarnya ada banyak tanya yang muncul di kepalaku, seperti sekumpulan lebah yang berdengung. Mereka butuh jawaban. Ya Tuhan, maafkan aku, untuk kali ini agak kepo padanya. Maaf!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Anazta
klw q jadi rara udh gk mau tau lgi mau nikah sma gorila jg sok aja.. ngapain masih cari info...
2022-11-04
0
Nyonya Harahap_81
resaign; kampanye
resign; mengundurkan diri
2020-09-11
0
Sindi Kartika Putri
iiih kesek sama arif😡
2020-08-02
2