Saat ini aku sedang berada di sebuah cafe yang berada di bilangan Blok M, bersama dengan ketiga sahabatku; Aya, Dini dan Risa, merayakan hari terakhir sebelum besok aku harus menjalani prosesi pingitan seperti yang diinstruksikan oleh mama. Menjelang tujuh hari menuju pernikahan.
"Ya ampun, enggak nyangka ya, ternyata di antara kita berempat, Rara duluan yang nikah. Padahal yang paling semangat ngomongin masalah nikahan itu adalah Aya." ungkap Dini, mengingat kembali kebiasaan kami di bangku kuliah.
"Iya ya. Kok malah Rara duluan yang nikah. Padahal dari dulu Rara terbilang cuek kalau kita bahas Ikhwan. Kayak alergi gitu." kata Aya yang diaminkan oleh kedua sahabatku.
"Ingat nggak, ada anak yang pernah ngedeketin Rara, terus Rara sampai marah-marah gara-gara dikirimi surat cinta. Sampai-sampai anak tersebut ketakutan dengan Rara." timpal Dini lagi.
"Iya iya. Namanya Dirga, padahal anaknya lumayan kan?" Aya semakin semangat membahasnya.
Aku tidak berani menimpali, hanya mendengar sambil senyum-senyum karena semua yang dikatakan sahabatku benar. Sejak zaman sekolah hingga kuliah, aku tidak pernah tertarik membahas masalah Ikhwan. Hanya fokus menyelesaikan studi dengan nilai terbaik agar bisa diterima kerja di perusahaan yang aku idamkan. Yaitu R Grup.
"Begitulah namanya jodoh. Kalau sudah datang, mau secuek apa juga enggak bakalan bisa ngelak." Risa bicara dengan gayanya yang bijaksana.
"Apa karena sikap Rara yang cuek, makanya Allah kasih bonus cepat nikah biar Rara merasakan betapa indahnya cinta," kata Aya.
"Jangan ngomong cinta indah mulai, bukannya kamu paling sering nangis gara-gara cinta, Ay? Mulai dari inhwannya nolak kami hingga putus di tengah jalan." ucap Dini.
"Iya juga sih, makanya aku pengen kayak Rara, sekali jatuh cinta langsung dinikahi. Rasanya pasti nikmat sekali. Enggak tahu yang namanya patah hati. Hanya ada bunga-bunga cinta!" Aya bicara penuh semangat.
Sepekan lagi acara pernikahan itu. Memang sebelumnya tidak terpikir olehku akan menikah di usia dua puluh dua tahun.
Lulus kuliah, aku langsung melamar kerja di perusahaan R grup yang bergerak di bidang toko buku dan penerbitan. Sesuai dengan passionku sebagai seorang editor. Siapa sangka disanalah aku bertemu jodoh yang tidak lain adalah orang yang juga melamar kerja di waktu yang sama denganku. Hanya saja ia melamar sebagai seorang wartawan.
Tahun pertama tidak ada komunikasi yang berarti antara kami. Sama-sama fokus dengan pekerjaan. Hingga memasuki tahun kedua, tiba-tiba ia mengajukan proposal taaruf melalui kak Gita, guru sekaligus seniorku di kantor.
Dua pekan ia memperkenalkan diri secara intens lewat proses ta'aruf, aku mulai terbuka dan memberinya kesempatan untuk mengenal dekat hingga ia memberanikan diri datang ke rumah beesama orang tuanya untuk melamar.
Berdasarkan hasil kesepakatan, pekan depan adalah hari pernikahan kami. Sesuai dengan hasil rumbukan dua belah pihak keluarga.
Tring. Hapeku berbunyi, sebuah pesan dari Arif. Lelaki yang akan mempersuntingku.
[Bisa ketemu sekarang?] katanya.
[Ada apa?] tanyaku.
[Aku tunggu di rumah kak Gita.]
[Ada yang penting? Nanti saja, aku sedang bersama teman-teman. Kalau mendesak wa saja.]
[Enggak bisa. Harus segera ketemu.]
[Duh, kok dadakan sekali?]
[Maaf, tapi ini penting Ra.]
[Ya udah, aku ke sana sekarang. Tapi mungkin baru sampai satu jam-an, soalnya sekarang lagi di Kebon Jeruk.]
[Ya sudah, tidak apa-apa.]
Kenapa tiba-tiba ingin bertemu. Jangan-jangan ada hal penting yang harus segera disampaikan. Mungkin tentang tamu undangan yang terlupakan, pakaiannya yang tidak cocok atau justru mahar yang belum juga ia dapatkan.
Untuk mengetahui semuanya, maka kuputuskan untuk segera ke rumah kak Guna di kawasan Jakarta Selatan, bersebalahan dengan kampung tempatku tinggal.
"Yah Ra, acara kita kan belum selesai. Nanti aja ketemu Arif nya." Aya protes gara-gara aku pamit pulang duluan.
"Maaf ya, tapi ini sepertinya penting," kataku. Sambil melihat ke luar cafe, berharap jalanan tidak macet.
"Belum nikah kamu udah mulai enggak asyik nih," Aya masih protes.
"Ya maaf deh, aku janji besok enggak begini lagi." Kataku.
"Tapi kan makanannya belum habis, Ra." kata Aya lagi.
"Iya Ra, kita belum foto-foto lho," tambah Dini.
"Iya ya. Tapi mau bagaimana lagi. Arif udah di rumah kak Gita. Aku enggak enak kalau harus ganggu kak Gita lagi." kataku, berharap ketiga sahabatku mengerti. "Ini hari libur, aku khawatir kak Gita punya agenda dengan keluarganya."
"Yah Rara, enggak asyik." Aya masih belum terima.
"Ya udah, pergi aja Ra. Besok kami samperin ke rumah kamu aja." tukas Risa. "Biarin Rara pergi ya, siapa tahu ada hal yang sangat penting." kata Rusa pada Aya dan Dini.
"Ya sudah kalau begitu. Tapi ingat, besok pulang kerja kami mampir ke rumah kamu lho Ra!" kata Aya.
"Iya Ra. Kosongkan jadwal kamu ya." pinta Dini.
"Siap." aku mengacungkan ibu hari. "Terimakasih banyak ya sahabat-sahabatku. Semoga semua impian kita terwujud." bisikku, sambil memeluk mereka satu-persatu. "Oh ya, makanannya udah aku bayar ya!" aku segera berlalu sebelum ada yang sampai komplen gara-gara aku harus pergi duluan.
***
Benar saja dugaaanku, Jakarta jam segini, meski akhir pekan masih saja macet. Untung saja tadi aku berangkat naik motor, jadi bisa nyalip-nyalip atau jalan lewat gang kelinci. Kalau tidak begitu bisa berjam-jam di jalanan.
Setengah jam kemudian aku sudah sampai di depan rumah kak Gita. Suasana sangat menyenangkan sekali. Rumah dua lantai yang dibangun dengan tipe lima puluh empat. Ada taman kecil di depannya, lengkap dengan kolam dan air mancurnya.
Meski ibu bekerja, tapi rumah kak Gita terbilang sangat asri. Banyak tumbuhan hijau di halamannya. Ditambah dua pohon jambu dan mangga yang membantu menyumbang oksigen untuk orang-orang di sekitarnya.
Aku selalu berharap, nanti kalau sudah menikah ingin punya rumah seperti ini juga. Mungkin kami memang harus menabung ekstra keras mengingat harga tanah di pinggir jalan raya untuk wilayah Jakarta sudah tidak murah lagi.
Tapi yang namanya mimpi memang seharusnya digantung setinggi mungkin. Tinggal kuatkan usaha dan doa, selanjutnya biar Allah yang menentukan apakah kita layak mendapatkannya atau tidak.
"Tante Rara!" panggilan seorang anak perempuan berusia enam tahun. Namanya Aurel, ia anak bungsu kak Gita saat ini, sebab aku tidak tahu apa mereka akan menambah anggota lagu atau tidak. Anaknya sangat ramah sekali. Hanya butuh beberapa jam saja maka kita sudah dekat dengannya.
Memang lebih mudah dekat dengan Aurel ketimbang dua kakaknya yang cenderung kalem dan tidak terlalu suka berbincang dengan orang lain.
"Assalamualaikum sayang, bunda ada?" tanyaku.
"Eh iya, lupa. Assalamualaikum Tante Rara!"
"Wa'alaikumussalam Aurel."
"Bunda ada di dalam. Sama om yang itu lho," Aurel mengedipkan sebelah matanya. Anak ini memang sudah pandai sekali menggodaku. Entah siapa yang mengajarinya. Tetapi jika aku dan Arif menjalani ta'aruf, maka ia akan mulai beraksi.
"Kalau begitu Tante Rara masuk dulu, ya." aku melambaikan tangan, bergegas masuk ke rumah kak Gita.
"Assalamualaikum." dengan suara agak gemetar, aku masuk ke rumah kak Gita. Di sana sudah ada Arif, mas Fian; suami kak Gita, serta kak Gita sendiri.
Entah mengapa, meskipun sudah dua tahun bekerja di kantor yang sama dengan Arif, tapi setelah ia mengajukan Khitbah, setiap melihatnya dadaku selalu gemetar, badan pun ikutan panas dingin.
"Nah itu Rara sudah datang." kak Gita mempersilakan aku duduk di sampingnya. "Karena semua sudah ngumpul, silakan Rif, sampaikan apa yang ingin disampaikan." kak Gita mempersilakan pada Arif untuk berbicara. "Sepertinya penting sekali sampai ketemuannya dadakan gini."
"Mmm, sebenarnya ...." Arif tampak ragu-ragu, terbukti dari gerakannya yang tidak nyaman, tertangkap oleh ujung mataku.
"Kenapa Rif?" kini mas Fian yang buka suara. "Bicarakan saja. Tidak usah ragu-ragu. Toh kalian sebentar lagi menikah." tambah mas Fian, membuat pipiku jadi merona karena malu.
Mengingat tentang pernikahan yang tinggal menghitung hari memang selalu membuatku jadi salah tingkah. Membayangkan memasuki fase baru di hidupku. Di mana semuanya akan dilakukan bersama orang baru, yaitu Arif. Rasanya badan jadi semakin panas dingin.
"Baiklah. Sebelumnya saya mohon maaf." Arif menundukkan kepalanya. Entah mengapa, aku yang semula panas dingin karena merasa sedang jatuh cinta berubah resah. Muncul pertanyaan dalam benakku, apa yang ingin disampaikan Arif, mengapa ia terlihat tidak nyaman. Padahal ia biasanya santai sekali kalau berbincang dengan kami. Bahkan bisa sampai bercanda.
"Ya Rif, silakan," mas Fian kembali mempersilakan Arif.
"Saya ingin minta maaf pada Rara, saya tahu ini mungkin akan membuat Rara marah atau bahkan membenci saya. Tapi harus saya sampaikan." kata Arif dengan berat.
Semua orang kini fokus menanti kata-kata Arif selanjutnya. Sebab semua yang hadir benar-benar dibuat penasaran olehnya.
"Saya ingin membatalkan acara pernikahan dengan Rata," kata Arif, dengan suara pelan namun terdengar lantang di telingaku.
Hah, batal? Tunggu dulu, maksudnya apa? Entah kenapa, tiba-tiba di atas pundakku ada beban berat ratusan kilogram yang tidak bisa kuangkat. Sehingga membuatku otomatis menunduk.
"Apa?" kak Gita hampir melonjak dari tempat duduknya. "Kamu bicara apa, Rif?"
"Sabar Bun, biar Arif selesaikan pembicaraannya dulu." pinta mas Fian, masih berusaha setenang mungkin.
"Jadi saya ingin membatalkan rencana pernikahan dengan Rata." Arif mengulangi pernyataannya tadi.
"Tapi kenapa, Rif?" tanya mas Fian, sambil menggenggam erat tangan istrinya yang mulai naik darah.
"Karena menurut saya, Rara terlalu baik untuk saya. Rasanya saya tidak pantas mendapatkan Rata ...," kata Arif, namun langsung dipotong oleh kak Gita.
"Terlalu baik? Lalu kamu mau mencari calon istri yang bobrok atau berandalan, Rif? Iya?" kak Gita sudah tidak bisa menahan diri. Akhirnya ia bicara dengan nada suara naik dua oktaf.
"Bukan begitu, kak. Tapi ...," Arif tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
"Rif, sebenarnya ada apa?" mas Fian masih mencoba tenang menghadapi Arif yang mulai terasa menggemaskan.
"Saya tidak bisa menikah dengan Rara, mas." jawab Arif.
"Tapi kenapa?" tanya mas Fian lagi.
"Rara itu terlalu baik untuk saya, mas. Rasanya saya tidak akan mungkin bisa menyeimbangi Rara. Saya terlalu jauh dibandingkan Rara. Saya tidak percaya diri, mas." ungkap Arif.
"Jangan begitu, Rif. Kamu lihat saya dan istri. Kami juga berbeda jauh. Istri saya perfeksionis, ia bisa semua hal. Sementara saya sangat jauh dibandingkan dia. Bayangkan saja, dalam segala hal termasuk karir saya ketinggalan. Tapi saya tidak menolak itu, justru bersyukur Allah berikan semua itu. Kenapa? Sebab itu rezeki dari Allah. Yang terpenting kita bisa membimbing mereka menjadi istri yang shalihah." kata mas Fian.
"Enggak bisa mas. Saya tetap tidak bisa." ungkap Arif.
"Kamu ini, mau mempermainkan ya? Kamu kira kamu siapa Rif? Tega sekali kamu mempermainkan anak orang. Kamu tahu dosanya, Rif? Lagipula dari awal kan kamu tahu tentang pekerjaan Rara. Kenapa baru komplen sekarang?" bentak kan Gita, sambil bangkit dari duduknya. Mungkin kalau tangannya tidak ditahan mas Arif, sudah habis Arif dijambaknya.
"Bukan kak," jawab Arif, seperti takut menghadapi kak Gita.
"Alasan kamu itu terlalu klasik, Rif. Terlalu baik. Di telingaku terdengar seperti mengada-ada. Pasti ada alasan lain yang kamu sembunyikan. Iya, kan? Jawab, Rif!" kak Gita terus menyerang Arif, memaksanya mengaku, tapi yang diintrogasi tetap memilih jawaban klasik menurut kak Gita sebagai alasan pembatalan rencana pernikahan yang tinggal menghitung hari.
"Benar kak, semua karena menurut aku, Rara terlalu baik. Kakak tahu sendiri, kan, Rara lebih bagus karirnya di kantor, bahkan kemungkinan besar ia akan dinaikkan jabatan sebagai supervisor," ungkap Arif.
"Manajer!" tambah kak Gita.
"Hah, manajer? Benar, kak? Tuh kan," Arif langsung berubah uring-uringan. "Sementara aku hanya staff biasa, kak. Yang sepertinya naik jabatan hanya impian saja."
"Aneh, aku enggak bisa terima." ungkap kak Gita.
"Sudah, bunda diam dulu. Sekarang kita dengarkan apa pendapat Rara." usul mas Fian.
Kini, tiga pasang mata itu menatapku penuh tanda tanya. Mungkin mereka juga heran, sejak awal Arif mengemukakan pendapat, aku tidak bicara sedikitpun. Lebih memilih diam, mendengarkan perdebatan sengit antara Arif dan Kak Gita.
Sikapku itu mungkin karena kaget. Siapa coba yang enggak syok, mendengar kata pembatalan dari seseorang yang kita percaya akan menghabiskan sisa hidup kita, hanya sepekan sebelum pernikahan. Ya, sepekan, tujuh hari.
Rasanya badan sudah panas dingin. Bukan lagi panas dingin karena jatuh cinta, tapi karena tiba-tiba hati yang berbunga-bunga dihancurkan. Remuk seremuk mungkin.
Di sini, meski patah hati, aku mencoba untuk tidak menangis sedikitpun. Kalaupun air mata ini harus menetes, tidak di hadapan Arif. Ia tidak pantas untuk ditangisi. Arif jahat, jahat sekali.
Entah kenapa aku malah ingin memberinya sedikit pelajaran agar ia sadar atas kesalahan yang dilakukannya.
"Ra," kak Gita menggenggam pelan tanganku.
Perlahan, aku mengangkat wajah, dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. Ibu senyum yang sudah kukatakan untuk nanti diperlihatkan pada tamu-tamu yang datang di acara pernikahan kami. Tapi karena semuanya akan batal, maka senyum ini kupersembahkan untuk Arif.
"Kalau tidak mau bicara, tidak apa-apa, Ra." bisik kak Gita.
"Aku enggak apa-apa, kak." kataku. Masih dengan senyum yang sama. "Baiklah, karena mas Fian dan mungkin semuanya ingin tahu jawabanku, maka akan kujawab. Kalau Arif memang ingin membatalkannya, ya sudah. Mulai sekarang hubungan kita berakhir." kataku. Singkat, padat, tanpa ada drama menangis meraung-raung meratapi keputusan Arif meski dadaku sakit sekali ingin menumpahkan air mata.
"Benar Ra, tidak apa-apa?" tanya Arif, hati-hati. Sepertinya ia tidak yakin dengan jawaban yang aku berikan.
"Iya, tidak apa-apa." aku mengacungkan ibu jari, menunjukkan padanya bahwa aku baik-baik saja. Tetapi hatiku berkata lain, hancur, semuanya porak-poranda.
"Ra," kak Gita malah terlihat berkaca-kaca.
"Baiklah, karena Rara sudah menjawab tidak apa-apa, berarti masalahnya sudah selesai. Kalau begitu aku pamit dulu." ucap Arif.
"Heh, tunggu dulu," kak Gita menahan langkahku Arif yang hendak keluar. "Jangan pulang dulu!"
"Kenapa kak?" tanya Arif, balik lagi menatap kak Gita. Wajahnya kembali memucat, mungkin khawatir akan ditanyai lagi.
"Bagaimana dengan orang tua, Rara? Tamu-tamu yang sudah diundang, persiapan pesta?" tanya kak Gita. "Apa pertanggungjawaban kamu? Kapan kamu mau bicara dengan orang tua Rara? Lalu bagaimana dengan pembayaran catering. Terus cara menghubungi tamu-tamu yang sudah terlanjur diundang?"
"Gimana, Ra?" dengan entengnya Arif bertanya balik.
Aku yang semula berusaha bersikap tenang meski jantung dah dig dug, ingin sekali memukul kepala Arif sekuat mungkin. Tapi kutahan sambil mengucapkan istighfar berulang kali. Sabar Rara, sabar. Dia adalah ujian untukku!
"Ra!" panggilnya lagi, ia tampak tidak sabaran. Padahal masalah ini Arif yang menimbulkan, tapi malah menyuruhku mencari solusinya.
"Kok tanya Rara. Ya kamu dong yang cari solusinya. Kan kamu yang awalnya ngelamar Rara, setelah disetujui, malah kamu yang membatalkan secara sepihak tanpa penjelasan yang masuk akan. Kalau begini aku malah curiga, jangan-jangan ...." kak Gita menatap Arif dengan penuh kecurigaan.
"Kalau dengan orang tuaku, urusannya sudah beres, kak." cetus Arif. "Mereka sudah tidak ada masalah. Aku sudah jelasin baik-baik."
"Orang tua kamu terima-terima saja?" tanya kak Gita.
"Iya kak. Namanya juga tidak cocok, ya bagaimana lagi. Masa harus dipaksakan!" tutur Arif.
"Ya Tuhan, anak ini!" kak Gita ingin menerjang Arif, tapi suaminya dengan sigap menangkap tubuh kak Gita, memeluknya dari belakang agar kak Gita tidak jadi mencakar muka Arif. "Lepas yah. Lepaskan bunda. Biar bunda cakar mukanya. Biar dia tahu rasa. Laki-laki kok kayak begini. Enggak punya perasaan. Enggak punya hati. Dia kira membatalkan pernikahan yang sudah dipersiapkan semaksimal mungkin segampang ngebatalin pesanan makanan di cafe. Itu saja kamu bisa diomelin. Bahkan mungkin kamu harus tetap bayar seharga pesanan kamu. Tapi bukannya mikir ke sana, kamu justru hanya memikirkan diri sendiri. Jahat kamu, Rif. Jahat banget!" tunjuk kak Gita tidak beralih dari Arif. Ia masih berusaha melepaskan diri dari mas Fian agar bisa menyerang Arif.
"Lho, masalahnya apa lagi, kak?" Arif masih bertanya dengan polosnya.
"Dasar kamu ya, Rif. Lama-lama habis juga kamu olehku. Masa kamu cuma mikirin diri sendiri. Lalu Rara bagaimana?" tanya kak Gita
"Urusan keluarga Rara ya dia yang beresin, kak. Kok aku?" Arif masih memasang wajah polosnya.
"Dasar kamu ya!" kak Gita makin meradang. Siap menerjang Arif. Bahkan kakinya sudah memasang kuda-kuda.
"Udah Rif, mending sekarang kamu pergi," mas Fian berusaha mengusir Arif agar segera angkat kaki karena sudah kewalahan menahan berat tubuh kak Gita yang memang lebih besar dibandingkan mas Fian.
Mungkin karena takut pada serangan kak Gita, atau karena memang tidak punya otak dan perasaan, Arif menuruti perintah mas Fian. Ia langsung buru-buru kabur dari rumah kak Gita tanpa mengucap salam ataupun pamit pada siapapun.
"Dasar anak enggak ada otak. Kamu kira bisa lepas dari aku. Lihat saja besok, aku cakar kamu di kantor!" seru kak Gita. "Ayah juga, kenapa harus nahan-nahan bunda segala? Biarin bunda memberinya pelajaran!" kini kemarahan kak Gita tertuju pada suaminya.
"Ya maaf sih, Bun. Kita harus sabar, menjadi penengah. bukannya memperkeruh suasana." pinta mas Fian.
"Enak saja. Dia itu tipe laki-laki tidak bertanggung jawab. Maunya apa, sih? Bikin kesal saja!" kak Gita masih mengomel.
"Bun," mas Fian memberikan isyarat bahwa di sini masih ada aku yang diam mematung sedari tadi menyaksikan pertunjukan barbar ala-ala kak Gita dan Arif.
"Ra!" kak Gita segera menuju aku, ia memelukku erat, tapi aku tidak memberikan reaksi apapun selain diam mematung. "Ra, ngomong dong Ra. Kalau kamu mau marah, maki-maki kami saja. Mau nangis juga silakan." kata kak Gita.
"Jangan sungkan, Ra," tambah mas Fian.
"Yah, pergi dulu sana. Biar Rara sama bunda dulu," pinta kak Gita yang sudah tenang.
"Kak, aku pulang ya." kataku, setelah kak Gita melepaskan pelukannya.
"Ra!" panggil kak Gita. "Kamu pasti kecewa sekali, ya?"
"Assalamualaikum!" aku menyalami kak Gita.
"Ra, kak Gita antar ya." kata kak Gita lagi, sambil meraih tanganku.
"Iya Ra. Kamu diantar Gita saja." tambah mas Fian.
"Enggak usah. Rara bawa motor sendiri, kok." kataku lagi.
"Ya udah, kamu naik mobil sama aku. Motornya dibawa mas Fian. Nanti dia ngikutin kita dari belakang." usul kak Gita.
"Nah, begitu juga tidak apa-apa." sambut mas Fian.
"Enggak usah. Aku pulang dulu ya." aku melambaikan tangan, berlalu keluar rumah kak Gita.
"Ra, hati-hati. Kalau ada apa-apa kabari kak Gita ya." pesan kak Gita.
Sampai di halaman rumah, aku langsung naik motor. Bernafas sejenak sambil menatap rumah kak Gita. Baru kemarin rasanya saat keluar rumah ini dengan hati berbunga-bunga. Saat proposal kami rasanya sama-sama cocok.
Ketika keluar dari rumah kak Gita saat itu, sempat aku dan Arif saling lempar senyum. Rasanya indah sekali. Meskipun tidak ada kata-kata yang terucap tapi aku bisa merasakan bahwa benih-benih cinta itu mulai muncul.
Tapi sekarang rasanya sungguh beda. Hampa. Aku keluar seperti mayat hidup. Tidak punya tenaga sedikitpun, lemas seperti beberapa hari tidak makan dan minum. Belum lagi perasaan yang tidak dapat diterjemahkan dengan kata-kata saking hancurnya. Bahkan aku tidak tahu harus melakukan apa terlebih dahulu.
Motor ku stater. Kak Gita dan mas Fian masih menunggu dengan harap-harap cemas. Bahkan kak Gita masih menawarkan untuk diantar.
"Pulang dulu ya kak, mas!" seruku, sambil melempar senyum yang sudah payah kubuat demi menenangkan hati mereka. Lalu motor melaju keluar rumah kak Gita.
Jalanan masih saja ramai seperti saat aku datang tadi. Kuputuskan untuk lewat jalan besar. Melewati bus kota yang lalu-lalang seenak mereka.
Tin. Suara klakson bis berukuran besar menyadarkan aku bahwa kini sudah berada di jalur busway. Buru-buru aku keluar sebelum melewati pos polisi di depan. Bisa-bisa aku kenal tilang.
Tin tin tin. Lagi-lagi suara klakson membuat jantungku berdegup kencang. Saat kepala mobil berhenti tepat di depanku.
"Mbak, hati-hati bawa motor!" seru seseorang dari balik jendela mobilnya.
"Hah," kataku.
"Mbak, cepat menepi, busway mau lewat!" lelaki di balik kemudi mobil itu menunjuk ke arah belakang, tampak busway melaju ke arahku.
Dengan sigap lelaki itu memundurkan mobilnya agar aku bisa lewat, sementara kendaraan di belakang langsung heboh. Aku yang masih kebingungan menurut saja dengan perintah orang tersebut.
Bukannya melanjutkan perjalanan, aku memutuskan untuk berhenti di bahu jalan sebab jantungku rasanya berdetak tidak normal. Sementara kendaraan yang sempat macet tadi melanjutkan perjalanan mereka sehingga macet langsung terurai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!