“Jadi kamu ketemu Mili lagi tidur di rumah orang bukan diculik ?” tanya Arumi saat bertemu Milea keesokan harinya di kantor.
“Iya, Emilia habis ngambek dengan 2 temannya yang meledeknya karena tidak punya orangtua.”
“Kasihan. Anak itu tidak diterima dimana-mana,” ujar Arumi sambil menarik nafas panjang.
“Iya kasihan melihat kondisinya kemarin. Mimpinya begitu sederhana, ingin memiliki orangtua yang bisa dia pamerkan sama teman-temannya.”
“Semuanya akan lebih mudah kalau kalian berdua menerima wasiat dari Dina,” ujar Arumi sambil tertawa pelan.
“Bagaimana bisa menjadi orangtua untuk Emlia sementara perasaan saya pada Arkan masih abu-abu dan Arkan sendiri menolak keras Emilia.”
“Apa Arkan pernah menceritakan soal ayah kandung Emilia ?” suara Arumi terdengar seperti pancingan di telinga Milea.
“Tidak penting bagi saya untuk mengetahui siapa ayah kandung Emilia. Membuat hati saya kembali mencintai Arkan seperti dulu saja butuh perjuangan,” sahut Milea sambil tertawa pelan.
“Anggap saja kembali masa SMA dan nikmati dikejar-kejar cinta Arkan,” ledek Arumi. “Aku yakin kalau adikku gagal mendapatkan cintamu kembali, dia akan memilih hidup selibat daripada mencari penggantimu.”
“Jadi ge-er saya, Kak,” Milea tertawa.
“Padahal gadis-gadis yang mengejarnya cantik-cantik dan tidak ketus seperti kamu, tapi kalau bicara hati susah untuk dipaksa.”
Milea tertawa mendengar omelan Arumi tanpa merasa sakit hati. Kenyataannya memang Milea sering bersikap ketus pada Arkan.
“Tolong kosongkan waktu makan siangku sampai jam 2. Aku mau bertemu dengan Henri, berdiskusi soal Emilia.”
“Baik Kak.”
Milea membungkukan badannya sekilas dan keluar meninggalkan ruangan Arumi.
***
Jam 12.30 Arumi sudah sampai di cafe yang diinfo oleh Henri. Suaminya itu baru saja selesai meeting akan lanjut makan siang dengan wanita cantik yang melenggang ke arahnya.
“Sudah tidak sabar bertemu denganku ?” bisik Henri sambil merangkul pinggang Arumi saat wanita itu sudah berdiri di dekatnya.
“Klien Mas Henri sudah pulang ?”
“Baru saja. Mau kemana kita sekarang ?”
Henri membawa Arumi menuju parkiran dengan tangan masih merangkul pinggang ramping itu.
“Lagi pingin makan ikan goreng,” sahut Arumi dengan nada manja.
“Tinggal sebut aja, Sayang,” Henri berbisik sambil mencuri ciuman di pipi Arumi.
15 menit kemudian keduanya sudah duduk berhadapan di meja restoran kuring yang letaknya tidak terlalu jauh dari cafe.
Arumi langsung memesan beberapa menu sementara Henri memeriksa pesan dan email yang masuk.
“Mau membahas soal apa ? Masalah Arkan dan Milea lagi ?” tanya Henri saat pelayan sudah meninggalkan mereka.
“No,” Arumi menggeleng. “Soal Emilia.”
“Emilia ?” Henri melepas kacamatanya dan menautksn kedua alisnya. “Bukannya kemarin Milea sudah berhasil menemukannya ? Ada masalah apa lagi ?”
Arumi pun menceritakan apa yang disampaikan Milea pagi ini.
“Itu hak mereka untuk menolak wasiat Dina, mereka sudah dewasa untuk mengambil keputusan dan jangan dipaksa. Dan soal Emilia pasti akan ada masa dimana dia merasa berbeda dengan teman-temannya meskipun ada Oma dan Opanya.
“Sebetulnya, aku ingin mengajak Emilia menginap di rumah selama seminggu biar hati anak itu bisa sedikit terobati. Penolakan Arkan yang begitu keras pasti sangat melukai hatinya.”
“Aku terserah kamu aja, Sayang. Aku tidak masalah ada tambahan anak kecil di apartemen. Kamu atur aja baiknya gimana.”
“Beneran kamu nggak terganggu ?”
“Nggak akan, Sayang.” Henri menggenggam jemari Arumi. “Kamu kan juga tahu bagaimana kita cukup dekat dengan Emilia sejak dia bayi. Siapa tahu dengan sering-sering mengajak Emilia menginap, kita akan diberi keturunan juga. Kata orangtua dulu untuk mancing.”
“Mancing ikan ?” cibir Arumi.
“Mancing anak kecebongku biar tumbuh subur di dalam rahimmu, Sayang,” sahut Henri sambil tergelak.
“Maaf Mas, sampai sekarang aku belum bisa memberikan anak untukmu,” ujar Arumi dengan wajah sendu.
“Sayang, jangan jadikan masalah itu beban lagi. Kan kita sudah sepakat menganggap semua ini sebagai kesempatan untuk menikmati masa berdua karena sebelum menikah kita lebih banyak LDR-nya.”
“Iya tapi ini sudah 5 tahun dan usia kita kan nggak tetap muda.”
“Kita sama-sama belum kepala 3, Arumi sayang. Ingat kata dokter, stress tinggi bisa menjadi salah satu faktor sulitnya mendapat keturunan.”
Arumi tersenyum meski dalam hatinya terasa sedih karena dirinyalah yang menjadi penyebab belum adanya buah hati dalam pernikahannya dengan Henri.
“Arumi,” Henri kembali menyentuh jemari istrinya yang melamun. “Makan dulu, ikan goreng kesukaanmu sudah menanti minta dinikmati.”
Henri mengambilkan nasi dan lauk untuk Arumi.
“Hei, seharusnya aku sebagai istri yang melayanimu di meja makan,” protes Arumi dengan wajah cemberut.
“Tidak masalah kalau aku yang melayanimu sekarang, nanti malam kamu bisa membalasnya.”
Henri kembali tertawa saat Arumi kembali mencibir.
“Aku akan mengajakmu bulan madu lagi setelah acaramu beres,” ujar Henri.
“Bulan madu ? Memangnya tiap malam masih kurang ?” tanya Arumi di sela-sela makannya.
“Cari suasana baru, Sayang. Lagipula kita membutuhkan tempat yang bisa membuatmu tidak perlu khawatir saat mengeluarkan suara-suara merdu.”
“Gara-gara Mas Henri yang terlalu semangat bikin aku susah menahan diri.”
“Nggak apa-apa, Yang. Aku senang banget kok dengar suara kamu.” Henri tertawa membuat Arumi tersipu.
“Habis ini harus balik kantor ?” tanya Henri. “Kalau memang bisa ditinggal, kita langsung jemput Mili terus ajak jalan, gimana ?”
“Sepertinya nggak ada. Tadi sih aku sudah minta Milea mengosongkan jadwalku sampai jam 2. Tapi nanti aku pastikan.”
“Habiskan makanmu dulu, Sayang. Biar aku yang menelepon Milea.”
Henri mengambil handphone istrinya dan langsung menghubungi Milea, minta supaya jadwal istrinya dikosongkan sore ini.
“Beres, Sayang. Milea bilang tidak ada jadwal meeting, hanya pertemuan internal dengan staf fashion show. Milea akan mengatur dengan Kiki dan Hanum.”
Arumi hanya mengangguk karena mulutnya sedang penuh dengan makanan. Henri tertawa melihat istrinya yang begitu bersemangat menikmati makan siang hari ini.
Selesai makan siang, Henri yang sudah mengatur pekerjaan dengan stafnya langsung mengajak Arumi menjemput Emilia.
Bocah 4 tahun itu melonjak kegirangan saat Arumi dan Henri memberitahu akan mengajaknya menginap bersama mereka selama seminggu.
Tante Heni yang sudah dihubungi oleh Arumi lewat telepon sengaja tidak memberitahu Emilia, tapi sudah menyiapkan semua keperluan bocah itu.
“Jangan nakal di tempat Mommy dan Daddy-mu,” pesan Oma Heni saat Emilia berpamitan.
“Ma, mbaknya Mili bisa besok saja datang ke sekolah ? Rencananya habis ini Mas Henri mau mengajak Mili jalan-jalan dan main ke mal. Sepertinya aku dan Mas Henri bisa menjaga Mili tanpa babysitter.”
“Yakin nggak akan merepotkan ? Atau mau mama antar ke apartemen setelah kalian selesai jalan di mal ?”
“Nggak, Ma, Mili kan bukan bayi lagi,” Henri ikut menjawab. “Kalau lapar sudah bisa minta makan dan kalau mau ke toilet sudah bisa bilang.”
”Mili sudah bikin PR ?” tanya Henri sambil menggendong bocah itu.
“Sudah selesai, Dad,” Mili mengangguk sambil merangkul leher Henri.
“Good girl,” Henri memberikan ibu jarinya.
“Keperluan Mili sudah siap, Ma ?” tanya Arumi pada Oma Heni.
“Sudah, biar dibawakan langsung ke mobil Henri.”
Emilia yang teralu senang akan diajak menginap dengan Henri dan Arumi tidak mau lepas dari gendongan Henri.
“Mili, jangan digendong terus,” nasehat Oma Heni. “Mau oma bawakan kereta dorongmu ?”
“Oma, Mili bukan baby lagi, masa pakai kereta bayi,” bocah itu langsung cemberut membuat Henri tertawa.
“Kalau bukan baby, nanti di mal nggak boleh digendong terus, ya,” ujar Arumi sambil mencubit gemas pipi bocah itu.
“Iya, nanti Mili jalan. Kalau sekarang nggak digendong Daddy, nanti Mili ditinggal.”
“Iya Daddy nggak tinggal, kita ke mobil duluan aja, ya ?”
Mili mengangguk dan melambaikan tangannya pada Oma Heni yang geleng-geleng kepala melihat kelakuan cucunya.
“Jangan terlalu dimanja berlebihan, Rumi. Nanti kalau ketagihan ingin tinggal dengan kalian terus malah bikin repot,” pesan Mama Heni.
“Tenang, Ma, Mili bukan anak yang keras kepala. Dia masih mau mendengarkan ucapan orang lain, hanya saja kondisi dengan teman-temannya yang membuat Mili merasa berbeda.”
“Terima kasih karena kamu dan Henri selalu peduli padanya.”
“Rumi pamit ya, Ma. Kalau ada apa-apa nanti aku hubungi mama.”
Mama Heni hanya mengangguk sambil tersenyum. Mengantar Arumi sampai ke teras dan melambaikan tangannya pada Emilia yang terlihat bahagia duduk di kursi penumpang belakang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments