PART 16

21 April—Pukul 07.21

“BAJINGAN! KAU APAKAN WESLEY, HUH?!”

Melalui megafon, Austin berteriak marah. Mereka telah mencari Wesley ke seluruh penjuru rumah, tetapi nihil.

“Dia tidak membunuh Wesley,” ucap Jasper.

“Dia menculiknya,” duga Austin, sebab tak ada jasad Wesley.

“Untuk apa…? Dan bagaimana caranya menculik Wesley tanpa kita ketahui?”

Benar, apa yang dikatakan Luna sangat masuk akal.

“Siapa yang terakhir bertemu Wesley?” tanya Jasper.

“Aku, saat sedang memeriksa perkembangannya.”

Seketika, sudut mata Luna melihat Sam. “Jam berapa itu?”

“Sekitar jam 5.50 pagi.”

“Sandra atau Hank tidak ada di sana?”

“Hank masih tidur dan Sandra sedang mengurus Alycia.”

“Apa yang kau lakukan Setelah memeriksanya?”

Sam diam sejenak, sebelah alisnya tertaut. “Bisa kau jelaskan maksud pertanyaanmu?”

“Aku perlu memastikan kebenaran,” balas Luna.

“Jadi kau meragukan perkataanku?”

“Aku hanya ingin tau.”

“Kau sudah tau semuanya dari perkataanku barusan.”

“Tenanglah, kalian berdua.” Jasper melerai sebelum terjadi perselisihan. Ia mengambil alih megafon dari Austin.

“Jika Wesley benar ada di tempatmu, aku peringatkan untuk tidak menyentuhnya sedikit pun. Aku serius dengan perkataanku. Kau akan terima akibatnya bila terjadi sesuatu pada Wesley.”

Jasper melempar megafon sembarang arah. Mendesah kasar, Jasper turun dari rooftop. Ia menjejak ke ruang rawat di mana Sandra berada, lalu mendekati Sandra yang menangis sesegukan.

Kondisi Wesley jauh dari kata baik, ditambah usianya yang tak lagi muda. Dari luar, Wesley memang tampak sehat, tetapi sebetulnya organ dalam Wesley telah dimakan usia. Sandra sangat takut. Dirinya tak bisa membayangkan hidup tanpa Wesley—pria yang telah menemaninya selama 35 tahun.

“Selamatkan dia..., selamatkan dia, Jasper. Kumohon...,” lirih Sandra. “Aku tak mau menjalani hidup tanpanya. Aku tau kau bisa menyelamatkannya, Jasper. Tolong aku....”

Gigi Jasper gemeretak. Melihat Sandra yang terus memohon membuat hatinya ikut tersayat. Namun, dirinya kesulitan dalam menentukan keputusan. Menyusup untuk menyelamatkan Wesley akan memakan waktu, sementara karabin belum terbentuk sama sekali.

“Wesley masih hidup. Dia ada di sana,” ucap Jasper.

Nyatanya kalimat Jasper tidak menenangkan Sandra. Hati wanita itu sangat gusar. “Dia sedang terluka. Bagaimana jika pelaku itu tidak merawatnya, atau justru tambah melukainya?”

“Maka aku akan membunuhnya.” Bariton Jasper berat. Sumpah seorang sahabat. Bagi Jasper, Wesley bukan sekadar kolega, tetapi saudara yang tercipta tanpa ikatan darah.

“Sekarang, kita harus fokus pada rencana.”

Sandra memandang Jasper tidak percaya. “Kalian meninggalkan suamiku?”

“Bukan seperti itu. Tapi kau tau waktu kita sangat mepet, jangan sampai dia berhasil merenggut nyawa penduduk kita lagi.”

“Kalian hanya mementingkan nyawa kalian, tidak dengan nyawa suamiku."

“Aku akan menyelamatkan suamimu setelah karabin siap.”

“Bagaimana jika sudah terlambat? Bagaimana jika suamiku telah dibunuh olehnya?” pekik Sandra. Dadanya naik turun sebab emosi. Wajahnya merah padam, amarah bercampur sedih dan cemas.

“Itu tidak akan terjadi, Sandra. Aku pastikan itu takkan terjadi.”

“Jangan buat janji yang tak bisa kau tepati, Jasper. Kau tidak bisa mengendalikan orang itu.” Air mata Sandra mengalir deras.

“Kau seharusnya tau Wesley tak semudah itu dikalahkan,” tutur Jasper.

“Tapi dia sedang terluka..., dia tidak baik-baik saja, Jasper.” Sandra menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisnya semakin isak.

“Wesley akan menemukan caranya sendiri.” Enggan lama-lama—sebab Jasper pun sulit menjawab pertanyaan Sandra—Jasper meninggalkan ruang rawat dan pergi ke ruang bahan baku senjata.

...***...

21 April—Pukul 08.11

“Wajahmu terasa menyebalkan.” Sam menuang beberapa tetes cairan ke dalam tabung reaksi.

“Berhenti bicara sebelum TATP meledakkan kita berdua.” Terus terang, Glenn kesulitan konsentrasi mencampurkan bahan kimia.

“Biasa kau belajar kimia secara teoritis. Sekarang kau bisa mempraktikkannya sendiri. Setidaknya berbahagialah untuk itu.”

“Aku akan bahagia jika kita menyelesaikan ini tanpa meled—”

Boom!

Glenn spontan mundur dua langkah. Percobaannya gagal, tabung reaksi berakhir meledak dan pecah.

“Sial!” Glenn mengumpat kesal.

Sam menyungging senyum tipis. “Tak apa. Bersihkan cairan tanpa berkontak langsung dengan kulit.”

Glenn mengangguk, lantas memakai sarung tangan.

“Aku memilihmu ke dalam timku karena kemampuanmu di bidang kimia. Kau hanya perlu sedikit diasah.”

Glenn menoleh Sam. Dengan mudahnya Sam menggabungkan unsur-unsur kimia, bahkan sambil mengobrol. “Bisakah kau mengasahku?”

“Dengan senang hati.”

Sedetik kemudian, Jasper masuk.

“Di mana Luna?” tanya Jasper.

“Di ruang tengah bersama Alice, sedang membahas beberapa hal dengan Austin,” jawab Sam.

Jasper memperhatikan Glenn. Putranya bersikap tak acuh atas kehadirannya. Jasper mengurungkan untuk bicara dengan Luna.

“Sam, boleh kuminta ruang sebentar?”

“Ya, silakan.” Sam melepas sarung tangan, lalu meninggalkan ruangan.

Kini, tersisa ayah dan anak. Atmosfer belum membaik sejak fajar tadi, menyisakan aura perbalahan yang cukup kental.

"Bisakah kita bicara sebentar?" Jasper buka suara.

"Aku sedang sibuk," ketus Glenn.

"Kita semua sedang sibuk."

"Ya, kalau begitu kenapa ayah tak mengurus pekerjaan ayah saja?"

"Salah satu pekerjaan ayah adalah mengurusmu." Jasper melangkah mendekat. "Setelah kepergian ibumu, ayah hanya memilikimu. Tolong, jangan bertindak sesuatu yang bisa menyakiti dirimu. Jangan buat ayah bersalah padanya."

Gerakan Glenn terhenti. Ia meletakan alat-alat yang dipegang ke atas meja, kemudian berbalik badan menghadap Jasper.

"Apa kau melakukan semua ini karena ibu?"

"Ibumu selalu meminta ayah menjagamu, jauh sebelum kau lahir. Maka itu yang akan ayah lakukan."

"Apa ibu kecewa padaku, ayah?"

Jasper mengernyit. "Apa maksudmu?"

Glenn tertawa sumbang. "Ibu mungkin tidak akan berkata demikian jika tau aku hanya selalu mengecewakan ayah."

"Ayah tidak pernah kecewa padamu, Glenn."

"Ayah bohong. Kelahiranku saja sudah mengecewakan." Glenn melepas sarung tangan. Entahlah, tiba-tiba dadanya sesak saat membahas sang ibu.

"Aku ingin meregangkan tubuh." Glenn berjalan keluar. Tepat di depan pintu, ia berpapasan dengan Luna. Namun Glenn sekadar menyapa melalui sudut mata.

"Dia merindukan ibunya." Luna masuk.

"Sejak kapan kau di sana?"

"Sejak Sam bilang kau mencariku."

"Bagaimana kau dan Sam?" tanya Jasper.

"Tidak seburuh kau dan Glenn," ucap Luna. "Glenn masih tergolong anak-anak. Walaupun kau dan orang-orang di sekitar selalu menyayanginya, tapi Glenn tetap butuh sosok ibunya. Sayang, Glenn tak akan pernah bisa mendapatkan itu."

"Faktor psikologis. Glenn merasa kelahirannya membuat Elena meninggal. Sehingga dia cenderung menyalahkan dirinya atas segala sesuatu yang berhubungan dengan Elena," imbuh Luna.

"Aku tak pernah menyinggung kepergian Elena di depannya."

"Ya, tapi bukan berarti traumanya lenyap."

Jasper menarik napas dalam-dalam. Hati ayah mana yang tidak sakit mendengar penuturan itu dari mulut putranya? Jasper sangat mencintai Elena, begitu pula dengan Glenn.

"Sudahlah." Jasper menyudahi topik percakapan. Kemudian ia menyerahkan sesuatu pada Luna. "Aku percaya kau."

...***...

21 April—Pukul 08.19

Ruang tengah dialih fungsikan menjadi tempat perakitan badan karabin. Mereka menggunakan alumunium tempa sebagai bahan dasar. Sementara Jane, Ruby, dan Hank mengurus karabin, Austin dan Hugo menangani pengontrol signal.

Dari balik masker las, Hank berbicara. "Ini pelatihan ke dua untuk menjadi seniman."

"Tidakkah yang kemarin cukup?" Ruby ada di samping Hank, melakukan pekerjaan yang sama dengan pria itu.

"Tentu tidak. Pelatihanmu masih panjang."

"Tolong arahkan putriku, Hank." Luna dan Alice juga ada di sini untuk mengabari ukuran gotri dan bahan apa saja yang telah siap. Selanjutnya, mereka mencocokkan ukuran dengan badan karabin.

"Tak masalah." Pria itu mendelikkan bahu. Matanya berporos pada Ruby, seakan mengatakan tugas gadis itu akan sangat banyak.

"Rube, lenganmu sudah benar-benar baik? Sam bilang kau menolak saat ingin diperiksa," ucap Luna.

"Aku baik-baik saja, bu."

"Biar aku periksa kau untuk terakhir kali." Alice menawarkan diri, tetapi Ruby menolak. Luna menghela napas. Putrinya yang keras kepala, menurun sempurna dari sifat sang ayah.

"Jika kau ingin diperiksa Alice tapi tidak denganku, maka aku akan tersinggung." Sam tiba-tiba muncul. Ia berjalan ke arah Hugo, melewati Luna begitu saja.

"Aku tak tau seorang pembuat film juga bisa merakit pemancar signal."

"Berterima kasihlah karena aku pernah belajar cara membetulkan radio," balas Hugo.

"Hey, jangan sentuh itu!" Hugo memukul tangan Sam yang nyaris menyentuh kabel.

"Oh, maaf." Sam refleks mengangkat kedua tangan. "Kabel apa itu?"

"Kabel yang bisa membakar kulitmu."

"Hati-hati tanganmu, Jane," peringat Austin.

Gadis itu membor lubang di lempengan baja, lalu memakai baut untuk menyambungkan dua baja.

"Tenang saja, aku bisa."

"Persis seperti yang Glenn katakan sebelum cairannya meledak," ujar Sam.

Alice mengulurkan kain kecil. "Tanganmu basah."

Jane mengelap telapak tangannya yang berkeringat. Beberapa jam lalu, Austin baru mengajarinya cara menggunakan alat bor. Dan ini pertama kalinya Jane mempraktekkan.

"Kenapa kau ke mari?" tanya Austin.

"Memberi ruang untuk ayah dan anak berbicara." Kemudian Sam mengerling Luna. "Jasper mencarimu."

"Untuk?" tanya Luna.

"Tanyakan padanya sendiri."

Nada bicara Sam rendah. Luna mendekat. "Kau masih marah, Sam?"

"Tidak."

"Aku minta maaf." Belum ada bukti atas kecurigaan Luna terhadap Sam. Kalau saja ternyata Luna salah, dirinya secara tidak langsung telah menghancurkan persahabatannya dengan Sam.

"Tidak perlu ada kata maaf, karena situasi memaksa kita untuk saling mencurigai." Sam menyentuh pundak Luna. "Aku tidak menyalahkanmu, Luna."

"Terima kasih." Luna tersenyum.

"Temui Jasper, tapi tunggu di luar sampai percakapannya dan Glenn selesai," ucap Sam.

Luna mengangguk, kemudian pergi menuju ruang senjata.

Di sisi lain, Jane tampak kerepotan. Akhirnya, Ruby berkenan pada Austin untuk membantu sahabatnya. Hugo lantas menggantikan posisi Ruby, sehingga Austin menyelesaikan remot karabin sendirian.

"Tahankan ini."

Ruby bergerak cepat, kemudian Jane membornya. Suara bor ternyata cukup mengganggu bila didengar dari dekat.

"Aku suka padanya."

Sontak, tangan Jane terjeda. Ia menoleh sekilas pada Ruby. "Glenn?"

"Iya. Tapi aku tak tau apa dia menyukaiku juga atau tidak."

"Dia menyukaimu."

"Benarkah?" Wajah Ruby sumringah. "Dari mana kau tau?"

"Ekspresi wajahnya."

"Kau serius, Jane? Dia benar-benar menyukaiku?" Bibir Ruby mengembang sempurna. Semburat merah menghiasi kedua sisi pipi gadis itu.

"Aku tak pernah membohongimu." Jane ikut tersenyum saat sahabatnya tersenyum. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya, Jane merasakan sakit. Namun apa daya bila kebahagiaan Glenn adalah Ruby, dan kebahagiaan Ruby juga adalah Glenn.

"Oh, Tuhan!!! Aku sangat senang!" Ruby tertawa bahagia. Namun sepersekian detik kemudian, dia menatap Jane.

"Jane, kau tidak masalahkan jika aku berhubungan dengan Glenn?"

Jane menggeleng. "Kenapa pula harus bermasalah?"

"Tapi, Rube. Bisakah kau memegangnya dengan benar? Karabin tidak bisa seimbang jika kita salah membentuk kerangkanya."

Ruby menyengir lebar. "Maafkan aku." Kemudian ia membenarkan posisi lempengan baja. "Baiklah, ayo lanjutkan pekerjaan kita!"

...***...

23 April—Pukul 19.34

Dua hari berlalu sejak karabin mulai dirakit. Proses penyelesaian menyentuh angka delapan puluh persen di mana sisa waktu hanya 8 jam. Orang-orang masih sibuk dengan pekerjaannya, terutama Jasper yang menangani dua tim sekaligus.

Di sisi lain, Sandra ada di kamar bersama Alycia. Sejak menghilangnya Wesley, wanita itu jadi pendiam dan urung keluar kamar. Sekadar mengurus bayi mungil ini yang terkadang dibantu oleh Alice.

Kini, Alycia sudah tertidur. Sandra menjejak ke meja, lalu membuka laci dan mengambil secarik kertas.

Kau ingin suamimu tidak sakit lagi, bukan? Jadi, lakukan perintahku.

Entah dari mana surat itu tiba-tiba ada di laci sesaat setelah Wesley ditembak. Mulanya Sandra mengabaikan. Tetapi pascaoperasi, Wesley tidak tampak membaik. Ketakutan mendominasi, hingga merenggut kewarasan dirinya.

Sandra meminta dia menyembuhkan suaminya, tetapi faktanya Wesley justru diculik. Ia terus mencari celah menghubungi orang itu, tetapi nihil balasan. Menyesal pun tiada guna. Sandra yang berharap nyawa Stewart bisa digantikan untuk sang suami, ternyata usahanya sia-sia.

"Maafkan aku, Stewart. Kau tak memiliki keluarga yang tersisa, maka itu aku pilih kau."

...***...

24 April—Pukul 00.45

Karabin selesai.

Austin merebahkan tubuhnya di atas kasur. Lengan kirinya dijadikan alas kepala. Palpebra Austin terpejam, tetapi isi otak terus berputar.

Wesley.

Sudah tiga hari pria itu menghilang. Apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia dalam keadaan baik?

"Kita punya tugas besar besok." Luna tahu Austin tak betul-betul tidur. Dia duduk di bibir kasur pria itu.

"Kau seharusnya tidur." Dalam keadaan mata terpejam, Austin membalas Luna.

"Begitu pula kau." Luna meletakkan telapak tangannya ke atas kening Austin. "Tidurmu tak nyenyak sejak semuanya terjadi. Kau mau kutemani?"

"Apa yang kau katakan?" Austin enggan salah paham.

"Hm... Tidur bersama."

"Kau istri temanku, Luna."

"Ya, dulu."

Perlahan, mata Austin terbuka. Ia menatap Luna sayu. "Pergi."

"Ada apa?" tanya Luna.

"Aku akan terlelap sebentar lagi, jadi jangan ganggu aku."

Luna memandang Austin sejenak. "Okay, selamat tidur." Lalu, Luna pergi.

Di tempat lain—ruangan walikota—Jasper duduk di meja kebangsaannya. Ia memegang foto yang ditangkap 20 tahun lalu, di mana istrinya sedang mengandung.

Elena Houston, istri Jasper Houston.

Dia berasal dari kota tempat Edith menjalankan praktik kedokteran 35 tahun lalu. Setelah menyandang gelar dokter, Edith bekerja kurang lebih 10 tahun di sana, dan Elena merupakan asistennya.

Ketika hendak kembali ke Chaderia, Edith meminta Elena ikut bersamanya. Di saat itulah pertama kalinya Jasper bertemu Elena.

Kala itu Sang walikota—Wales—menyadari sahabatnya menyukai Elena. Secara sengaja Wales memindahkan posisi Jasper ke bagian kesehatan. Setelah dipindahkan, Jasper terus melakukan kecerobohan lantaran latar belakangan yang memang bukan di bidang kesehatan.

Ia tersenyum mengingat satu kejadian memalukan, di mana dirinya refleks menangkap alat operasi yang dijatuhkan, tetapi ternyata tangan Jasper justru tersayat pisau bedah.

Elena sigap mengobati Jasper. Dan mulai saat itu, mereka menjadi lebih dekat hingga akhirnya menjadi sepasang suami istri.

"Dia sudah besar, sayang. Sudah memiliki pendiriannya sendiri, yang terkadang sedikit berbeda denganku. Dia anak yang baik. Dia kuat dan bisa diandalkan. Persis sepertimu. Aku yakin putra kita akan tumbuh menjadi laki-laki hebat. Walaupun sekarang aku harus mengurus dirinya yang semakin memberontak." Jasper tertawa kecil.

"Aku tak pernah menyesal sama sekali memilikinya, meskipun hal itu membuatmu pergi. Tapi, jangan khawatir. Aku akan terus mencintai putra kita apa pun dan kapan pun itu." Jasper mengecup foto sang istri.

"Beri aku kekuatan untuk mengakhiri segalanya hari ini."

To be Continue

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!