18 April—Pukul 10.06
Sam selesai memeriksa Anna. Ia melepaskan stetoskop dari kedua telinga, digantungkan ke leher. Kondisi Anna lumayan stabil, tetapi tetap beresiko nyeri di bagian jahitan. Sebabnya Sam meresepkan obat Pereda nyeri.
“Tiga hari sekali setelah makan.”
Erland menerima obat sambil menimang Alycia. “Ucapkan terima kasih pada paman dokter.”
Sam terkekeh, tak terbiasa dijuluki ‘kata itu’. Kendati memang itu profesinya. “Boleh aku menggendongnya sebentar?”
“Tentu.” Erland memindahkan Alycia ke tangan Sam.
“Hai, Alycia…., cantiknya.” Sam menggesek pelan hidungnya ke hidung Alycia. Gadis kecil itu tersenyum, suara-suara kecilnya membuat Sam gemas sendiri.
Sementara Erland duduk di bibir kasur, melingkarkan tangannya ke pinggang sang istri. “Kau cocok menjadi seorang ayah.”
Sam tersenyum mendengar pernyataan Anna. “Dulu aku ingin, tapi sekarang tidak.”
“Mengapa?”
“Apa alasan kau menikah dan memiliki anak, Erland?” tanya Sam.
“Karena aku mencintai seorang wanita. Dan melalui anakku, aku ingin istriku tahu bahwa aku sangat mencintainya.”
“Demikian pula denganku.” Untuk beberapa detik, Sam menatap Alycia nanar. Sebelum akhirnya diserahkan kembali ke orang tuanya.
“Lupakan masa lalu, Sam. Kau pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik.” Anna bergerak hati-hati memegang putrinya.
Sam melirik sekilas jam dinding. “Kurasa ini pemeriksaan terakhir, kau sudah membaik.”
“Terima kasih, Sam.”
...***...
18 April—Pukul 13.00
Seperti memakan buah simalakama.
Apakah ungkapan ini cocok untuk para petinggi?
Hingga saat ini, tak ada tanda-tanda pergerakan si pelaku. Bisa jadi merupakan pertanda baik. Pelaku telah angkat kaki dari Chaderia. Namun, terlalu beresiko untuk meyakini dugaan tersebut.
Ingin keluar untuk memastikan, tetapi bagaimana jika pelaku masih ada dan menembak orang yang keluar? Bila menetap di sini, sampai kapan?
Luna berbaring di sofa. Semalaman ia bersama Joce begadang membuat lagu. Mereka bukan musisi, sehingga agak sulit dilakukan. Palpebra Luna tertutup, hendak mengistirahatkan mata sejenak. Akan tetapi, ia masih sepenuhnya sadar dan mendengarkan pembicaraan para dewan.
“Bagaimana cara kita memberi tahu kalau kita telah menyelesaikan misinya?" Joce duduk di atas meja. Tangannya bermain dengan lembaran kertas lagu.
"Apa kita harus buat semacam pengumuman atau apalah itu?" saran Wesley.
"Alice, tolong siapkan megafon, kain putih, dan piloks."
"Baik, pak." Alice segera melaksanakan perintah Jasper.
"Kita masih punya waktu 1 jam," ucap Jasper.
Di samping itu, Austin tengah makan. Pria itu melewatkan makan siang bersama sebab ingin berjaga. Sejak semalam sampai siang ini, Austin dan Wesley berjaga. Syukurnya tidak ada yang terjadi.
Namun mereka tetap waspada. Penjagaan sekarang digantikan oleh Sam, sebentar lagi Luna menyusul.
Teng… teng… teng…
Kening para petinggi mengkerut.
“Apa yang—"
“YA TUHAN! TOLONG! SIAPAPUN, TOLONG!”
Luna langsung bangkit. Pekikan itu teramat kencang hingga para petinggi terbirit menuruni anak tangga menuju sumber suara.
Kamar Erland dan Anna.
“Ada ap—Oh, Tuhan!” Joce tercengang.
“Apa yang terjadi?” Wesley dan Sam menyusul.
Bola mata mereka membesar melihat genangan darah membanjiri kasur. Stewart terduduk di lantai, kedua tangan menumpuh dirinya agar tidak meluruh.
Tak lama, semua orang datang. Terkejut bukan main. Ruby spontan berteriak kecil, ia menyembunyikan wajahnya ke pundak Jane sebab pemandangan di depannya benar-benar mengerikan.
Seseorang menerobos kerumunan.
Prang!
Piring terbelah, sedangkan makanan jatuh berserakan. Namun bukan itu yang membuat tulang-tulang Erland seolah melunglai. Erland menghampiri tubuh sang istri yang bersimbah darah.
“Anna...? Sayang...?” Erland membawa Anna ke pangkuannya. "Sayang..., buka matamu...."
Erland menepuk pipi Anna. “Sayang...? Tidak. Kumohon, jangan….”
"Apa yang terjadi pada istriku? Siapa yang melakukan ini?" pekik Erland. Air matanya mulai mengalir.
“Sam! Apa yang kau lakukan di sana? Cepat bantu istriku!” Tangis Erland memecah. “Hey, Sam! Kau tidak tuli, bukan? Selamatkan istriku!”
Bila memiliki kehendak, Sam pasti akan membantu. Naas, apa pun cara yang Sam lakukan, manusia takkan hidup tanpa jantung. Dada kiri wanita itu berlubang, organ vital telah hilang dari sana. Seolah memang ada yang sengaja mengambilnya. Selain itu, darah terus mengucur deras dan sukar dihentikan.
“Sayang, buka matamu. Kumohon padamu….” Erland mengguncang tubuh Anna, berharap sang istri bisa sadar. “Anna…, istriku…. Aku mencintaimu. Kumohon jangan tinggalkan aku, sayang….”
“Anna…., tolonglah. Anna….”
Tak mendapat jawaban, tubuh Erland justru ikut bersimbah darah. “ANNA… AKU MENCINTAIMU, SAYANG… AKU MENCINTAIMU….”
Jeritan Erland membakar telinga semua orang. Sandra tengah menggendong Alycia, memilih segera menjauh. Dirinya tak kuasa menahan air mata. Meskipun belum mengerti, Sandra enggan peristiwa ini memberikan trauma mendalam untuk bayi mungil di pelukannya.
Jasper melangkah cepat meninggalkan tempat kejadian. Membuka pintu ruangannya, Jasper mencari secarik di antara lembaran kertas di atas meja. Sekali lagi Jasper membaca isi surat yang ia temukan di Menara jam secara seksama.
“Iramanya sulit terdengar, namun merupakan bagian utama. Apa mungkin… jantung?” Joce menyusul Jasper. Ia menapak masuk.
Ternyata, mereka salah. Isi surat mengandung makna tersirat yang tidak bisa diartikan mentah-mentah dari kata demi kata. Selain itu, mereka juga salah mengenai waktu.
Mereka pikir 24 jam dimulai sejak Jasper menerima surat, tapi ternyata sejak insiden penembakan awal terjadi.
“Bagaimana… bagaimana ini bisa terjadi?” Jasper meremas ujung kertas. “Periksa semua akses masuk rumah ini. Pintu, jendela, loteng. Pastikan semuanya terkunci.”
“Okay.” Segera, dua petinggi Chaderia tersebut bergerak.
Sementara masih dalam keadaan syok, tubuh Stewart tertarik bangun oleh Austin. Austin mencengkram kerah baju Stewart, membetot wajah anak lelaki itu ke depan wajahnya.
“Jelaskan apa yang terjadi di sini.” Suara dingin Austin menekan sampai titik dasar jantungnya.
Stewart menggeleng, badannya gemetaran. “Aku tidak tahu…. Aku tidak tahu….” Kalimat yang terus keluar dari mulut Stewart.
“Mengapa kau ada di kamar Anna?”
“T-tanganku tersayat pisau. C-cukup dalam, sehingga aku ingin menemui Sam untuk diobat. Kupikir dia di sini memeriksa Anna, t-tapi ternyata tidak. J-justru aku menemukan Anna telah dalam kondisi seperti ini. Aku berteriak dan jatuh, lalu kalian datang,” jelas Stewart terbata-bata. Keringat dingin mengucur dari dahi.
“S-sungguh. Aku berani bersumpah, aku tidak melakukan apapun.”
Austin menggeram, menghempas kasar Stewart mundur. Agaknya mustahil kan Stewart berbohong? Ia hanya anak Sembilan belas tahun, rasanya elusif bila berani merenggut nyawa seseorang. Terlebih di sekitar walikota dan para dewan.
Perlahan, Luna dan Wesley mendekati Erland. Wesley mengusap punggung Erland, mengatakan hal-hal yang mungkin dapat menenangkannya. Sayang, Erland bahkan tak sanggup mendengar apapun. Hanya tubuh bersimbah darah Anna yang bisa ia rasakan.
Semuanya memandang Erland iba. Mereka tahu sebesar apa cinta Erland kepada Anna. Wajah Erland memerah dan panas, kerongkongannya mengering. Akan tetapi tangisnya tidak mereda. Erland memeluk Anna sembari mengusap kepalanya lembut.
Akhir cinta yang sangat tragis.
...***...
18 April—Pukul 15.00
Masih dalam kondisi terguncang, Erland termenung di atas kasur. Tatapannya kosong mengarah pada jasad Anna yang terbaring di sampingnya. Wajahnya kaku sebab air mata mengering di permukaan.
Wesley dan Luna melihat Erland dari luar sebab pintu kamar tidak ditutup. Para petinggi menyarankan Erland mengubur jasad Anna di belakang rumah Jasper. Namun Erland menolak, ia bersikeras ingin bersama Anna.
Berkali-kali mereka membujuk Erland, tetapi tak berhasil membuatnya luluh. Erland belum siap melepaskan istrinya.
“Aku bawakan kau makanan, okay?” Ini ke tiga kalinya Luna menawari Erland dengan lembut.
“Istriku…,” lirih Erland.
“Aku tahu ini berat untukmu, Erland. Untuk kami semua pun begitu. Tapi kau belum makan sejak pagi. Alycia masih membutuhkanmu,” ucap Wesley.
Erland diam. Siang tadi, Erland menitipkan Alycia kepada Sandra. Setelah itu ia mengambil makanan untuk dimakan berdua dengan istrinya. Erland selalu menyukai momen di mana Anna menyuapinya. Dan mulai detik ini, momen itu takkan pernah terulang lagi.
“Lebih baik kau bawakan saja,” saran Wesley.
Luna mengangguk, kemudian mereka berpisah. Luna mengambilkan Erland makanan, sedangkan Wesley menemui para petinggi yang lain. Luna menyusul setelahnya, memang ada baiknya memberikan Erland waktu untuk menenangkan pikiran.
Di ruang kerja Jasper, mereka berkumpul. Jasper dan Joce selesai memeriksa seisi rumah. Hanya satu jendela yang diyakini Joce sebagai akses masuk si pelaku ke dalam rumah. Sebab selain itu, semuanya terkunci.
Dan kini jendela itu sudah dikunci.
“Aku tak mengerti apa maksud si pelaku. Mengapa dia membunuh Anna?” Gigi Sam gemeretak.
“Di surat itu tertulis bila kita tak menyerahkan jantung padanya, dia akan mengambil sendiri,” ucap Joce.
“Tapi kenapa harus Anna?” Sam menggeram. Orang lain takkan tahu upaya keras Sam dalam menyembuhkan Anna. Si brengsek itu, beraninya membuat usaha Sam seolah sia-sia.
“Kita kalah darinya.” Nada bicara Austin jelas terdengar tidak terima. “Kita harus bertindak. Dia benar-benar mempermainkan kita.”
"Bukan sekarang, Austin." Jasper menolak.
“Lalu, kapan?” kesal Austin. "Beraninya dia membunuh penduduk Chaderia, bahkan di saat kita ada di dekatnya."
“Gunakan pakaian anti peluru dan senjata yang dahulu Angkatan militer berikan untuk Chaderia sebagai kompensasi," imbuh Austin
"Itu semua ada di ruangan-"
Jasper menempelkan jari telunjuk ke bibirnya, membuat Luna spontan berhenti bicara.
"Kita tak akan pergi ke mana-mana," putus Jasper.
Bukan mengabaikan penduduk yang meninggal. Namun Jasper seorang walikota. Keselamatan penduduk yang tersisa adalah prioritasnya.
“Perketat penjagaan. Kita lakukan patroli dengan bagi kelompok menjadi dua orang, lindungi satu sama lain. Jangan sampai dia mendapat celah lagi.”
Austin berdecak kesal. Pada akhirnya ia hanya bisa menerima keputusan Jasper. Sebab di dalam setiap keputusan Jasper, dia pasti sudah mempertimbangkan segalanya. Dan itulah jalan terbaik.
“Aku dengan Austin.” Wesley menawarkan diri. Wesley adalah orang yang paling cocok untuk sifat pemarah seperti Austin dan mampu meredamnya.
“Aku dan Joce bisa bersama,” ucap Sam.
“Tersisa kita.” Luna melihat Jasper.
Jasper menganguk kecil. “Kurasa ada kelompok tidak terdaftar di sini.”
“Keluarlah, anak-anak. Aku tahu kalian ada di sana.”
Kening para dewan mengkerut melihat Glenn, Stewart, Jane, Ruby, dan Alice keluar dari belakang lemari. Berbeda dengan Jasper yang sudah mengetahui itu dari awal. Sebabnya tadi ia menyuruh Luna berhenti bicara.
“Kalian sedang apa?” tanya Luna. “Dan kau juga, Alice?”
Alice menunduk. “Maaf, bukan bermaksud lancang. Tapi anak-anak memaksaku menyeludupkan mereka ke sini.”
“Untuk menguping pembicaraan?” sinis Austin.
Empat remaja saling melirik satu sama lain. Glenn melangkah maju. “Benar, bukan salah Alice. Memang kami yang memaksa, karena ingin mendengar rencana para petinggi. Kami ingin membantu.”
“Membantulah dengan tidak mengganggu.”
“Mereka hanya anak remaja, jangan terlalu keras,” tegur Wesley.
“Kami empat orang, pas untuk membentuk 2 kelompok. Kami bisa membantu patroli,” ucap Stewart.
“Ide buruk. Kalian tidak boleh,” larang Jasper.
“Kami ingin membantu. Ibu, percayalah. Kami bisa melakukannya.” Ruby memohon.
“Sayang, saat ini bukan waktunya bermain. Ada hal yang jauh dari perkiraan kalian.”
“Kami tahu, bu. Maka itu kami ingin memban—”
Teng… teng… teng…
Lagi, jam Menara berbunyi. Kali ini, pertanda apa?
To be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments