18 April—Pukul 22.13
Ide bodoh mendatangkan malapetaka. Di tengah merampungkan rencana Glenn, Ruby tak sengaja menarik pelatuk senapan hingga mengejutkan semua orang. Para petinggi bergegas menghampiri, mengira si pelaku masuk ke rumah. Namun ternyata hanya empat remaja pencuri senjata.
Mereka dimarahi habis-habisan oleh Jasper, terutama Glenn. Jasper mengurung si dalang rencana di kamar sebagai hukuman. Tidak boleh keluar sampai dua hari.
Jane berdiri di depan pintu kamar Glenn. Kasihan, tetapi ini adalah resiko perbuatannya sendiri. Bukankah sebelumnya Jane sudah memperingatkan?
Jane menuju kamarnya. Di dalam sudah ada Ruby yang telungkup di atas kasur. Jelas, Ruby dimarahi dua kali. Oleh Jasper dan Luna. Namun, Ruby merasa sangat bersalah kepada Glenn. Dia penyebab rencana mereka ketahuan.
“Tak perlu dipikirkan. Aku akan bicara pada paman besok pagi.” Jane naik ke atas kasur.
“Apa Glenn marah padaku?” tanya Ruby nanar.
“Dia tidak marah.” Jane sebenarnya tidak tahu. Namun saat ini ia harus menenangkan Ruby.
Jane menyampirkan selimut menutupi dua pertiga tubuh Ruby, kemudian tubuhnya. “Sekarang, kita tidur saja, okay?”
...***...
19 April—Pukul 00.26
“Semua baik.”
“Kami pun.”
Sam menekan tombol push to talk. “Di sini pun.”
Setiap satu jam, masing-masing tim saling mengabari melalui walkie talkie. Sam menggantung walkie talkie kembali ke celananya. Cekatan, Sam menangkap snack yang dilemparkan Joce.
“Berjaga malam membuatmu kelaparan.”
Sam tersenyum, kemudian membukanya.
“Jasper, pukul berapa kau pergi ke Menara jam? Dan berapa lama waktu yang tertera pada surat?” tanya Wesley.
Joce meminta walkie talkie kepada Sam. Keduanya mendengarkan bersama.
“Sekitar pukul 3, dan di surat tertera waktu 20 jam.”
“Jadi kita memiliki waktu sampai pukul 11.30,” ucap Joce.
"Ya..., mendapat sesuatu, Alice?" tanya Jasper.
"Belum." Alice ada di ruang kerja Jasper, sibuk mencari petunjuk dari jurnal atau berkas-berkas penting Chaderia.
Percakapan selesai. Joce menggantung walkie talkie ke celana.
“Kau masih menyimpan itu?”
Sam melihat gelangnya yang ditunjuk Joce. “Hadiah terakhir darinya.”
“Kau tahu, bukan, dia sudah bahagia dengannya?”
Sam terdiam sejenak. “Denganku juga bisa.”
Joce memandang Sam. Apakah lelaki itu belum bisa melupakan masa lalu? Namun sedetik kemudian, Sam tertawa.
“Tidak, aku bercanda. Aaron Palmer jelas lebih baik dariku. Aku yakin May jauh lebih bahagia dengannya.”
Joce tersenyum. Sam tampak biasa saja, tetapi Joce bisa merasakan lelaki itu berlengah. “Kau pria baik. Aku yakin kau pasti menemukan perempuan yang luar biasa.”
“Habiskanlah, lalu istirahat. Giliranku menjaga.”
"Hey, kami menemukan sesuatu," ucap Wesley.
...***...
19 April—Pukul 08.28
Hingga saat ini, tidak ada yang terjadi. Berkumpul di meja makan, sebagian orang tengah mengisi tenaga untuk melanjukan hari-hari panjang yang entah berlangsung sampai kapan.
“Jane, bisa kau bawakan makanan untuk Glenn?”
Jane mengangguk atas permintaan Sandra. Sampai di lantai dua, lebih tepatnya di depan kamar Glenn, Jane mengetok pintu perlahan.
“Ini aku. Aku bawakan kau sarapan.”
“Taruh saja.”
Balasan Glenn singkat menoreh kebuncahan di hati Jane. Biasanya, laki-laki itu selalu bersemangat. Namun Jane sungkan mengganggu, sebabnya ia pamit pada Glenn.
“Aku turun dulu, okay? Kalau kau butuh sesuatu, panggil aku.”
Jane menghela napas karena Glenn tak membalas. Berniat turun, obsidian Jane tanpa sengaja mengarah ke kamar Jasper. Jane berpikir sejenak. Lebih baik ia bicara pada Jasper sekarang, mumpung pria itu belum turun ke bawah.
“Masuk.”
Jane melangkah masuk setelah mendapat izin. Kening Jane mengkerut ketika menangkap Jasper seakan terburu-buru membereskan sesuatu di atas mejanya.
“Ada yang perlu kubantu, paman?”
“Tidak, tidak apa-apa.” Jasper menyimpan kertas sembarangan ke dalam laci. “Kau ingin bicara soal Glenn?”
Jasper pandai menebak. Jane mengangguk. “Kurasa, bila ada yang harus dihukum, itu kami semua. Bukan hanya Glenn.”
“Tidak ada alasan paman menghukum kalian semua.”
“Kami mengikuti rencana Glenn, dan kami pun memegang senjata.”
“Kalian takkan melakukan itu jika Glenn tidak mencuri kunci dari Alice.”
“Aku tahu, paman. Tapi tetap saja, tindakan kami termasuk melanggar aturan.”
“Lalu, kau ingin paman mengurung kalian berempat?”
Jane terdiam. Jasper menghembuskan napas panjang. “Baiklah, paman kurangi hukumannya menjadi satu hari.” Jasper pasrah, paling sulit bila Jane sudah memohon seperti ini.
Jane tersenyum. Itu artinya Glenn akan dikeluarkan malam ini. Jane memeluk Jasper. “Terima kasih, paman. Aku berjanji akan lebih mengawasi Glenn agar dia tak berbuat macam-macam lagi.”
Jasper mengusap surai Jane lembut. “Kau anak baik, Jane.”
Sepuluh detik, keduanya melepas pelukan.
“Ayo makan. Sandra menyiapkan sarapan yang sungguh lezat.”
...***...
19 April—Pukul 09.11
Rancangan rakitan mesin tembak buatan Austin dan Luna tergelar di atas meja. Semalam menggunakan teropong infrared, Austin menemukan senjata yang digunakan untuk menembak Chaderia. Jentera peluru otomatis.
Austin dan Luna menjelaskan mengenai cara kerja rakitan mereka. Setidaknya Chaderia harus memiliki senjata yang setara agar bisa melawan si pelaku.
"Tak banyak peninggalan angkatan militer yang tersisa di rumahku," ucap Jasper.
"Berarti upaya satu-satunya adalah mengambil alat-alat di Ruang Bee," ucap Wesley.
"Ruang Bee cukup jauh dari sini, ini mungkin akan menjadi pekerjaan sulit," tutur Joce.
"Tidak bila kita bisa mengendap melalui jalan itu," balas Austin.
Jasper berpikir sejenak. "Luna, Sam. Kalian berdua ikut aku malam ini."
"Aku ikut."
"Tidak, Austin. Kau tetap di sini, penduduk butuh jaminan keamanan darimu," tolak Jasper.
"Seperti jaminanku melindungi Anna?"
Luna menghela napas, ia menyentuh pundak Austin. "Kepergiaan Anna adalah kesalahan kita semua."
"Malam ini kita akan mengambil alat dan bahan yang diperlukan," putus Jasper.
"Bagaimana dengan teka-teki surat yang belum terpecahkan?" tanya Joce.
"Biarkan, kita mempunyai tugas yang lebih besar," ujar Wesley. "Selama seluruh akses masuk dan keluar rumah ini ditutup, tidak ada yang bisa menyakiti penduduk kita."
Jasper setuju.
"Aku ingin istirahat sejenak. Rasanya tubuhku sangat merindukan kasur." Joce menutup mulutnya yang menguap.
"Okay, sampai waktu yang dia tentukan selesai, kita harus tetap waspada," peringat Jasper.
...***...
19 April—Pukul 10.55
Dekapan hangat membalut tubuh Alycia. Setelah seharian terpuruk akan kehilangan Anna, Erland tersadar. Ia masih memiliki Alycia, gadis kecil yang masih membutuhkan sosok ayah.
Di tengah menyusui Alycia, tanpa sadar kristal bening Erland mengalir. Manik cokelat putrinya betul-betul menurun sempurna dari sang istri. Erland cepat menghapus air mata, ia tersenyum menatap putrinya.
Dan perihal jasad Anna, Erland setuju menguburnya di belakang rumah Jasper. Namun yang masih menjadi pertanyaan, apakah si pelaku menjangkau tempat itu?
Mereka khawatir dia akan melepas tembakan bila ada yang meninggalkan rumah, meskipun itu hanya di halaman belakang.
“Cantik sekali, persis seperti ibunya.” Luna duduk di samping Erland.
Erland membalas dengan senyuman. “Aku berterima kasih padamu dan semuanya, telah menjaga Alycia selagi aku tak bisa.”
“Sandra dan Joce lebih banyak mengambil andil. Kau harus mengucapkannya langsung.”
“Aku sudah bicara pada Sandra, tapi sejak pagi aku belum bertemu Joce.”
“Dia sedang tidur setelah berjaga malam. Kau bisa menemuinya setelah ia bangun.” Luna melihat luka di leher Erland. “Waktu berjalan cepat. Luka itu sudah tujuh tahun, bukan?”
“Ya…, kecelakaan kecil saat bermain baseball.”
“Sayang sekali. Karena itu, kau tidak diterima ke dalam Angkatan militer.”
Erland tersenyum kecil. Angkatan militer merupakan impian Erland sejak dulu, tetapi harapannya pupus setelah ligamen lehernya sobek. Akan tetapi, Erland sama sekali tidak menyesal telah meninggalkan impiannya.
“Aku takkan bertemu Anna bila menjadi Angkatan militer.” Erland melihat Alycia. “Dan peri kecilku takkan pernah ada.”
Luna ikut tersenyum. “Kau memilih jalan yang ben—”
Teng… teng… teng…
Luna bangkit. Selalu, dentangan jam Menara mempercepat detak jantung.
“Kunci rapat jendela. Jaga dirimu dan Alycia, aku akan segera kembali.” Luna bergegas turun.
Di bawah, para petinggi sudah berkumpul.
“Apa ada yang mencurigakan?” tanya Luna.
“Sama sekali tidak ada. Pintu dan jendela semua terkunci, mustahil ada yang bisa masuk,” ucap Wesley.
Sam tersenyum senang. "Jadi, dia tak mendapat apa yang diinginkan?"
“Tunggu…, di mana Joce?” tanya Jasper.
“Masih tidur di kamar.”
Kening Austin mengkerut mendengar jawaban Luna. “Seharusnya dia terbangun karena suara dentangan jam.”
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Oh, tidak!
Mereka langsung berlari ke lantai dua, menuju kamar Joce dan Luna.
Luna mengetuk pintu. "Joce? Kau masih tidur?"
Beberapa kali mengetuk, jawaban tak kunjung datang. Pada akhirnya Luna langsung membuka knop pintu. Tidak dikunci.
Oh Tuhan…
Betapa terkejutnya mereka. Untuk kedua kalinya menemukan rekan, sahabat—atau apalah itu—meninggal tragis. Drei penghancur es menancap di kerongkongan Joce. Sprei kasur yang semula berwarna biru bertransformasi menjadi ungu. Cairan merah masih menetes, itu artinya kejadian baru terjadi sekitar setengah sampai satu jam lalu.
Kaki Jasper menapak mundur, kemudian ia berlari menuju kamar Glenn. Jantung Jasper berdebar tak karuan.
“Glenn, kau dengar ayah?” pekik Jasper, sembari buru-buru mencari kunci kamar Glenn di dalam saku celana. “Glenn!”
“Glenn, jawab ayah!” Pintu terbuka. Hal pertama yang Jasper lihat adalah wajah Glenn yang kebingungan. Ditambah lagi Jasper yang tiba-tiba memeluk dirinya, Glenn semakin bingung.
“Syukurlah kau baik-baik saja.”
“Aku mendengar suara dentangan jam, apa sesuatu terjadi?”
Jasper diam sejenak. “Joce…”
Mengerti maksud Jasper, Glenn lekas menuju kamar Joce. Semua orang sudah berkumpul di sana. Namun, Wesley melarang mereka mendekat agar tidak merusak TKP.
“Glenn!” Ruby spontan memeluk Glenn saat melihat kedatangan lelaki itu.
Glenn membalas pelukan untuk beberapa saat sebelum mereka kembali menyadari situasi mencekam ini.
Rasanya campur aduk. Semua orang terkejut, sedih, marah, sampai-sampai tak tahu cara mengekspresikan perasaan. Akan tetapi, ketakutan mendominasi. Joce—salah satu dewan Chaderia yang selalu waspada—berhasil dihabisi. Lalu, bagaimana nasib yang lain?
“Luna.”
Mengangguk, Luna paham tujuan Jasper memanggilnya. Luna membawa penduduk meninggalkan kamar Joce, menyisakan para petinggi selain dirinya. Kejadian ini mengguncang mental semua orang. Jasper enggan membuat mereka trauma.
“Penghancur es.” Jasper melepaskan besi yang menancap di kerongkongan Joce.
“Hanya satu orang yang memilikinya.”
Seakan satu pemikiran, petinggi lain juga menaruh kecurigaan kepadanya.
“Akan kubawa dia ke ruanganmu,” ucap Sam.
...***...
19 April—Pukul 11.21
Berkali-kali Stewart menggeleng. Ia terus meyakinkan petinggi bahwa drei penghancur es itu bukan miliknya. Stewart tak tahu soal ini dan menjelaskan ia mustahil membunuh Joce.
“Tolong percayalah padaku….”
“Kau satu-satunya penjual es krim di Chaderia. Dan kau pun terlibat dalam kasus pertama, kau yang pertama kali menemukan Anna. Bukan kah itu mencurigakan?” Austin menatap Stewart tajam.
Stewart menggeleng. “Aku hanya kebetulan saat menemukan Anna. Selain itu, aku memang satu-satunya penjual es krim, tetapi bukan satu-satunya pemilik drei.”
Benar. Meskipun begitu, aneh saja. Ujung drei benar-benar runcing, seolah memang sengaja dipoles. Warga biasa jarang melakukan itu sebab tak setiap hari mengonsumsi es. Tidak seperti penjual es krim yang setiap hari memproduksi es.
Stewart mendekati Wesley dan Sam. “Aku datang ke sini bersama kalian. Kita lari bersama dari rumah Joce, kan? Apa kalian lihat aku membawa drei?”
Wesley dan Sam membisu. Lantas, Stewart mendekati Luna.
“Kau yang melindungiku di balik perisai. Kedua tanganku kosong, benar, kan? Jadi, tak mungkin drei itu milikku.”
Sama, Luna diam.
Napas Stewart berat. Mengapa tak seorang pun membelanya? Padahal, ia mengatakan sesuatu yang terbukti jelas. Terakhir, Stewart mendekati Jasper.
“Pak, aku bersumpah. Drei itu bukan milikku. Kumohon, kau tahu aku tak mungkin melakukan hal keji.” Dada Stewart naik turun, nyaris menangis karena takut. Ia tampak bersungguh-sungguh.
Jasper menghembuskan napas pelan. “Keluar dan istirahatlah.”
“Jasper,” bariton Austin.
“Pergi,” suruh Jasper kepada Stewart.
“Kenapa kau menyuruhnya keluar?” protes Austin setelah Stewart keluar.
“Bukan dia.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku mengenalnya sejak kecil.”
Austin terkekeh sinis. “Apa menjamin kau memahami semua tentang dirinya?”
“Austin,” tegur Wesley.
“Awalnya, aku memang mencurigai dia. Tapi setelah kulihat, aku tahu, bukan dia,” ucap Jasper. “Sekarang aku mengerti cara bermainnya.”
“Cara bermain?” tanya Luna.
“Ternyata, teka-teki di dalam surat adalah perintah tersirat untuk kita saling membunuh satu sama lain," terang Jasper.
“Namun, situasi ini membuatku menimbang satu hal. Apakah ini ulah pelaku, atau salah satu dari kita yang mengerti maksud teka-teki.”
Suasana hening. Para dewan berusaha mencerna penalaran Jasper.
“Maksudmu, kemungkinan ada penghianat di antara kita?” simpul Sam.
“Ya, sebab penjagaan kita sangat ketat. Kecil kemungkinan si pelaku dapat menginjakkan kaki masuk,” balas Jasper. “Kita harus mulai saling mengawasi, termasuk penduduk yang tersisa.”
...***...
19 April—Pukul 12.30
Jasper pergi ketika jam Menara kembali berbunyi. Batangan emas—sesuai isi surat—benar-benar diberikan. Siapa peduli? Nyawa mereka terancam lantaran batas waktu berikutnya mulai menghintung mundur.
Aku menyukai bunga mawar, tetapi yang kudapatkan adalah bunga melati. Bagaimana cara agar aku bisa mengubah bunga melati menjadi bunga mawar? Pikirkan dalam 16 jam. Aku akan senang bila kau tahu jawabannya.
Keputusan kali ini, isi surat bersifat rahasia dari penduduk.
To be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments