20 April—Pukul 04.30
Teng… teng… teng…
Entah pertanda buruk atau baik karena telah menyelesaikan perintah. Jasper dan Sam menunggu di rooftop. Austin dan Luna mengawasi pintu halaman belakang. Di ruang tamu, Sandra terbangun. Ia langsung mendekati suaminya.
“Di mana Alycia?”
“Tadi dia menangis. Jadi Erland mengajaknya jalan-jalan, mungkin sekalian menyusuinya.”
“Kenapa?” tanya Wesley ketika istrinya diam saja.
“Setiap melihat Alycia, aku teringat padanya. Aku sungguh merindukannya.”
Wesley menyentuh pundak Sandra. Diusapnya lembut pipi sang istri. “Kau seorang ibu, tentu kau selalu mengingat putra-putramu.”
“Jika dia masih hidup, apakah dia akan seperti Aaron dan Ben? Pergi ke kota dan menikah, sesekali pulang dan ternyata sudah membawa bayi kecil.” Sandra tersenyum. Baginya, itu adalah mimpi terindah yang takkan pernah terwujud.
Wesley menggeleng. “Aku tau, sulit sekali menerima kenyataan pahit ini sampai kapan pun. Tapi ingatlah, sayang. Jangan pernah terikat dengan apa pun. Kita bisa memiliki, tapi kita juga bisa kehilangan. Jangan jadikan itu sebagai penghalangmu, fokuslah pada kehidupan kita saat ini.”
Sementara di ruangan belakang.
“Kantung matamu sangat besar.”
“Lihatlah dirimu sendiri,” balas Austin.
Luna terkekeh. Keadaannya sudah membaik setelah kehilangan mendadak kemarin.
“Kau tau? Dulu suamiku pernah bercerita tentang koleganya yang tidak tidur selama tiga hari. Setelah selesai tugas, dia tertidur pulas selama hampir dua hari. Tak ada yang bisa membangunkannya, bahkan suamiku.”
“Sebut saja namaku, itu akan lebih mudah.”
Lagi, Luna tersenyum. “Kau adalah kolega terbaik suamiku.”
“Suamimu juga." Nada bicara Austin datar. “Maaf aku tak bisa melindungi suamimu saat peristiwa itu terjadi.”
“Bukan salahmu, Austin. Lagipula kau cedera parah saat itu.” Faktur tungkai kaki parah, sampai-sampai Austin terpaksa keluar dari Angkatan Militer.
“Keadaan baik-baik saja?” Jasper memastikan.
“Aman,” balas Wesley.
Luna menekan tombol push to talk. “Aman.”
“Segera kabari bila ada masalah.”
“Okay.” Luna menyimpan walkie talkie ke saku celana. “Hmm…, sejak tadi aku mendengar tangis Alycia. Apa tak ada yang menemaninya?”
“Aku akan mengeceknya, kau tunggu saja di sini,” ucap Austin.
Menuju ke sumber tangisan, kening Austin mengkerut. Diputarnya tubuh Stewart 90 derajat ke arah kiri.
“Apa yang kau lakukan?” Sepasang tangan Stewart dipenuhi cairan merah pekat. Austin lekas merebut Alycia dari anak lelaki itu.
“Di mana Erland?”
“Aku tak tahu…. Aku juga baru saja tiba," ucap Stewart.
Austin menggerang, ia meletakkan pelan Alycia ke sofa.
“Jangan berbohong! Di mana Erland?” Austin mencengkram kerah baju Stewart.
Pekikan Austin terdengar jelas sampai ke tempat Luna. Buru-buru, Luna menghampiri Austin.
“Hentikan!” Luna menenangkan Austin. “Apa yang terjadi?”
“Astaga. Tanganmu….”
“Tidak, tidak. Bukan seperti yang kalian pikirkan. Ini adalah cat air.”
“Kau bermain cat air saat dini hari?” Luna agak curiga. Namun ia lebih mementingkan Alycia yang menangis kencang. Luna menimang-nimangnya.
“Sayang, anak manis. Kau lapar, hm?”
“Di mana Erland?” tanya Luna.
Austin dan Stewart sama-sama terdiam.
“Coba tanyakan pada Jasper dan Wesley,” saran Austin.
Bergerak cepat, Luna berkomunikasi melalui walkie talkie.
“Dia tidak ada di sekitar sini,” ucap Jasper.
“Terakhir dia sedang jalan-jalan dengan Alycia,” ucap Wesley.
“Ya, tapi sekarang Alycia sendirian.”
“Cari dia sekarang,” titah Jasper.
Austin menyeret Stewart mengikutinya.
Mereka mencari di satu persatu ruangan. Sebelum akhirnya kalimat Wesley membuat mereka menuju ke suatu tempat.
“Kamar Anna.”
...***...
20 April—Pukul 04.40
Tubuh Erland ditemukan di samping jasad Anna. Bersimbah darah segar. Leher dan nadi tangannya terdapat luka sayat. Sam menggeleng, menandakan bahwa laki-laki itu telah tiada. Luna menatap Alycia nanar, bayi mungil yang resmi menjadi yatim piatu. Lantas, membawanya menjauh.
Bunuh diri kah? Erland memang amat depresi sejak kelergian Anna, tetapi rasanya mustahil Erland memilih meninggalkan putri kesayangannya.
Wesley menapak ke sisi ranjang. Membungkuk, ia meraih sesuatu dari bawah ranjang. Semua terkejut. Bunga poppi merah lain.
“Darah,” simpul Sam setelah menghirup aroma bunga.
Bugh!
Tendangan kuat mendarat ke nakas. Austin menggeram. “Kita melakukan hal sia-sia.”
“Sebaiknya kalian tanyakan hal ini lebih lanjut padanya.” Austin mengerling Stewart tajam. Sebelum kemudian dia melenggang keluar dari ruangan.
...***...
20 April—Pukul 05.30
Menyembunyikan fakta nyatanya merupakan langkah terburuk. Kali ini, petinggi Chaderia memutuskan memberi tahu setiap rincian masalah kepada warga yang tersisa, bahkan mengenai kecurigaan akan adanya pengkhianat di antara mereka.
Kaget? Jelas. Terutama setelah mendengar bahwa salah satu dari mereka telah menjadi korban baru.
“Selalu waspada kepada siapa saja. Jika kalian merasa ada sesuatu yang janggal atau mencurigakan, segera laporkan pada kami,” pesan Jasper.
Kini, mereka mendapat surat baru.
*Sayang sekali. Ada bunga yang terlebih dahulu mekar. Namun, kuhargai kerja keras kalian.
Pandangan setiap individu pada dunia pasti berbeda-beda. Oleh karena itu, aku ingin mencoba satu pandangan lain. Kurasa 10 jam akan cukup. Hematlah waktu dan terima penghargaan dariku*.
Bunga lain yang terlebih dahulu mekar. Kali ini tidak akan terjadi lagi.
Berhadapan langsung dengan Stewart, Jasper memilih bicara empat mata dengannya di ruangannya. Anak lelaki itu tampak ketakutan. Tanpa nada tinggi, Jasper bicara pelan pada Stewart.
“Bisa kau jelaskan apa yang terjadi?”
Stewart menggeleng. “Aku tak tahu apa-apa, pak. Sumpah. Aku sedang mewarnai sesuatu dengan cat air merah, tetapi tangis Alycia membuyarkanku. Jadi, aku menghampirinya. Sudah tak ada Erland di sana.”
“Di mana kau mewarnai?”
“Kamar Glenn.”
“Kau keluar dari ruang tamu tanpa sepengetahuan Wesley?”
“Maaf, pak. Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang berguna.” Stewart menyesal.
“Apa sesuatu berguna itu?” tanya Jasper.
Stewart terdiam.
“Kau bukan lagi anak kecil yang senang mewarnai. Apa yang kau warnai, Stewart?”
Stewart sekadar menunduk. Jari jemarinya tak bisa diam di atas pangkuan.
“Tatap mataku, nak.” Jasper menyentuh pundak Stewart. “Hey, tatap mataku.”
Perlahan, wajah Stewart menegadah. Seketika itu juga, air mata menggenang di pelupuk matanya. “Aku menyelinap ke ruanganmu untuk melihat isi surat. Bunga merah, aku pikir aku bisa mengelabuhi si pelaku dengan mewaranainya dengan cat air. Jadi aku mencuri beberapa tangkai bunga poppy dari tas Wesley, lalu menyelinap keluar untuk mewarnai.”
“Kenapa kau lakukan semua itu?”
Tak terbendung, air mata Stewart mengalir. “Aku sangat takut ketika kalian mencurigaiku sebagai pelaku. Aku ingin membuktikan pada kalian kalau aku tidak bersalah. Tapi ternyata perbuatanku justru semakin membuatku dicurigai. Tolong percayalah, pak, aku tak punya niat buruk. Aku hanya ingin membantu.”
Jasper terdiam untuk beberapa saat. Tangannya terlepas dari pundak Stewart. Tatapan Stewart membuat dirinya tidak tega. Namun, posisi Jasper di sini sebagai seorang walikota. Segala pengambilan keputusan harus objektif dan terbaik untuk seluruh penduduj.
Dan lagi, siapa yang bisa menjamin pengakuan Stewart bukan sebuah kebohongan?
“Kau tahu, kan? Setiap kesalahan pasti ada hukuman?”
Stewart mengangguk paham.
...***...
20 April—Pukul 07.02
“Stewart dikurung sendiri di kamar?”
“Dia melakukan kesalahan yang cukup fatal, Jane. Kurasa dia pantas dihukum.” Ruby dan Jane ada di dapur. Tadinya Maddy ada di sini, tetapi dia pergi untuk membantu Sandra mengurus Alycia.
“Aku ingin bertemu Stewart sebentar.”
“Aku pun, tapi ibuku melarang. Lagipula walikota menyuruh kita tetap ada di lantai satu.”
“Apa mereka benar-benar menganggap Stewart adalah pelaku? Aneh sekali.”
“Memang sulit dipercaya, tapi semua bukti selalu mengarah pada Stewart.” Ruby membalik telur ceplok. “Dan aku sangat kasihan pada Alycia. Saat pertama kali mendengar kabar ayahku meninggal, rasanya hidupku hilang sebagian. Bagaimana dengan dirinya yang kehilangan kedua orang tua?”
“Dia pasti kesulitan menjalani hidup.” Biar bagaimana, Jane ada di posisi yang sama. Mungkin sekarang Alycia belum mengerti, tetapi ke depannya gadis malang itu pasti terluka sekali.
“Aku yakin dia akan sekuat kau. Kita harus menopangnya,” ucap Ruby.
Jane mengangguk mantap. Jelas, pasti akan ia lakukan. Sebab dirinya sendiri pun memiliki sandaran—Jasper, Glenn, Ruby, dan penduduk Chaderia yang lain.
“Jane, aku sudah menggoreng telur sesuai jumlah. Bisakah kau meneruskan sisanya? Perutku sakit sekali sejak semalam.”
Jane yang hampir selesai menumbuk kentang rebus, menjawab, “Kau ingin buang air?"
“Tidak. Kurasa tamuku sebentar lagi berkunjung.”
“Okay, tidak apa-apa,” balas Jane.
“Kau yakin? Bagaimana jika aku meminta Alice membantumu?”
“Alice sedang sibuk dengan pekerjaannya. Lagipun sebentar lagi juga selesai, kau istirahat saja.”
“Baiklah. Terima kasih, temanku.” Ruby pergi.
Jane lanjut menumbuk kentang sembari bersenandung kecil. Selesai, Jane menghangatkan susu di dalam panci, kemudian memasukkan tumbukan kentang halus. Jane menaburkan garam dan merica.
“Harum sekali.” Sam datang. “Ada sesuatu yang perlu dicicipi?”
“Ada, tapi tunggu sebentar.” Jane masih mengaduk mashed potato hingga tekstur berubah lembuh dan creamy.
Sam berjalan ke belakang Jane, lebih tepatnya ke depan rak talenan. Sam meraih pisau kecil. Ia memperhatikan pisau sekilas sebelum Jane bertanya, “untuk apa pisau itu?”
“Ah, iya! Aku ingin memotong buah apel. Tapi yang lebih penting, apa ada apel? Entah mengapa aku ingin memakannya.” Sam meletakkan pisau di atas buffet.
“Ada. Akan kupotongkan untukmu.”
“Terima kasih, nak,” balas Sam. “Masakanmu sudah siap?”
“Sudah.” Jane meyendok masakannya, kemudian diberikan kepada Sam. “Bagaimana menurutmu?”
“Masakan ini mengingatkanku pada ibumu. Rasanya hampir persis.”
“Mungkin karena ibuku dan Luna berteman baik, dan Luna yang mengajariku memasak.”
“Mungkin.” Sam setuju. “Rasanya lezat. Mari kubantu tuangkan ke dalam piring.”
Jane mengangguk, membiarkan Sam meringankan sedikit pekerjaannya.
...***...
20 April—Pukul 09.23
“Astaga…, tidak lagi, Glenn. Kau tidak kapok dengan ide gilamu yang terakhir?”
Di ruang tengah, Jane, Glenn, dan Ruby membentuk lingkaran kecil.
“Ini bukan ide gila. Ini kreativitas. Kita buat orang-orang dewasa takjub pada kita.”
Jane mendesah malas. “Sungguh, Glenn. Aku tak paham jalan pikiranmu. Bagaimana jika perbuatan kita kali ini justru semakin memperburuk keadaan?”
“Tidak akan karena kita punya Ruby.” Glenn melihat ke arah Ruby sembari tersenyum.
“Hey, kenapa jadi aku?” Kening Ruby mengernyit.
“Ayahmu adalah mantan Angkatan militer.”
“Lalu?"
Glenn tidak menjawab, sekadar tersenyum pada Ruby.
"Jangan bercanda, Glenn. Ayahku meninggal saat aku berusia dua bulan. Mana mungkin aku tahu persoalan tentangnya.”
“Ayolah, Ruby. Kau pasti pernah membaca berkas-berkas ayahmu, bukan?”
Ruby menggaruk tengkuknya. “Aku tak bisa Glenn.”
“Sudah, lupakan ide burukmu. Kita hanya perlu diam dan menunggu instruksi paman selanjutnya,” ucap Jane.
“Sampai kapan? Sampai semua dari kita mati di tangan si pelaku?” satiris Glenn. “Kita bukan anak kecil lagi. Apa kalian tidak berniat membantu sama sekali?”
“Kalian pasti peduli pada Stewart, kan? Dengan cara ini, kita bisa membuktikan kalau Stewart tidak bersalah.”
Jane dan Ruby menghembuskan napas. Keadaan bagai memakan buah simalakama. Bergerak takut salah langkah, diam pun tak bisa menolong.
“Kita bisa ajak seseorang,” saran Glenn.
To be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments