18 April—Pukul 15.52
Sesuai yang tertera di surat pertama. Setiap jam menara berbunyi, Jasper harus pergi ke sana.
Persis seperti sebelumnya, tak ada orang di Menara jam. Namun kali ini bukan secarik kertas, Jasper kembali dengan sebuah koper hitam. Sebenarnya, Jasper agak ragu membawa koper ini pulang. Hendak dibuka di Menara jam, tetapi koper dikunci dan Jasper tak bisa membukanya tanpa alat bantu.
Dua puluh menit berdiskusi, akhirnya para petinggi memutuskan membuka koper di ruang tamu.
Selain Austin, Jasper menyuruh semua orang menjauh. Takut-takut bila ini adalah jebakan.
“Kau siap?” Jasper dan Austin berjongkok di depan koper.
Austin mengangguk. Gembok telah hancur dicongkel Jasper. Tangan Austin bergerak ke penutup koper. Perlahan, ia mulai mengangkat satu sisi koper.
Semua orang was-was. Jantung mereka berdegup kencang. Bagaimana jika ternyata isinya rakitan pistol yang akan menembak bila koper terbuka? Atau kemungkinan terburuk ialah bom yang menghancurkan seisi rumah? Atau bahkan menghancurkan Chaderia.
Ruby menutup mata dengan telapak tangan. Ia takut, menyembunyikan dirinya di belakang Glenn.
“Jangan khawatir, aku ada denganmu.”
Jane melirik Glenn sekilas. Lalu segera mengalihkan perhatian ketika Glenn membalas tatapannya. Glenn menyentuh pundak Jane.
“Kau pun,” ucapnya.
Jane menghiraukan. Atensinya kembali tertuju pada koper.
Satu. Dua. Tiga. Koper terbuka dan…
“Apa?”
Hal yang tak pernah disangka. Tumpukan uang seratus dollar tersimpan rapi di dalam koper.
“Austin, hitung apakah jumlah uang tersebut adalah seratus ribu dollar?” tanya Luna.
“Untuk apa?”
"Hitung saja.”
Baris demi baris uang dikeluarkan. Luna turut menghitung dalam hati. Dan ternyata, tebakan Luna benar.
"Bumi berbentuk oval, sama dengan bentuk angka 0. Ungkapan lima bumi berarti lima angka 0, sehingga membentuk angka 100.000," jelas Luna.
Kening Joce menukik. "Dia mengganti nyawa seseorang dengan uang?"
"Jangan beri tahu ini pada Erland," ucap Jasper. Segala sesuatu bisa dilakukan berlandaskan emosi. Tindakan tidak rasional sekalipun.
"Tunggu, ada sesuatu." Di sela koper, Austin mengambil secarik surat.
Pertujukan besi memasuki sebuah lorong rasanya menyenangkan. Aku ingin segera melihatnya dalam waktu 20 jam. Hibur aku dan kau layak mendapat batang emas.
Austin meremas kertas. Impuls Austin merengut senapannya di atas meja. Isting buasnya mengambil alih. Tak sempat dicegah, tidak dapat dicegah pula, Austin melangkah cepat ke depan pintu rumah.
"Sudah kukatakan. Kita tidak akan ke mana-mana," halang Jasper.
“Tidak ada yang pergi ke mana-mana." Austin membuka pintu rumah.
DOR! DOR! DOR!
Warga sipil spontan menutup kedua telinga. Berteriak ketakutan sebab Austin menembakkan peluru beruntun ke arah menara jam.
"Austin, stop!" perintah Jasper.
"Layangkan tembakan, pancing dia keluar. Begitulah cara kita mengetahui identitasnya tanpa harus keluar dari rumah," ucap Austin.
"Tidak, bukan seperti ini, Austin." Mungkin sebagian orang menganggap Jasper merupakan walikota yang lemah, tak memberi perlawanan meski diserang berkali-kali. Namun sejatinya kejadian ini menoreh trauma cukup dalam bagi Jasper.
Sesungguhnya, Jasper hanya tak ingin kehilangan sisa penduduknya lagi.
"Dia ingin membunuh salah satu dari kita lagi!"
"Ada orang-orang yang menyukai kekerasan. Tapi membalas dengan kekerasan akan melahirkan lebih banyak kekerasan," ucap Jasper.
“Dan aku akan melenyapkan si penyebab kekerasan.”
Nihil. Memang tekad Austin sulit diubah. Terpaksa, Jasper mencekik leher Austin dari belakang dan menyeretnya masuk. Kedua tangannya dikunci ke belakang tubuh.
"Luna, tutup pintu," perintah Jasper.
Sayang, melumpuhkan pergerakkan Austin tak semudah itu. Austin membuang senapan. Lalu memutar lengan Jasper yang mencekiknya, menyikut perut Jasper hingga sang walikota melepas Austin.
Pada akhirnya peraduan fisik terjadi. Austin terus menyerang Jasper, sementara Jasper hanya menghindar tanpa membalas serangan. Semua orang panik. Teriakan Luna dan Joce tidak membuat mereka berhenti.
Terpaksa, Wesley dan Sam turun tangan. Wesley menyuruh Sam menarik Jasper mundur, sedangkan dirinya mengurus Austin.
“Jangan sentuh aku, pak tua!” sergah Austin, berkali-kali menepis kasar Wesley yang hendak menjauhkannya dari Jasper.
“Berhenti, Austin! Sudah cukup!” Pergerakan Austin tersendat. Entahlah, padahal tidak ada yang menguncinya. Hanya saja, Wesley jarang menaikan nada bicara.
“Apa yang kalian berdua lakukan?” Wesley berdiri di antara Jasper dan Austin. “Austin, kau ingin melindungi penduduk? Maka lihatlah! Kau justru membuat mereka ketakutan dengan sikapmu."
Austin menyapu pandangan ke warga sipil. Benar, wajah mereka semua ketakutan.
"Dan kau, Jasper. Pertengkaran bukan solusi."
Wesley berjalan ke arah jendela, menyesar tirai jendela. “Kalian semua, lihatlah! Musuh kita adalah orang jahat yang ada di luar, bukan di dalam rumah ini. Jadi berhentilah saling menyakiti dan pikirkan solusi terbaik bersama.” Wesley pergi.
Semua orang memandang kepergian Wesley. Sangat jarang pria paruh baya tersebut emosi. Namun sepertinya kali ini ia benar-benar marah.
Austin menggeram. Bugh! Koper menjadi sasaran kemarahan Austin, lalu menjauhi kerumunan.
Jasper menarik napas panjang. “Tolong bereskan kekacauan ini.”
Alice mengangguk. “Baik, pak.”
"Kembali ke kamar masing-masing, sekarang!" ujar Luna kepada warga sipil.
...***...
18 April—Pukul 17.11
Jane, Ruby, dan Stewart sangat tercengang melihat benda-benda yang dikeluarkan Glenn dari sebuah peti besar. Senapan M4A1, MK46, tiga bilah pisau, dan lima rompi anti peluru. Glenn menjejerkan semua di atas meja.
“Dari mana kau dapatkan ini?”
Tanpa bicara, Glenn mengangkat tangannya yang memegang sebuah kunci.
“Astaga! Kau mencuri?” teriak Ruby.
“Stt….” Glenn menempelkan jari telunjuk ke bibir Ruby. “Jangan kencang-kencang.”
Stewart melangkah mendekati meja. Takjub. Ini pertama kalinya ia melihat dengan mata kepala sendiri, senjata yang biasa digunakan tentara.
“Boleh kusentuh, bung?”
"Tentu saja, bung.”
Stewart meraih senapan MK46. Memegang dengan kedua tangan, lalu, 'bum'. Stewart berlakon menembak Ruby.
Ruby tertawa. “Apa kau bisa menembak orang jahat?”
“Jangan ragukan aku. Akan kutembak dia. ‘bum’.”
“Hati-hati, ada peluru di dalam.”
Peringatan Glenn membuat Stewart panik. Buru-buru ia meletakkan kembali senapan.
Glenn tertawa akan reaksi Stewart. “Tidak, tidak. Aku bercanda. Peluru belum dimasukkan.” Stewart mendengus.
“Glenn,” panggil Jane. Glenn menoleh.
Jane menyeret lelaki itu sedikit menjauh.
“Kau mencuri dari Alice?”
“Ya, saat kekacauan tadi,” balas Glenn. “Ada apa?”
“Oh Tuhan…. Kau akan mendapatkan masalah.”
“Tidak selama tidak ketahuan.”
“Alice pasti segera sadar kuncinya hilang, dan dia akan memberi tahu paman. Jika itu semua terjadi, habislah kita.”
“Maka itu kita harus tunjukan pada ayah dan yang lain, bahwa kita bisa membantu. Dengan demikian, mereka takkan marah bila melihat kita memegang senjata.”
“Glenn…. Astaga….” Terus terang, Jane mulai frustasi. “Kau tidak mengerti apa yang kau lakukan saat ini. Resikonya terlalu besar.”
“Lalu, kau lebih senang kita diam tanpa membantu?”
Kalimat Glenn berhasil membungkam Jane. Bukan tak ingin membantu, tetapi Jane merasa ini bukan cara terbaik.
“Aku tahu kau takkan setuju denganku. Tapi kumohon, untuk kali ini saja.” Glenn menggenggam pergelangan tangan Jane dan berjalan kembali ke Stewart dan Ruby.
“Kita bagi dua kelompok dan gunakan alat-alat ini untuk ikut berjaga malam. Peraturannya, tidak boleh ada orang dewasa yang tahu, setuju?”
“SIAPAPUN KAU YANG DI SANA. APA KAU MENDENGARKU?”
Suara Jasper terdengar melalui megaphone.
“TEMBAKAN SATU PELURU KE LANGIT JIKA KAU MENDENGARKU.”
Seusai diskusi dan perdebatan panjang, akhirnya para petinggi memutuskan untuk mengajak si pelaku berbicara. Akan tetapi enggan mengambil resiko bertemu secara langsung. Sebabnya Jasper menggunakan megaphone sebagai alat komunikasi jarak jauh dari atas rooftop.
“SIAPAPUN KAU, TOLONG JAWAB AKU.”
“AKU TAK TAHU APA MOTIFMU, TAPI KITA BISA SELESAIKAN BAIK-BAIK.”
“MARI BICARA.”
“TOLONG JAWAB AKU. MARI SELESAIKAN KESALAHPAHAMAN YANG TERJADI.”
Nihil balasan. Memang sejak awal si pelaku tak pernah menjawab pertanyaan dan pernyataan dari Jasper dan para dewan.
Jasper menghela napas. Ia menurunkan megaphone.
“Sudah kuduga dia tak mau bicara,” cerca Austin. “Sebaiknya pastikan semua pintu dan jendela terkunci. Persetan dengan surat yang si brengsek itu berikan. Dia tidak akan bisa masuk dan menyentuh salah satu dari kita.”
...***...
18 April—Pukul 20.09
Kebiasaan buruk terkadang secara tidak sadar bisa menguntungkan di kala situasi tertentu. Contohnya kebiasaan Glenn—remaja Sembilan belas tahun—yang suka mencemili susu bubuk bayi.
Entah apa yang akan diberikan kepada Alycia kalau saja Glenn tidak memiliki kebiasaan itu. Sebab mustahil ada susu bayi di rumah yang berisi dua remaja dan satu orang dewasa.
Sandra menyusui Alycia sembari bernyanyi kecil. Tatapan Sandra safi bagai seorang ibu. Diusapnya lembut kepala Alycia, lalu tersenyum.
Di dekatnya, Maddy tengah menyiapkan makan malam untuk Erland. Pria itu tak mau ikut makan malam, masih bersikeras menemani jasad sang istri di kamar. Erland pun menolak melihat dan berbicara dengan siapapun, termasuk putrinya.
Para petinggi berjaga malam, membagi area rumah menjadi tiga teritori. Lantai satu bagian depan, milik Wesley dan Austin. Lantai satu bagian belakang, milik Joce dan Sam. Lantai dua, milik Jasper dan Luna. Masing-masing memegang walkie talkie sebagai alat komunikasi.
Alycia selesai makan. Tak butuh waktu lama ia tetidur pulas. Sandra memindahkan Alycia perlahan ke Maddy, mengamanatkan Maddy menjaga Alycia selagi ia menemui Erland.
Mengetuk pintu, Sandra tak kunjung mendapat jawaban.
“Ini Sandra. Aku masuk, okay?” Perlahan Sandra membuka pintu kamar.
Ia mendapati Erland masih dalam posisi yang sama dengan beberapa jam sebelumnya. Masih juga dengan pandangan kosong. Di nakas, makan siang yang dibawakan Luna tak disentuh. Sandra menggantinya dengan makanan yang baru ia bawa.
“Makanlah. Kudengar kau belum makan sejak pagi.”
“Alycia makan sangat lahap. Jangan kalah dengan putrimu.” Sandra sengaja memancing Erland. “Walaupun beberapa kali menangis, tapi Alycia adalah gadis baik dan mudah diatur. Dia baru saja tidur.”
Erland tak merespon.
Sandra melangkah mendekat. “Apa kau ingin menemu—”
DOR!
Tidak! Erland segera berlari keluar. Tuhan, tolonglah, jangan Alycia.
To be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments