PART 14

21 April—Pukul 04.00

Teng… teng… teng…

Waktu habis dan sangking ripuhnya, mereka sama sekali belum memecahkan teka-teki. Jasper mengecek satu persatu kondisi penduduk yang tersisa. Tidak ada yang kurang atau terluka. Sam pun baru selesai mengoperasi Wesley sepuluh menit lalu.

“Ayah, ayah berjanji membebaskan Stewart hari ini.” Glenn menghampiri Jasper.

“Ya, asal kalian berjanji tidak akan melakukan hal yang hanya akan memperburuk keadaan.”

“Ya... ya… ya, terserah.”

“Glenn,” tegur Jasper.

Glenn mendengus pelan. “Baiklah, ayah.”

“Aku akan mengajak Jane,” ucap Glenn.

“Tidak, biarkan Jane menemani Ruby.”

Lantas, Jasper dan Glenn naik ke lantai dua menuju kamar Glenn—tempat Stewart dikurung. Glenn mengetuk pintu.

“Hey, bung?”

Sapaan Glenn tidak dibalas. Glenn mengetuk pintu sekali lagi. “Bung, apa kau tidur?”

Masih tidak ada jawaban.

“Mungkin dia benar tertidur.” Jasper mencolok kunci pintu. “Jangan bangunkan dia bila sedang tidur, Glenn.”

“Okay, aku hanya ingin memastikan keadaan Stewart.”

Begitu pintu terbuka, jantung Glenn bagai dihantam palu. Dirinya nyaris terjatuh. Sahabat baiknya terkapar tak bernyawa di atas kasur. Bagian perutnya tersayat hingga usus dan organ tubuhnya keluar. Jasper mencegah Glenn agar tidak mendekat.

“A-ayah, apa yang—Huek!” Glenn merasa mual.

“Glenn, kau kembali ke bawah,” perintah Jasper.

“Tap—”

“Jangan bantah ayah!” tegas Jasper. Pemandangan ini terlalu sadis untuk putranya.

Glenn yang sebenarnya tidak kuat dengan ini, segara keluar ruangan. Berpapasan dengan Austin yang masuk ke dalam.

“Jasper.” Austin menyerahkan sehelai kain putih.

Kau bilang bisa mendapat sesuatu yang kumau, kan?

“Dari mana kau dapat ini?”

“Rooftop,” balas Austin. “Dan di sana ada usus manusia. Kurasa, itu miliknya.” Austin melihat mayat Stewart.

Jasper meremas kain kuat. “Kumpulkan semua orang di ruang tamu. Sekarang!” Jasper keluar.

...***...

21 April—Pukul 04.10

“Kita kehilangan Stewart.”

Pernyataan Jasper sontak membuat penduduk terkejut. Terutama Jane dan Ruby. Sementara Glenn yang sudah mengetahui terlebih dahulu, duduk di pojokan. Napasnya terperangah, tidak sangka menjadi orang pertama yang menemukan mayat sahabatnya.

“Austin menemukan ini di rooftop.” Jasper mengangkat kain putih, menunjukkan kalimat yang tertera. “Siapa pun yang menulis ini, mengakulah.”

Semuanya saling pandang. Tidak ada yang mengaku

Luna memegang kain tersebut. Keningnya mengkerut. Kain wool… Luna tahu siapa yang memiliki kain berbahan itu. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan orang itu adalah pelakunya.

Jane dan Ruby tak sanggup berdiri. Air mata menggenang di pelupuk mata. Jane merosot ke bawah, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menyembunyikan tangisan di balik tangan kecilnya.

"Kami ingin menemui Stewart," pinta Ruby.

"Tidak bisa, anak-anak. Sam sedang membereskan mayatnya," ujar Jasper.

“Aku tau ini terdengar tidak masuk akal, tapi salah satu dari kita adalah pelakunya.”

Kini, terisisa Jane, Glenn, Ruby, Sandra, Alice, Hugo, serta 4 petinggi: Jasper, Austin, Sam, dan Luna. Wesley dan Hank masih belum stabil.

“Aku tidak ingin mencurigai kalian, sungguh. Aku mengenal kalian semua dengan baik. Tapi nyatanya memang begitu," ucap Jasper.

"Untuk kau yang merupakan pelaku, tolong berhenti. Kita bisa cari cara bersama untuk mengalahkan pelaku yang sebenarnya." Jasper mengedarkan pandangan ke penduduk. “Jika kau jujur, aku tidak akan marah. Aku berjanji. Aku menunggumu di ruanganku.” Jasper berbalik badan, hendak kembali ke ruangannya. Kepalanya dilanda pening atas kejadian-kejadian ini.

Glenn menggigit bibir bawahnya. Emosi di dalam hatinya tidak stabil. Kedua tangannya mengepal kuat.

"Ini semua karena kalian!" Glenn bangkit. Langkah Jasper terhenti. "Aku sudah bilang Stewart tidak bersalah, tapi kalian masih tetap mengurungnya di kamar!"

Glenn menatap punggung Jasper berang. "Aku memintamu membebaskan Stewart. Dan kau tidak pernah mendengarkan aku atau teman-temanku. Kau menganggap kami sekadar anak kecil. Lihatlah sekarang, kau membunuh satu anak kecil!"

"KAU PEMBUNUH!"

"KALIAN PEMBUNUH!" Glenn berteriak kepada para petinggi.

"Glenn, berhenti." Jane menghampiri lelaki itu.

"Tidak, Jane. Jika saja mereka tidak mengurung Stewart, mustahil pelaku itu bisa membunuh Stewart!" Dada Glenn naik turun. Pelupuk matanya dibanjiri air mata. Glenn sangat marah sampai sulit mengendalikan emosinya.

Teng… teng… teng…

“Selamat untuk kalian semua! Aku senang karena kalian berhasil menyelesaikan misiku kali ini.” Terdengar suara tepuk tangan dari megafon. “Ini adalah bentuk apresiasiku untuk kalian.”

“Apa itu dia?”

Semua orang menjadi heboh, bertanya hal yang sama dengan Luna.

“Ya, itu dia.” Suara yang persis seperti yang ditemui Jasper dan Wesley. Ia akhirnya menampakkan wujudnya di depan semuanya, meski sebatas suara.

“Sesuai janjiku, kalian boleh meminta apa saja. Suruh walikota menuliskan permintaan dan datang ke mari.” Setelah itu, suara tak lagi terdengar.

Penduduk tambah ricuh. Apa benar dia akan mengabulkan permintaan mereka?

"Pak, apa yang akan kau minta?" tanya Hugo.

"Paman, tolong hentikan ini." Jane tersedu.

"Bisa kah kita meminta dia untuk pergi? Aku lelah...," rintih Ruby.

“Diam! Diam, semua!” Dengan intonasi rendah, Austin menengahi. Penduduk menjadi hening. “Kami akan carikan solusi terbaik.”

“Alice, kau tetap di sini.” Melalui isyarat mata, Jasper menyuruh Austin, Sam, dan Luna mengikutinya.

...***...

21 April—Pukul 04.17

“Dia seperti perempuan.”

Kening Sam mengkerut. “Kau yakin?”

"Bentuk badannya. Aku sangat yakin Wesley pun menyadari hal yang sama."

Jasper, Austin, dan Sam terdiam. Masing-masing mempunyai perspektif sendiri, tetapi tidak diungkapkan lantaran memang situasi semakin aneh.

"Tidak mungkin perempuan itu sendirian di menara jam. Pasti ada orang lain," spekulasi Sam. Berpikir soal perempuan. Cukup mustahil perempuan mampu bertindak banyak—menembak, mengurung, mengawasi—dalam sekali waktu.

"Jangan meremehkan perempuan." Luna sejak tadi sibuk dengan kertas-kertas.

"Kau berencana melanjutkan jurnal Joce?" tanya Austin.

"Dia meminta demikian, jadi kulakukan demikian." Luna bergabung dengan mereka. "Sepertinya aku tau siapa pemilik kain putih."

Tiga pria itu saling pandang. Ekspresi wajah mereka langsung terkejut ketika Luna menyebutkan satu nama. Seketika Sam terdiam.

"Kain itu milikku, Luna," ucap Jasper.

"Itu milikmu sebelum ini terjadi. Sejak awal, dia meminta Alice menyiapkan kain berbahan wool. Aku cukup yakin kalau itu memang dia."

Austin memijat pangkal pelipis. "Bagaimana kalau dia juga terlibat?"

Jasper bimbang. Di dalam situasi tertentu, lawan bisa menjelma jadi kawan. Istilah musuh dalam selimut memang benar adanya. Terbukti kuat dari penyebab kematian Wales.

"Mau ke mana?" tanya Luna ketika Sam melenggang pergi.

"Melihat perkembangan Wesley dan Hank."

...***...

21 April—Pukul 04.24

Ruby mendekati Glenn yang duduk memeluk lutut di sudut kamarnya. Melungguh di sampingnya, Ruby mendengar isakan kecil dari mulut Glenn. Tanpa sepatah kata, Ruby mengusap punggung Glenn.

"Dia teman baikku," lirih Glenn.

"Aku tau."

Satu menit, Ruby setia mengusap punggung Glenn. Berharap mampu menyalurkan ketenangan meskipun dirinya sendiri jauh dari kata baik.

"Kita harus merelakannya," ucap Ruby.

Glenn menegadah. "Dia mati karena ayahku!"

"Ayahmu berpikir Stewart adalah ancaman, dan itu bukan tanpa alasan. Ayahmu hanya ingin melindungi penduduk yang tersisa."

"Dan aku hanya ingin melindungi temanku," balas Glenn.

"Aku mengerti, tapi kau juga harus memahami posisi ayahmu. Bayangkan, apa yang akan kau lakukan bila kau adalah walikota?"

"Aku akan melindungi wargaku, tanpa membuat satu pun terluka."

"Bagimana caranya?"

Glenn terdiam. "Aku bisa mencari caraku sendiri. Dan kupastikan caraku tidak sepertinya. Aku pasti menyangkutkan pendudukku pada setiap keputusan yang kubuat."

"Mudah untuk mengatakannya, tapi kau akan kesulitan bila hal itu terjadi."

"Jangan membelanya! Stewart mati juga karena ibumu!" teriak Glenn. Sorot matanya dipenuhi amarah.

"Glenn..." Ruby terperanjat. Glenn tidak pernah membentaknya seperti ini.

Glenn mendesah berat. "Maaf, aku tak bermaksud begitu."

Ruby menggeleng. "Tak apa." Ia duduk mendekat, tangannya terangkat membelai wajah Glenn.

"Kita telah kehilangan banyak hal. Tapi setidaknya, kita masih ada di sini."

Glenn memegang tangan Ruby, memandang gadis itu cukup lama. "Aku masih memilikimu?"

Ruby mengangguk sembari tersenyum. "Ya, kalau masih memilikiku."

"Kita tidak lemah, Glenn. Kita bukan anak kecil lagi. Kita harus berjuang menegakkan keadilan untuk Stewart."

Glenn menatap Ruby lekat, seolah hanya ada gadis itu. Perlahan, padangannya turun ke bibir ranum Ruby. Wajah Glenn mendekat. Mengerti gerakan Glenn, Ruby menutup kedua mata.

Glenn mencium bibir Ruby. Keduanya membalas ******* satu sama lain.

"Kita bukan anak kecil lagi, kan?" Glenn memberi jeda sejenak untuk Ruby mengambil napas.

Ruby tersenyum. "Ya." Kemudian gadis itu melanjutkan ciuman.

Glenn melepaskan bajunya, lalu dilempar sembarang arah. Tangan kanan Glenn menekan tengkuk Ruby, membuat ciuman semakin intim. Sedangkan sebelah tangannya naik bergerak aktif di punggung gadis itu.

Sret...

Sekali tarikan, baju Ruby hilang pandang. Masih ditutupi pakaian dalam. Glenn menidurkan Ruby dengan lembut, masih tetap saling terpadu. Ciuman kian intens, tak sadar Ruby sampai mengeluarkan ******* kecil.

Dalam sekali gerakan, Ruby membalikkan posisi. Kini ia ada di atas Glenn. Ruby menyentuh dada Glenn, tak kala laki-laki itu tersenyum.

Hendak membuka pengait pakaian dalam, decitan pintu membuat keduanya menoleh.

"Jane?" Ruby terkejut, segera turun dari atas Glenn. Ia langsung memgambil bajunya.

"Tidak, tidak. Bukan seperti yang kau pikirkan. Kami tidak—maksudnya tidak ada yang terjadi." Ruby terbata sampai-sampai tak tahu harus berkata apa.

"Kenapa kau di sini?" tanya Glenn.

"Maaf, aku tak bermaksud mengganggu."

Ruby berdiri. "Tidak, Jane. Kami tidak melakukan apa pun, jadi kau tak mengganggu. Sungguh, kami tidak melakukan apa pun."

Jane pernah mempelajari satu trick psikologi. Seseorang yang terus mengucapkan kalimat berkali-kali, berarti itu sebuah kebohongan.

Jane mengangguk kecil. Bersikap seolah baik-baik saja kendati hatinya perih.

"Kita bisa mengetahui pembunuh Stewart," ucap Jane. "Kamera yang kita pasang."

...***...

21 April—Pukul 04.32

Masuk ke ruang perawatan, ternyata Hank sudah siuman. Sam segera mencegah Hank yang hendak bangkit.

"Berbaring sebentar lagi, kau belum pulih."

"Putih? Apa yang putih?"

"Kau masih dalam pengaruh obat bius." Sam membaringkan Hank kembali. Ia memeriksa kondisi fisik dan mengajukan beberapa pertanyaan seputar keluhan. Jawaban Hank sedikit ngelantur, tetapi Sam memakluminya.

Beralih ke Wesley, pria tua itu belum sadar. Di sebelahnya setia ditemani sang istri.

"Bagaimana suamiku?" tanya Sandra.

"Sejauh ini, baik." Sam mengatur kecepatan tetesan infus.

"Katakan kalau itu bukan kau."

Sandra menoleh Sam yang sedang sibuk memeriksa sang suami.

"Maksudmu?" tanya Sandra.

"Aku tau kau tau maksudku."

"Tidak."

"Hanya kita yang tau arti teka-teki itu." Keheningan tercipta, Sam menghela napas. "Aku harap aku salah."

...***...

21 April—Pukul 04.44

Jasper mengadakan rapat bersama seluruh warga mengenai permintaan yang akan diajukan. Berdasarkan keputusan musyawarah, mereka akhirnya menemukan satu ide.

Jangan ambil salah satu dari warga Chaderia lagi, pergi dari sini!

Namun, kenyataan tak seindah itu. Faktanya, mereka baru saja menapak satu kesalahan.

Aku hanya akan mengabulkan satu permintaan. Aku takkan mengambil salah satu dari kalian lagi.

Tapi,

Aku menyukai perhiasan, terutama yang bisa menghias leherku. Aku ingin sebagian dari kalian merasakan keindahan itu. Kuberi waktu 60 jam. Hadiah kali ini, akan sangat menyenangkan.

Sial!

Jasper meremas kertas. Kali ini, Jasper benar-benar marah. Ia menatap Austin dan Luna.

"Proyek kita bisa selesai dengan waktu 60 jam?"

"Tak yakin. Peralatan dan bahan kita lengkap, tapi kita kekurangan orang," jawab Austin.

"Jadi, suruh semua orang bekerja."

"Okay, tapi tidak berlaku untuk anak-anak," ucap Luna.

"Mereka ikut," putus Jasper.

Luna menatap Jasper tidak percaya. "Mereka hanya anak-anak, tidak boleh terlibat dalam pekerjaan berbahaya."

Jasper mengerling Luna. "Mereka bukan anak kecil, Luna. Itu yang mereka katakan."

"Mereka tidak mengerti, Jasper. Jika mereka tau seberapa bahayanya proyek ini, mustahil mereka bergabung."

"Kau salah. Jika mereka tau seberapa besar proyek ini akan berhasil, mereka pasti ikut." Jasper melihat jam dinding, lalu Austin, Sam, Luna, dan Alice.

"Lakukan tugas kalian masing-masing."

...***...

21 April—Pukul 05.08

Jane, Glenn, dan Ruby duduk menyaksikan hasil rekaman berdurasi 9 jam 53 menit. Kali ini, ide Glenn sangat berguna. Glenn mempercepat hasil rekaman. Cukup banyak orang yang tertangkap kamera, tetapi hampir semua tidak menuju lantai dua di mana Stewart berada.

"Stop," ucap Jane.

Empat orang yang terlihat naik ke lantai dua. Jane mencatat masing-masing waktu.

Jasper, 2 kali. Pukul 22.43 dan pukul 02.39.

Sam, sekali. Pukul 03.52.

Luna, sekali. Pukul 03.17

Alice, 3 kali. Pukul 22.38, pukul 01.19, dan pukul 03.20

Sandra, sekali. Pukul 03.54

"Salah satu dari mereka adalah pembunuh Stewart?" Ruby bimbang.

"Kita harus beri tahu paman," ucap Jane.

"Tidak, kita selidiki ini sendiri," putus Glenn.

"Tapi—"

"Silakan beri tau ayahku jika kau ingin aku, Ruby, atau kau sendiri mati di tangan salah satu dari mereka." Keputusan Glenn sudah bulat.

Jane menghela napas, akan sulit menghentikan Glenn. "Okay, kita lakukan ini."

To be Continue

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!