Beberapa jam lalu
21 April—Pukul 03.52
Sam selesai membersihkan tubuhnya yang penuh darah. Masuk ke ruangan Jasper, Sam merosot ke sofa. Tenaganya betul-betul terkuras berkat dua operasi besar yang dilaksanakan tanpa jeda.
"Kau tampak berantakan."
"Ya."
Jasper membiarkan Sam menutup mata sejenak. “Tugas kita akan lebih berat setelah ini.”
“Itu selalu terjadi ketika kau ingin bertahan hidup.”
“Lalu, katakan padaku apa yang membawamu ke mari?”
Tebakan Jasper sangat tepat. Bukan tanpa alasan Sam datang ke mari.
“Kondisi Wesley cukup mengkhawatirkan.”
Jasper terdiam sebentar. “Seberapa mengkhawatirkan?”
“Peluru menghancurkan dua tulang rusuknya, sedikit lagi nyaris memecahkan lambungnya. Namun bukan itu masalahnya.” Sam menjilat bibir bawah. “Beberapa saraf Wesley rusak, aku khawatir itu akan mempengaruh kakinya.”
“Wesley lumpuh?” tanya Jasper.
“Delapan puluh persen. Tidak bisa kupastikan.”
Telapak tangan Jasper mengepal kuat, gigi-giginya gemeretak menahan amarah. “Apa Sandra tau?”
Sam menggeleng. “Tapi aku juga tidak mengatakan Wesley dalam keadaan baik.”
“Jangan beri tahu Sandra terlebih dahulu,” ucap Jasper.
Sam bangkit. “Aku ingin istirahat.” Pria itu pamit.
Begitu menapak keluar, Sam menemukan Sandra berada di depan ruangan Jasper.
“Ada apa, Sandra?”
“Aku tau kau bohong tentang keadaan suamiku.”
Sam menatap Sandra. “Kau dengar pembicaraan kami?”
“Tidak, tapi matamu menjelaskan semuanya.” Air mata Sandra mengumpul. “Aku tau, Sam. Jangan bohong padaku.”
Akhirnya, kristal bening mengalir ke pipi Sandra. “Aku takut kehilangan dia. Aku takut kehilangan orang-orang yang kusayang. Kau, Austin, Jasper, Jane, semuanya. Tapi dia selalu mengajarkanku untuk tidak takut. Dia berkata aku pasti menghadapi hidup ini dengan kekuatanku sendiri.”
“Beri tau aku, Sam. Berapa persen peluang suamiku hidup?”
Sam mengalihkan padangannya dari Sam. Dirinya merasa menjadi orang paling jahat bila harus mengatakan hal sejujurnya.
“Sam, katakan padaku. Berapa persen peluangnya selamat?” ulang Sandra.
“Sepuluh persen.”
Sandra menggigit bibir dalamnya, sekuat hati mencegah air mata agar tidak menderas.
“Aku akan terus mencoba yang terbaik untuk Wesley, aku berjanji.” Sam menangkup tangan Sandra. “Percayalah padaku, sepuluh persen harapan itu masih tetap ada.”
“Terima kasih, tapi jangan beri aku harapan yang sulit terjadi.” Sandra tersenyum nanar. “Sam, boleh kutanya sesuatu padamu?”
...***...
21 April—Pukul 05.01
Luna fokus membaca halaman per halaman jurnal. Keningnya mengkerut, hatinya dipenuhi tanda tanya. Memang Joce sering menulis jurnal, tetapi mengapa jurnal satu ini agaknya aneh?
“Kau memanggilku, bu?” Alice masuk ke kamar Maddy yang sekarang telah dialih fungsikan menjadi tempat menyimpanan bahan baku senjata.
Luna meminta Alice mendekat dengan gerakan tangan. Lantas, asisten walikota itu lungguh di samping Luna.
“Sejak kapan Joce mulai menulis ini?”
“Kira-kira tujuh tahun lalu.”
“Itu sudah sangat lama, mengapa belum selesai sampai sekarang?” tanya Luna.
“Karena beliau belum menemukan fakta yang sebenarnya.”
“Apa yang kau maksud fakta yang sebenarnya?”
“Penyebab kematian Bu Edith,” jawab Alice.
Benar. Jurnal Joce ini membahas tentang kematian Edith. Menurut Joce, banyak kejanggalan terkait peristiwa ini. Wanita itu secara terang-terangan menuliskan keraguannya pada penyebab kematian Edith, yakni serangan jantung.
“Keluarga Edith tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Edith selalu menerapkan hidup sehat. Sebelum meninggal, Edith tidak pernah mengeluhkan gejala penyakit jantung.” Luna membaca beberapa alasan keraguan Joce.
“Edith meninggal beberapa hari setelah kekalahan Angkatan militer, kemudian tak lama Wales dan Dabbie mengalami kecelakaan.” Selanjutnya, Luna membacakan satu kejanggalan menurut Joce. Namun dirinya mempunyai prespektif sendiri. “Kematian Edith bisa jadi disebabkan oleh Angkatan militer, seperti Wales dan Dabbie. Lalu, apa yang salah?”
“Kau bisa menyimpulkan demikian sebelum membaca halaman ke-107, bu,” ujar Alice.
Luna membuka halaman yang disebutkan Alice.
“Tidak ada yang melihat jasad Edith selain Dabbie. Setelah acara pemakaman selesai, Dabbie tidak keluar kamar selama tiga hari. Dia jadi pendiam dan paranoid, seperti ada yang disembunyikan. Beberapa dokumen yang berhubungan dengan Angkatan militer tiba-tiba hilang. Dua belas selongsong peluru kosong ditemukan di ruangan Wales sehari kemudian. Pite Hookstone—suami Edith—dinyatakan tewas beberapa hari kemudian setelah jatuh dari kapalnya saat ombak besar menghantam,” baca Luna.
“Grey Howard?” Nama itu tertera di jurnal Joce, tetapi Luna tak mengenalnya.
“Salah satu anggota militer yang tewas,” info Alice. “Joce merasa mereka berdua menjalin sebuah hubungan.”
“Hubungan apa?”
“Entahlah, tetapi lebih dari sekadar teman.”
Luna membisu. Sebagai petinggi Chaderia, ternyata ada banyak hal yang belum diketahuinya. Bisa dikatakan Joce adalah orang yang paling tahu seluk beluk Chaderia, lalu semuanya dimuat dalam ratusan seri jurnal. Dan dari keterangan Alice, sampai saat ini para petinggi tidak ada yang tahu isi jurnal Joce yang satu ini, termasuk Sam. Luna pun tidak berniat memberi tahu mereka.
“Agaknya ada alasan tertentu mengapa Joce menjadi target si pelaku,” duga Luna. Luna membereskan kumpulan kertas di atas meja, lalu menyerahkannya pada Alice.
“Aku ingin kau menyimpan ini untukku, setidaknya sampai situasi membaik.”
“Baik, bu.”
Joce bukan orang lemah. Joce pasti bisa melawan bila seseorang menyerangnya. Joce mustahil tewas begitu saja. Terkecuali jika pembunuh adalah orang kepercayaan Joce, sehingga tingkat kewaspadaan wanita itu berkurang.
Apabila refleksi Luna benar, maka tujuan pelaku adalah menghentikan Joce menyelesaikan jurnal ini.
Dan Sam adalah pelakunya.
...***...
21 April—Pukul 05.49
“Aku sudah katakan padamu alasanku naik ke lantai dua.” Sam jenuh lantaran Ruby terus memaksanya menjawab hal yang sama berulang kali. “Kalau kau ingin memastikan jawabanku, tanya saja pada walikota dan Sandra.”
“Apa yang kau lakukan setelah berbicara dengan walikota dan Sandra?” tanya Ruby.
Sam memandang Ruby aneh. “Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?”
“Ruby?” ulang Sam ketika Ruby tidak menjawab.
“Tidak, maaf telah mengganggumu,” ucap Ruby.
“Tak masalah. Tanganmu masih sakit?”
Ruby menekuri lengannya yang dibalut perban. “Sedikit, sebentar lagi sembuh.”
“Okay. Aku akan pergi memeriksa Wesley dan Hank.”
Sam melangkah pergi. Sejurus kemudian, Jane dan Glenn datang. Mereka juga menemukan jalan buntu. Jane bertanya pada Jasper, jawabannya karena ia ingin menenangkan diri di kamar dan sedang memikirkan rencana ke depannya. Sedangkan Glenn bertanya pada Sandra, jawabannya karena ia ingin menemui Sam di lantai 2.
“Sepertinya kita salah bertanya terang-terangan. Tak akan mungkin mereka mengaku secara suka rela,” ucap Jane. “Tapi aku punya informasi untuk kalian.”
“Apa?” tanya Glenn. Glenn dan Ruby mendekat ke Jane.
“Paman mengajak kita bicara berempat.”
“Aku tidak mau,” putus Glenn. “Palingan dia ingin menyuruh kita tetap diam dan menerima semua keputusannya.”
“Kau salah, justru kali ini paman meminta kita berkontribusi.”
Kedua alis Ruby terangkat. “Dalam hal apa?”
“Paman bilang akan menjelaskannya nanti,” balas Jane. “Jadi, kau ikut, tidak?”
Glenn diam sejenak. Kakinya melangkah menuju lantai dua di mana Jasper berada.
Ruby menyenggol Jane. “Dia selalu begitu?”
Jane mengangguk. “Gengsinya lebih tinggi dari langit.”
...***...
21 April—Pukul 05.58
Jane, Glenn, dan Ruby berada di ruangan Jasper. Ketiganya berdiri di hadapan sang walikota. Di sofa sudut ruangan, Luna duduk menyilang kaki.
"Kami minta maaf atas kejadian Stewart. Kami sangat menyesal, sungguh," ucap Jasper. "Seseorang mencuri kunci kamar Stewart dariku, lalu dikembalikan setelahnya."
"Kalau ayah mau bicarakan Stewart, aku malas mendengarkan," tutur Glenn.
"Ayah ingin jelaskan pada kalian. Sulit memperkirakan waktu kunci hilang, dan selama itu ayah sudah berinteraksi dengan semua or-"
"Berhenti, ayah. Aku sungguh-sunggun tak ingin dengar," potong Glenn.
Jasper menghembuskan napas. "Baiklah, kembali pada tujuan awal kita. Jane pasti sudah memberi tahu kalian, tapi aku harus menyampaikan ini secara langsung."
"Kami akan merakit sebuah senjata, dan aku ingin kalian ikut berkontribusi."
"Luna," panggil Jasper.
Luna menarik napas panjang, kemudian berdiri. Terus terang, dirinya masih kekeh tidak ingin melibatkan anak-anak, tetapi Jasper dan Austin telah menyetujui.
Luna menjejak ke meja, lalu menyingkap kartun besar ke atas meja. Tiga remaja itu mendekat. "Kita butuh dua tim untuk menyelesaikan senjata. Tim pertama yang merancang badan senjata, dan tim kedua yang mengurus amunisi."
"Jane dan Ruby, kalian masuk ke tim satu bersama Austin. Dan kau, Glenn, ikut denganku dan Sam di tim dua."
Glenn mengamati ilustrasi senjata. Lantas beralih pada Luna dan Jasper.
"Mengapa minta kami membantu?" tanya Glenn.
"Itu yang kalian mau, bukan?" tanya Jasper balik.
"Kau masih tak mengerti maksudku, ayah."
"Luna, bisa kau bawa Jane dan Ruby bertemu Austin? Barang kali Austin ingin menyampai sesuatu."
Luna paham maksud Jasper. Pria itu ingin ditinggalkan berdua bersama putranya.
"Ayo, Jane, Ruby," ajak Luna. Dua gadis itu mengikuti Luna keluar dari ruangan Jasper.
"Kita harus bicara, Glenn." Jasper duduk ke sofa. Menepuk sofa, Jasper mengajak Glenn duduk di sampingnya.
"Katakan apa yang ingin ayah bicarakan, aku tak punya banyak waktu," ketus Glenn.
"Ayah mengerti kekecewaanmu atas kematian Stewart. Ayah pun. Tapi ayah berharap kau dan teman-temanmu tidak melakukan hal yang dapat membahayakan diri kalian sendiri."
"Bisakah ayah urus urusan ayah sendiri? Berhenti mengganggu kami," kesal Glenn.
"Aku adalah ayahmu. Ayah berhak mengatur kau." Nada bicara Jasper mulai meninggi.
"Ayah bukan hanya ayahku, tapi juga walikota. Kenapa ayah tak mengurus warga-wargamu saja? Pergi dan lihatlah kondisi Wesley yang sekarat karena ayah!" pekik Glenn.
"Jangan meninggikan suaramu!" bentak Jasper. Jasper bangkit, berdiri di hadapan putranya.
"Bisakah kau mengerti sedikit saja? Ayah berusaha melindungimu, Glenn. Tak peduli apa pun yang terjadi, tugas ayah adalah memastikan kau selamat."
Atmosfer di sekitar terasa berat. Ayah dan anak ini sama-sama enggan mengalah.
Glenn berdecih, sangat jengkel pada ayahnya. "Usaha ayah sia-sia karena aku tak butuh perlindunganmu, ayah. Aku sudah besar dan bisa melindungi diriku sendiri."
Tanpa sepatah kata lagi, Glenn meninggalkan ruangan Jasper.
...***...
21 April—Pukul 07.10
Lagi dan lagi, Jasper mengumpulkan seluruh warga di ruang tamu, termasuk Hank. Keadaan pria itu sudah lumayan kondusif, meskipun masih harus dibantu saat bergerak. Berbanding terbalik dengan Wesley. Ia kesulitan bangkit dari tempat tidur dan belum membaik sejak selesai operasi.
“Di mana Glenn?” bisik Jane.
“Dia masih kesal dan mengurung diri di kamar,” balas Ruby.
Jasper menunjukkan surat terbaru dari pelaku. “Negosiasi kita gagal. Kali ini, dia bukan hanya menginginkan satu dari kita, tapi setengah.”
Sontak, kericuhan terjadi. Austin menyuruh mereka diam, lanjut mendengar perkataan Jasper.
“Kita belum menemukan pembelot di antara kita. Tapi satu hal yang harus diperhatikan, kita hanya memiliki waktu sekitar 56 jam sebelum dia mulai merenggut nyawa lagi.” Jasper memperlihatkan rancangan senjata Austin dan Luna, kemudian menjelaskan rencana para petinggi.
Pertama, mereka bersama-sama merakit senjata. Selanjutnya, satu jam sebelum waktu berakhir, mereka akan menyerang Menara jam. Jasper mengangguk kepada Luna, lantas wanita itu membagikan gelang kepada semua warga.
“Gelang itu terhubung dengan gelang utamaku. Jika kalian merasakan hal janggal dan tidak memungkinkan untuk memanggil orang lain, tekan tombol kecil di sisi gelang. Aku akan mengetahui posisi kalian dan segera datang.”
Semua orang memakai gelang.
“Kita semua harus bekerja sama untuk menyelesaikan ini, karena aku yakin kalian juga tak ingin kehilangan lebih banyak. Tolong untuk saling melindungi. Buktikan pada dia bahwa Chaderia tak selemah itu. Kita bisa melawan balik!”
“Kita bisa melawan!” pekik Hugo.
“Ya, kita bisa!” imbuh Ruby.
Berikutnya, Luna bicara. “Sekarang, aku akan menjelaskan cara merakit senjata dan cara kerjanya."
Setelah selesai, Luna membagi tugas ke dalam dua tim. Sama seperti yang diterangkan sebelumnya kepada Jane, Glenn, dan Ruby. Tim pertama: Austin, Jane, Ruby, Hank, dan Hugo. Tim kedua: Jasper, Luna, Sam, Alice, dan Glenn. Wesley tidak diikut sertakan.
“Aku?” tanya Sandra.
“Tugasmu paling penting. Tolong jaga generasi penerus Chaderia, Alycia,” ucap Luna.
Sandra mengangguk paham. Bicara tentang Alycia, saat ini dia sedang bersama Wesley di ruang perawatan.
“Hank, jika kau belum kuat, jangan paksakan dirimu bekerja, okay?” peringat Sam.
“Aku kuat, bahkan sekarang aku bisa turun dari ranjang tanpa bantuan.”
“Dengarkan doktermu. Jangan membuatku harus bekerja dua kali.”
Tawa Hank tertahan sebab tubuhnya masih nyeri saat mengalami guncangan. “Baiklah, dok. Aku menurutimu.”
“Bagus.” Sam mengacungkan jempol. “Jadi, sekarang mulai bekerja?”
"Tim pertama ikut aku dan tim kedua ikut Sam,” instruksi Austin.
“Ayo, cepat. Waktu kita tak banyak,” ucap Jasper.
Semua orang berpencar sesuai posisi masing-masing.
“Austin, boleh aku panggil Glenn dulu?” izin Ruby.
“Tidak.” Austin mengerling Alice, menyuruhnya melakukan itu melalui kode mata. “Pekerjaan kita lebih dari sekadar membujuk anak yang merajuk.”
Austin melangkah, disusul oleh anggota tim pertama.
Sementara Sandra kembali menjejak ke ruang perawatan. Membuka pintu kamar, Sandra tidak menemukan Wesley di dalam.
“Sayang?” panggil Sandra, sembari masuk perlahan-lahan.
Sandra mengamati sekitar, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan suaminya. Dengan langkah gesit, Sandra mengecek kamar mandi terdekat.
Tidak ada.
“Tidak,” gumam Sandra. Wanita itu berlari kembali ke ruang perawatan.
Napas Sandra memburu. Syukurlah Alycia masih ada di tempat. Ia segera menggendong gadis mungil yang tengah terlelap. Sandra menoleh kasur Wesley. Baru disadari, ternyata ada bercak darah.
Jantung Sandra berdebar kencang. Panik, Sandra segera menekan tombol gelang. Oh, Tuhan. Jangan suaminya.
To be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments