PART 12

20 April—Pukul 18.17

Di pojok ruang tamu, Glenn sibuk sendiri mengelap kamera video yang yang sedikit usang. Itu adalah hadiah ulang tahun ke-15-nya dari Jasper. Namun Glenn tidak begitu tertarik pada dunia perekaman, maka itu kamera ini jarang digunakan.

“Boleh kulihat video-video di kameramu?” Ruby ada di samping Glenn.

“Tentu.” Glenn memberikan kameranya pada Ruby.

Jemari Ruby bergerak menelusuri video. Sudut bibirnya tertarik, isi kamera merengkuhnya menuju kenangan empat tahun lalu, di mana empat remaja sedang berlibur di pinggir pantai. Hari itu ulang tahun Glenn, dan lelaki itu memamerkan hadiah dari sang ayah.

“Kau tak mengambil video lagi selain ini?” tanya Ruby.

Glenn menggeleng. Memang hanya saat itu dia memakai kameranya.

“Ayo buat video,” ajak Ruby.

“Ayo.” Glenn duduk mendekat.

Ruby menyalakan kamera dan menyorot mereka berdua.

“Hey, guys, hari ini tanggal 20 April, itu artinya kami sudah empat hari terkurung di rumah walikota,” ucap Ruby.

“Kami tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Padahal awalnya kami sangat antusias menyambut ulang tahun Chaderia, tapi tiba-tiba saja terjadi hujan peluru hingga singkat cerita kami berakhir di rumahku,” imbuh Glenn. “Mulanya kami ada 20 orang, sekarang hanya tersisa 16 orang. Patrick, Anna, Joce, lalu Erland. Mereka dibunuh oleh si pelaku dan orang suruhannya.”

“Aku merindukan Joce, Anna, dan lainnya,” sambung Ruby.

“Aku pun.” Glenn mengusap punggung Ruby, mencoba menenangkannya. “Kami akan bongkar identitas orang suruhan si pelaku dengan kamera ini.”

Ruby mengangguk. “Ya, kita akan menangkapnya.”

Glenn mengambil kamera dari tangan Ruby.

“Tapi sebelum itu, aku ingin mengajak kalian untuk berkenalan dengan teman-temanku.”

Glenn beranjak, mengarahkan kamera ke Sam dan Wesley yang sedang berbincang. “Sam, Wesley, katakan hai pada penonton videoku.”

“Halo.” Sam dan Wesley berbicara bersama.

“Kau membuat video?” tanya Sam.

“Ya…, untuk kenang-kenangan.” Glenn menggeser frame ke kanan, menampilkan Sandra dan Jane yang bermain dengan Alycia. “Sandra, bisakah kau tunjukan Alycia ke kamera?”

“Kau menjual putriku untuk kontenmu?” gurau Sandra. “Baiklah, ini dia.” Sandra mendekatkan Alycia ke kamera. Bayi mungil itu tersenyum seolah tahu kamera tengah berpusat padanya.

“Gemasnya,” ujar Glenn dari balik kamera.

“Gadis di sebelahnya juga menggemaskan, bukan?” Glenn terkekeh.

Jane memutar bola mata malas.

Glenn kemudian kembali duduk di samping Ruby. Entah apa yang mereka lakukan, tetapi sorot mata Jane tak lepas dari keduanya. Jane mengulum bibir. Enggan kepo akan aktivitas mereka, Jane mengalihkan pandangan.

...***...

20 April—Pukul 19.22

Warga sibuk dengan urusan masing-masing. Menggunakan lembaran kertas origami dan lem yang dipinjam dari Jane, Hank—si pengrajin tanah liat—membentuk sebuah burung merak. Tubuhnya berwarna biru, sementara bulu ekornya gradasi hijau dan kuning.

“Bisa kau ajari aku cara membuat karya indah ini?” Ruby sangat tertarik.

“Aku butuh murid yang serius.”

Mendengar itu, Ruby lekas lungguh di sebrang Hank. “Kau mendapatkan itu."

Hank tersenyum. Faktanya banyak kerajinan yang bisa ia bentuk, bukan sekadar tanah liat. “Baiklah. Step pertama, tentukan sesuatu yang ingin kau bentuk.”

Berpikir hampir dua puluh detik, Ruby menjawab, “angsa.”

“Step ke dua, bayangkan bentuk dan warna angsamu. Kemudian ambil kertas sesuai warna.”

Ruby memilih warna merah, pink, dan ungu.

“Step ke tiga, bentuk origami sesuai dengan keinginanmu. Bisa lingkaran, persegi, segitiga, atau lainnya. Setelah itu, satukan origami-origami dengan lem dari bawah ke atas.”

Mudah didengar, tetapi sulit dilakukan. Hank yang melihat Ruby kesusahan, memberikan bocoran-bocoran kecil.

"Pakai segitiga untuk paruhnya, kemudian persegi untuk leher sampai badan. Gunakan lingkaran untuk bagian sayap.”

Ruby menjalankan instruksi Hank. Sedikit demi sedikit, Ruby menyusun sampai ke bagian badan angsa. Tentu dengan banyak bantuan dan tuntunan Hank.

“Rube, kau sedang sibuk?” Jane memanggil dari samping.

“Sedikit, ada apa?” balas Ruby tanpa mengalihkan perhatian dari kerajinan tangannya.

“Baterai kamera sudah penuh.”

Ruby menoleh sekilas, tetapi ia terlanjur berjanji pada Hank. “Kalian saja, ya. Aku punya urusan penting.”

“Angsamu tidak akan kabur jika ditinggal sebentar," sambar Glenn.

“Apa pun yang ingin kalian lakukan, tolong jangan mengganggu muridku,” ucap Hank.

“Apa kursus kerajinan Chaderia baru saja dibuka?” Glenn tertawa.

“Anggap saja begitu. Aku menawarkanmu untuk menjadi muridku, Glenn.”

“Aku sangat tertarik, tapi sepertinya kedua tanganku tidak.” Glenn menyadari kemampuannya di bidang seni. Buruk. Tidak, sangat buruk.

“Beruntung kau memiliki murid yang cepat tanggap seperti Ruby,” ucap Jane.

Jane dan Glenn menghampiri Sam yang ada di sudut ruangan. Tanpa Sam ketahui, Glenn menyembunyikan sesuatu di balik bajunya.

“Kau suka ikan, Sam?” Glenn dan Jane duduk di kanan dan kiri Sam. Pertanyaan Glenn bukan tanpa alasan. Menu makan malam hari ini adalah ikan goreng.

“Sangat suka. Dulu, ayahku adalah seorang pelaut. Aku selalu menantikan kepulangannya yang hanya tiga atau empat kali dalam setahun, sebab dia pasti membawakan kami ikan segar.” Sam bercerita sambil membayangkan masa lalu.

“Ibuku adalah dokter. Dia mengetahui bagian-bagian ikan yang mengandung banyak gizi. Dan yang terpenting, ibuku sangat pandai mengelolanya.”

“Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah bertemu ayahmu,” ucap Glenn.

“Kapalnya karam diterjang ombak besar. Dan bila kau melihatnya, larilah sejauh mungkin, karena mungkin itu bukan dia.”

“Maksudmu hantu?” beo Jane.

“Semacam itu.” Sam tertawa. Glenn dan Jane pun.

“Sam, bolehkah kami membantu Maddy di dapur?” tanya Jane.

Sam mengerling jam dinding di sebelah kiri. “Kurasa sebentar lagi Maddy selesai.”

“Ya, tapi mungkin kami bisa sedikit meringankannya,” balas Jane. “Aku tau bagaimana lelahnya memasak untuk banyak orang.”

“Aku takkan terkecoh oleh kalian,” ucap Sam.

Dia tahu Glenn dan Jane sengaja mengajaknya ngobrol agar bisa mendapat kesempatan meninggalkan ruang tamu.

“Kami sungguh ingin membantu Maddy,” ucap Glenn.

“Hatiku tidak selembut Wesley, anak-anak.”

“Ayolah, Sam. Kami sudah besar, kami pasti bisa menjaga diri. Lagipula kami masih ada di dalam rumah.” Glenn membujuk.

“Dia ada di mana saja.”

“Sam, kumohon. Sebentar saja, janji. 15 menit, okay?” mohon Jane.

Sam diam sejenak. Menghirup satu tarikan napas panjang, akhirnya Sam melontarkan jawaban.

“Waktu kalian 15 menit.”

...***...

20 April—Pukul 23.00

Di gerbang belakang, Jasper, Austin, Wesley, dan Luna sudah bersiap dengan peralatan yang dibutuhkan. Pistol peredam suara, pisau, senter, dan lain-lain.

“Dengar, hati-hati dalam bertindak. Jangan gegabah dan terpancing emosi. Lakukan apa yang diperlukan dan hindari yang tidak,” peringat Jasper. “Tembakan suar ke langit jika memerlukan bantuan.”

Semua mengerti, kemudian berpencar.

Austin dan Luna berlari ke alun-alun kota. Bersembunyi di balik dinding, mereka memeriksa keadaan sejenak.

Aman. Pelaku tidak menyadari pergerakan mereka. Austin dan Luna saling memandang. Austin mengangguk sebagai isyarat, lantas Luna menyalakan suar, lalu melemparkannya ke tengah alun-alun.

Cahaya suar terpancar di tengah kegelapan. Tentu benderang sampai rumah Jasper. Hal itu membuat seisi rumah melontarkan banyak pertanyaan kepada Sam—satu-satunya dewan yang ada di sana.

Sam berusaha menenangkan mereka sembari menjelaskan rencana. Sam meminta mereka tetap diam, takut-takut memancing perhatian si pelaku.

Glenn berdecak. “Dia selalu tidak memberi tahuku.”

“Ibuku pun.” Ruby berjalan kembali ke kasur setelah Sam melarangnya membuka jendela.

“Mereka tidak pernah menganggap keberadaan kita dan hanya melakukan tindakan semaunya.” Rahang Glenn mengeras.

Jane paham perasaan mereka, tetapi juga mengerti posisi para petinggi. “Mereka mengkhawatirkan kalian dan kita semua. Aku yakin, paman sudah memikirkan rencana ini baik-baik.”

Glenn tertawa sinis. “Chaderia berhasil karena kerja keras kalian. Rasanya aku ingin tertawa mendengar pidatonya saat itu. Apanya yang kerja keras kalian? Dia hanya mementingkan keputusannya sendiri tanpa berdiskusi dengan kita.”

“Tentu karena paman tak ingin terjadi sesuatu pada kita.”

“Kita sudah dewasa. Mereka tak perlu lagi mengkhawatirkan kita,” ujar Ruby.

“Berhenti seolah kau mengerti keadaan, Jane. Aku tahu sebenarnya kau kesal.”

Tebakan Glenn tepat. Anak mana yang tidak cemas bila ayahnya pergi tanpa memberi tahu? Meski Jasper bukan ayah kandungnya, Jane sangat menyayangi pria yang merawatnya selama dua belas tahun itu. Namun sekarang bukan saat yang tepat untuk Jane merajuk.

“Kau tak boleh menyalahkan ayahmu, Glenn. Dia melakukan ini demi kau.” Maddy sejak tadi mendengar percakapan tiga remaja itu.

“Maafkan aku, Maddy. Tapi kau bukan aku. Kau tidak merasakan apa yang kurasa.”

“Aku memang bukan kau, tapi aku pernah menjadimu,” ucap Maddy. “Dulu, aku pernah berteman dengan seseorang yang sangat miskin. Namun ayahku melarangku mendekatinya. Aku kesal dan berpikir ayahku adalah seorang pemabuk yang menilai orang lain dari apa yang mereka punya. Jadi, kuabaikan peringatan ayahku.”

“Sampai satu hari, aku tahu ternyata anak itu juga seorang pemabuk. Dan dia sering mencuri hanya demi mendapat minuman.”

Dor! Dor! Dor!

Seisi rumah terkejut, menciptakan keributan yang berusaha ditenangkan oleh Sam.

Di sisi lain, Austin dan Luna masih bersembunyi di balik tembok. Sesekali kepala Austin mencuat untuk memastikan keadaan. Austin menggeleng, ia sulit melihat ke arah peternakan sebab peluru tak berhenti menembak.

Luna mengeluarkan profoton. “Jasper, bagaimana keadaanmu?”

“Kami baik-baik saja, tapi seperti yang kau tahu. Semua hewan ternak ketakutan mendengar suara tembakan. Bagaimana denganmu, Alice?"

"Sudah melewati sekolah. Sebentar lagi sampai."

“Baiklah, tetap bergerak. Kami akan mengalihkannya." Luna menyimpan protofon, kemudian mengeluarkan dua buah senapan. Diberikannya satu pada Austin.

“Ayo!” Austin keluar dari dinding, kemudian membalas tembakan ke Menara jam.

Dor! Dor! Dor!

Baku tembak terjadi antara kedua pihak. Jentera peluru si pelaku diaktifkan. Sementara di peternakan, Jasper dan Wesley berjalan perlahan. Empat hari tidak mengurus ternak membuat kandangan sangat kotor. Mereka melangkah hati-hati.

“Tenanglah, Maxy. Tak ada yang akan melukaimu.” Wesley mengelus kuda berwarna cokelat gelap.

“Wesley, hati-hati. Jangan sampai tertendang oleh mereka.”

“Tak perlu menasehatiku, nak.” Wesley menenggerkan kepala ke samping, kemudian mengangkat kedua bahu.

Jasper tersenyum. Keduanya menjejak sampai ke pintu keluar peternakan. Melalui celah kecil, mereka memperhatikan jarak sampai ke Menara jam.

“Kau siap?”

Wesley mengangguk.

Jasper membuka pintu perlahan. “Ayo.”

“Jasper, di mana kau? Kami terpojok.”

“Bertahan sebentar lagi. Kami hampir sampai.” Jasper mempercepat langkah. “Ayo cepat.”

Setelah menghubungi Jasper, Luna mengisi amunisi dari balik tembok. Austin menembak beberapa kali, lalu berlindung di balik tembok—di samping Luna.

“Berapa sisa peluru?” tanya Austin

“Lima belas.” Tak banyak peluru yang disimpan di rumah Jasper. Seluruhnya ada di ruangan Bee.

Austin menangkap amunisi yang dilempar Luna. “Bagus. Anggap saja sebagai taruhan kemujuran.” Austin keluar dari dinding.

Dor! Dor! Dor!

Luna pun melakukan hal yang sama.

Namun tiba-tiba, tembakan berhenti. Austin dan Luna saling pandang, bingung. Sampai ketika Austin memakai teropong untuk melihat ke arah Menara jam, ia langsung merebut protofon dari Luna.

“SAM, KE ARAHMU!”

"Oh tidak! SEMUANYA, TIARAP!” teriak Sam.

DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!

Tembakan beruntun mendarat ke rumah Jasper.

“Tidak! Putriku ada di dekat jendela!” Luna berlari ke tengah alun-alun. Ia membidikkan semua sisa pelurunya ke Menara jam.

“Berhenti menembak, bajingan!”

“Luna! Kembali!” teriak Austin.

“Sial.” Austin mengumpat lantaran Luna tak mendengarkannya. Terpaksa, pria itu menyusul.

“Kembali bersembunyi, kau bisa tertembak dari sini,” pekik Austin.

“Aku tidak peduli.” Luna terus melancarkan serangan.

“Apa yang terjadi?”

“Austin? Luna? Ada apa?”

“Dia menyerang rumah,” ucap Austin.

“Apa yang harus kita lakukan, Jasper?”

Jasper dan Wesley berada di jalur tengah. Kembali ke rumah atau melanjutkan aksi yang terlanjur dirampungkan?

“Luna, berhenti!” Sayangnya, Luna sama sekali tidak mengindahkan Austin.

Mengetahui bahaya semakin mengintai, tanpa pikir panjang Austin menggendong Luna. Menaruh wanita itu ke pundaknya dan segera menjauhi alun-alun.

“Lepaskan aku! Aku harus menyelamatkan putriku!” Luna memberontak.

“Selamatkan dirimu terlebih dahulu.”

Hampir sampai ke balik tembok, tembakan tiba-tiba berhenti. Tidak, ini bukan pertanda baik. Austin mempercepatkan jejak larinya.

Dor! Dor! Dor!

Nyaris tubuh keduanya menjadi sarang peluru. Austin berhasil sampai tepat waktu, ia menurunkan Luna.

“Tindakanmu betul-betul bodoh. Kau tahu, kau membahayakan dirimu sendiri?”

“Mereka menembaki putriku, bagaimana bisa aku diam?” teriak Luna.

“Setelah Daren tewas di depan mataku, kau ingin melakukan hal yang sama?!” Suara Austin meninggi. “Pakai akal sehatmu, bodoh!”

Austin mengambil walkie talkie. “Jasper, keberhasilan bergantung pada kalian.”

Jasper dan Wesley yang sudah sampai di pintu rahasia Menara jam. Selain petinggi Chaderia, dipastikan tak ada yang mengetahui jalan masuk ini. Dengan kunci satu-satunya yang dimiliki Jasper, mereka membuka pintu.

“Diam di tempat.” Seseorang menyambut kedatangan Jasper dan Wesley dengan sangat tidak ramah, mengacungkan senjata tepat ke arah mereka.

“Jatuhkan senjata dan taruh dua tangan di belakang kepala.”

To be Continue

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!