19 April—Pukul 16.46
Semenjak keluar dari ruangan Jasper, Stewart sama sekali tidak bicara. Ia mengabaikan pertanyaan teman-temannya, seputar pembicaraan dengan para petinggi ataupun alasannya mendadak bisu.
Glenn bingung menghadapi teman sekamarnya. Alhasil, ia putuskan menemui Wesley. Bukan ayahnya, terus terang Glenn masih kesal pada Jasper.
Perpustakaan. Lumayan besar, tersenyimpan banyak buku di dalam. Di sana Wesley duduk sembari membaca sebuah buku.
“Ada apa, nak?”
Kening Glenn mengkerut lantaran Wesley menyadari kehadirannya. Padahal ia datang dari belakang dan tak menimbulkan suara sedikit pun.
“Apa yang kau baca?” tanya Glenn, lungguh di samping Wesley.
“Buku filsafat.”
Kepala Glenn miring, ia membungkuk untuk melihat judul buku di tangan Wesley. Seni estetika. Buku filsafat yang menguraikan apakah setiap orang harus memiliki seni, dan apakah seni-seni tersebut harus selalu indah di mata semua orang.
“Untuk membuat sebatang besi, terdapat puluhan teori seni yang kuterapkan. Aku selalu berusaha menciptakan besi-besi yang indah. Bagiku, indah adalah ketika besi-besiku berhasil menyatu dan membentuk sesuatu yang berguna.” Wesley menutup bukunya, diletakkan di atas meja.
“Kau mencariku?”
“Tidak juga…, tapi iya.” Glenn menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Apa yang kalian bicarakan dengan Stewart?”
“Apa ada masalah dengannya?”
“Tidak. Hanya saja, dia jadi sangat pendiam.”
Wesley menghembuskan napas pelan. “Tak perlu dipikirkan. Dia akan segera membaik.”
“Membaik? Memang apa yang terjadi dengannya?”
“Tidak ada.” Wesley bangkit, berniat meninggalkan perpustakaan.
Langkah Wesley di ambang pintu, tetapi kalimat Glenn menghentikan Wesley.
“Aku tahu kita sedang terjebak masalah.” Glenn berdiri, ia menghadap Wesley yang membelakanginya. “Kita menghadapi sesuatu yang serius, aku tahu itu. Tapi mengapa kalian tidak pernah memberi tau kami? Kami bisa membantu kalian, sungguh. Kami bukan anak kecil lagi, kami mengerti apa yang kami lakukan. Berhenti menganggap kami anak kecil dan menyembunyikan semuanya.”
“Membiarkan temanmu memegang senjata termasuk keputusan yang bijak?”
Glenn terdiam. Telapak tangannya mengepal kuat.
“Bahkan mereka belum pernah memegang senjata sebelumnya.” Wesley menoleh ke belakang sekilas. “Kau harus tetap waspada. Perhatikan sekitarmu dan terus lindungi diri sendiri.”
...***...
19 April—Pukul 17.26
Kepergian Joce betul-betul mengguncang. Setelah memindahkan jasad Joce ke kamar yang sama dengan Anna, Luna tak mampu menahan air mata.
Luna menolak semua orang yang hendak menemuinya di kamar. Ia butuh waktu sejenak.
"Luna?" Alice memanggil dari luar.
"Aku tidak ingin dihibur, Alice. Pergilah."
"Aku ke sini bukan untuk menghiburmu, aku ingin berbicara sesuatu."
"Jangan sekarang."
"Aku yakin kau ingin mendengarkan ini, Luna. Ini tentang Joce."
Luna terdiam sejenak. "Masuklah."
Alice melangkah masuk dan melangkah mendekati Luna di atas kasur.
"Joce belum selesai menulis ini. Dia pernah berpesan padaku, jika dia tak sempat menyelesaikannya, berikan sisanya padamu."
Luna menerima tumpukan kertas dari Alice. Ia membaca sekilas isi jurnal. "Aku tak tau dia menulis jurnal ini."
"Dia memang tidak memberi tau siapapun. Namun karena membutuhkan banyak data, dia terpaksa memintaku membantunya."
"Terima kasih," ucap Luna.
...***...
19 April—Pukul 20.03
Selesai makan malam, Jasper mengumpulkan semua orang di ruang tamu. Telah diputuskan. Mulai hari ini, semua orang akan berada di satu ruangan yang sama. Demi melindungi satu sama lain, dan juga menyelidiki apakah pengkhianat yang Jasper spekulasikan benar atau tidak adanya.
“Aku mengerti kalian semua merasa tidak nyaman, tapi aku juga yakin kalian tak ingin kehilangan lagi. Bersama-sama kita bentuk ruangan ini menjadi kamar yang besar. Saling menjaga satu sama lain, okay?”
Tentu saja, Jasper tidak memberi tahu spekulasi adanya pengkhianat ke luar dewan. Alice saja tidak tahu.
Semua orang setuju. Mereka mulai menata ruang tamu, terkhusus para pria yang bertugas memindahkan kasur.
Luna dan Sam ada di kamar jasad Anna dan Joce.
“Kita harus segera mengubur mereka, kalau tidak tubuh mereka akan membusuk,” ucap Sam.
“Kita bicarakan pada Jasper besok pagi,” balas Luna. Pandangan tak bisa lepas dari tubuh kaku Joce. Masih bak mimpi, Luna sangat berharap kalau ini semua memang sekadar mimpi.
Dan ketika dirinya terbangun, Joce ada di sampingnya dan memeluknya.
"Kau baik-baik saja Lune?"
"Ya, tak masalah." Suara Luna agak lemas.
Sam meraih kening Luna. "Kau hangat. Ayo ke kamarku sebentar, aku akan memeriksamu."
Luna menggeleng. "Aku baik."
Melihat Luna sebentar, Sam kemudian mengangguk. "Okay. Kalau begitu aku ingin ke kamarku mengambil barang-barang.”
“Sejak kapan kau membawa barang-barang?” bingung Luna.
“Kasur. Kurasa aku jatuh cinta dengan kasur Jasper. Dia kasur terbaik yang pernah aku tiduri.”
Luna tersenyum kecil. “Ya, temui dan bawa pacar barumu.”
...***...
19 April—Pukul 20.12
"Drake, pindahkan ranjangmu. Aku sudah menandai wilayahku di sini." Hugo kembali ke ruang tamu setelah mengambil cadangan selimut. Namun wilayahnya telah berpindah tangan ke Drake.
"Oh, bukankah ini sistem siapa cepat dia dapat?" Drake bertanya seolah tidak merasa bersalah.
"Ya, dan aku yang lebih cepat menaruh ranjangku di sini," balas Hugo.
"Tidak dihitung karena kau pergi lagi. Kemudian akulah yang datang pertama."
"Kau membuat peraturanmu sendiri," sinis Hugo.
"Lalu, kau mau apa?" Drake melangkah mendekati Hugo.
Tak embuh kalah, Hugo juga maju. "Menendangku dari wilayahku."
"Bisakah kalian berdua berhenti?" Maddy muak. Pikirannya yang kalut oleh insiden menegangkan ini, justru dibuat tambah runyam akibat mendengarkan perdebatan konyol Drake dan Hugo.
"Drake, pindahkan ranjangmu. Hugo telah di sana terlebih dahulu," tegur Wesley.
Hugo tersenyum penuh kemenangan, sementara Drake berdecak kesal. Terpaksa mengalah pergi.
"Ternyata orang dewasa juga meributkan hal konyol," tutur Ruby. Di sebrang sana, Jane dan Ruby tengah merapikan kasur.
Meski sebetulnya rumah Jasper memiliki cukup banyak kamar dan kasur yang disiapkan khusus untuk tamu Chaeria agar mereka nyaman. Namun Jane dan Ruby memilih tetap tidur bersama di kasur Jane.
"Rube, kurasa tidur di dekat jendela akan menyenangkan," saran Jane.
"Okay, terserah kau." Ruby setuju dan keduanya mendorong ranjang ke dekat jendela. Sebelumnya sudah ada ranjang Glenn di area sana.
"Kalian tidur bersama?" tanya Ruby pada Glenn dan Stewart.
"Ya, kami adalah teman baik." Glenn merangkul Stewart.
"Teman baik." Stewat mengepalkan tangannya ke arah Glenn, lantas dibalas oleh lelaki itu.
"Wesley, Sam." Jasper datang. Melalui kode mata, Jasper meminta mereka mengikutinya.
"Alice, tolong awasi mereka."
Alice mengangguk atas perintah Jasper. Malam ini, rencana utama dialihkan ke rencana lain.
...***...
19 April—Pukul 23.41
Kesulitan tidur.
Jane berputar menghadap kanan, wajahnya seketika berhadapan dengan Ruby. Gadis itu belum tidur pula. Ruby melihat sekeliling. Lampu dimatikan dan gorden ditutup, membuat ruangan remang.
“Kau memikirkan apa?” bisik Ruby. Kini, mereka bukan tidur berdua saja. Sebabnya mereka harus berbisik agar tidak mengganggu tidur yang lain.
“Entahlah,” balas Jane. “Rube, apa kau sedang menyukai seseorang?”
“Pertanyaan yang mengejutkan. Tentu iya.”
“Benarkah?” kaget Jane. “Kau tak pernah cerita.”
Ruby tertawa pelan. “Mana mungkin aku mencerita orang yang kusuka di keadaan kita yang seperti ini.”
Benar juga.
“Sejak tadi aku tak melihat para dewan selain ibuku.”
Oh, iya. Jane baru sadar. “Paman pun tidak ada.”
“Kira-kira mereka ke mana, ya?”
Dari samping, Glenn menyambar. “Mungkin sedang melakukan sesuatu yang tidak cocok dilakukan anak-anak seperti kita.”
“Hey! Kau menguping percakapan kami?” omel Ruby.
“Tidak,” elak Glenn.
“Bohong!”
“Tidak.”
“Lalu bagaimana kau bisa membalas ucapanku?”
“Cuma mendengar satu kalimat.”
“Kau bohong, Glenn!”
“Tidak.”
“Bohong!”
“Stt…, jangan berisik.” Di depan jendela, Luna menegur.
Perdebatan Glenn dan Ruby berhenti. Luna kembali mengintip dari celah gorden. Berharap semoga tidak ada sesuatu yang terjadi di luar rencana.
Dari pintu belakang, empat pria bersiap merampungkan rencana. Bunga melati yang dimaksud merupakan bunga berwarna putih, sedangkan bunga mawar merupakan bunga berwarna merah. Artinya, si pelaku ingin mereka mengubah warna bunga putih ke merah menggunakan darah.
Rencana pertama, memetik bunga poppy di halaman belakang. Rencana kedua, membunuh hewan liar dan menggunakan darahnya untuk mewarnai bunga.
“Ingatlah, langsung masuk ke dalam rumah jika dia menembak.” Sampai saat ini, mereka belum mengetahui apakah area belakang rumah termasuk wilayah di luar zona.
Pintu dibuka perlahan. Kepala Austin mencuat keluar. Merasa aman, mereka segera berpencar berdasarkan peran. Jasper dan Wesley mengurus bunga poppy, sementara Austin dan Sam mencari hewan liar.
Sam menemukan musang liar di dalam semak-semak. Ia bersiap memanahnya.
Tak!
Suara panah menancap ke pohon, terdengar di tengah kesunyian malam. Sialnya, mereka telah menarik perhatian si pelaku.
Dor! Dor! Dor!
Hendak mengejar musang, Austin segera merenggut Sam masuk ke dalam rumah. Begitupun Jasper dan Wesley.
Wesley segera menutup pintu. “Halaman belakang bukan teritori kita."
Beruntung, bunga poppy berhasil diambil sebanyak setengah keranjang. Tak masalah. Si pelaku tidak menentukan jumlah.
“Maaf, seharusnya aku membiarkanmu memanah.” Pencahayaan minim membuat pandangan Sam kurang baik. Ditambah dia bukan ahli panah.
“Lupakan. Mereka pasti terkejut dengan suara tembakan. Sebaiknya kita menemui mereka.” Austin pergi.
...***...
20 April—Pukul 00.05
Benar saja, semua orang cemas sekaligus ketakutan. Luna dan Alice berusaha menenangkan mereka.
“Di mana suamiku?” tanya Sandra.
“Ya, benar. Di mana paman?” imbuh Jane.
“Austin dan Sam juga tidak di sini,” sambung Erland. Dirinya tengah menimang Alycia yang menangis karena terkejut suara tembakan.
“Sesuatu mungkin terjadi pada mereka, Kita harus segera melihatnya," tutur Maddy.
"Tidak, tidak boleh keluar dari ruangan ini," cegat Alice.
“Mereka baik-baik saja, jangan cemas.” Sejujurnya, dalam hati Luna buncah.
"Besar kemungkinan mereka tidak baik-baik saja setelah kepergian Joce," ucap Hank.
"Jangan membahas Joce," pinta Luna.
"Aku telah lama mengenal Joce, aku tau dia orang yang sangat waspada. Tapi si pelaku bisa merebut nyawanya," imbuh Hank.
"Benar! Para dewan saja tidak bisa melawan pelaku. Bagimana dengan kita?" seru Drake.
"Kepergian Joce menyadarkan kita kalau kemampuan dia sehebat itu," imbuh Hugo.
"Stop." Nada bicara Luna baik satu oktaf. "Aku bilang, berhenti membahas Joce."
"Luna." Jasper dan tiga dewan lain kembali ke ruang tamu. “Tenang, semua. Tidak ada yang terjadi."
“Paman, kau baik-baik saja?” tanya Jane. "Tadi ada suara tembakan."
“Ya, kami semua baik-baik saja. Suara tembakan itu hanya kebetulan. Jadi, tidurlah.”
"Apa kita terjebak masalah besar? Sam menjanjikan kita pulang dalam waktu sehari. Sekarang sudah lewat 2 hari," ucap Maddy.
Sam menghela napas. "Aku sungguh minta maaf. Tapi aku pasti menepati janjiku. Kita akan pulang, berikan kami waktu beberapa saat."
"Kami sedang mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Jadi, tidurlah kembali. Jangan ada yang keluar dari ruangan ini."
Pada akhirnya penduduk berbaring di ranjang masing-masing. Luna bergabung dengan para petinggi. “Apa yang terjadi?” bisiknya.
“Kita mendapatkan bunga poppy, tapi gagal dengan musang,” ucap Wesley.
“Lalu, bagaimana? Waktu kita sampai pukul 4 pagi.”
“Cara terakhir.” Jasper menghirup napas dalam. “Wesley, kau yang berjaga. Cara ini tidak cocok untukmu.”
...***...
20 April—Pukul 04.13
Dengan direndam dua liter darah, lima tangkai bunga poppy putih akhirnya berubah menjadi poppy merah. Jasper meminta Sam mengambil darah dari petinggi Chaderia—tentu selain Wesley.
Ambil bungamu, brengsek!
Austin menulis kalimat tersebut di kain putih besar menggunakan pilox. Kemudian, digantung di rooftop.
“Persetan kau,” gumam Austin.
To be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments