Sebelum mencapai ke puncak acara pukul pinata harimau, para peserta wajib melewati 3 tahap memukul pinata air. Di tahap pertama, sepuluh dari dua puluh orang yang akan lolos. Tahap ke dua menjadi 5 orang. Tahap ke tiga menjadi 2 orang. Terakhir babak final, head to head antardua orang tersebut. Tentu semua tahapan dilaksanakan dengan tantangan mata tertutup.
Alun-alun kota dipenuhi sorakan penduduk yang mendukung jagoan masing-masing. Mereka tertawa menyaksikan tingkah konyol peserta. Ada yang tak sengaja memecahkan pinata air ke kepalanya sendiri, berjalan sampai keluar dari area lomba, terpeleset karena tanah licin, dan lain-lain.
“Lihat putramu, Jasper. Dia tampak begitu bersemangat,” ucap Luna dari baris penonton.
Jasper tersenyum. “Begitupun putrimu.”
“Waktu tersisa tiga puluh detik lagi! Sepuluh orang dengan pukulan pinata terbanyak akan lolos ke babak selanjutnya!” Erland, si MC acara berteriak menyemangati peserta.
“Semangat Ruby! Kau pasti bisa!” Di samping Jasper, Jane mendukung sahabatnya.
“Jane, kenapa kau tak ikut bermain?” tanya Jasper.
“Aku tak berminat. Lagipula jika Ruby menang, dia pasti akan membagikan sebagian hadiahnya untukku. Benar, kan, Luna?”
Luna mengangguk sembari tersenyum. Jane merupakan sahabat kesayangan putrinya. Luna sangat tahu itu.
“Tiga! Dua! Satu! Pritt….” Peluit berbunyi menandakan waktu telah usai.
Erland menghitung pinata yang dipecahkan masing-masing peserta. Sesuai dugaan, peserta paling semangat alias Glenn berhasil meraih jumlah terbanyak.
“Yuhu! Aku menang! Hore!” Glenn berlari menghampiri sang ayah dan Jane.
“Jangan terlalu bersemangat, ini baru babak pertama.” Dari belakang, Ruby menyusul.
“Aku akan mengalahkanmu di babak selanjutnya.”
“Aku akan mengalahkan kalian berdua di babak selanjutnya.” Stewart datang dengan kepala basah kuyup.
“Lihatlah dirimu, bung. Di babak pertama saja kau sudah basah kuyup seperti ini,” ledek Glenn.
Stewart memutar bola mata malas. “Pak, apa kau menyukai es krimku?”
“Sangat,” balas Jasper.
“Kalau begitu, bisakah kau menjadikan aku sebagai pemenang? Aku berjanji akan memberikan berapa pun es krim yang kau mau.”
“Hey! Hey! Jangan bermain curang dengan menyogok ayahku!” protes Glenn.
Jasper tertawa. “Aku ingin sekali seperti itu. Tapi sayang bukan aku yang menentukan pemenang.”
“Berhati-hatilah, kalian bertiga. Sam dan Patrick adalah lawan yang sulit,” peringat Luna.
“Babak ke dua akan dimulai lima menit lagi. Peserta yang lolos silahkan menyiapkan diri.”
Glenn, Ruby, dan Stewart kembali ke tengah alun-alun setelah pemberitahuan Erland. Ruby menoleh ke belakang, sudut bibirnya terangkat kala melihat Jane menyemangatinya.
...***...
Dengan ekspresi nanar, Ruby berbaur dengan penonton lomba. Dirinya kalah di babak empat. Seperti kata sang ibu, Sam dan Patrick memang lawan yang sulit. Namun, Glenn sukses menyingkirkan salah satunya. Kini adalah babak final. Pertarungan antara Glenn vs Sam.
“Jangan sedih, kau tak kalah sendirian.” Stewart berusaha menghibur. Ia pun kalah di babak yang sama dengan Ruby.
“Maaf aku mengecewakanmu, Jane.”
“Tidak sama sekali. Kau sudah berusaha semaksimal mungkin,” ucap Jane.
“Sekarang kita harus mendukung Glenn. Berjaga-jaga bila dia menang, kita harus mendapat paling sedikit dua puluh persen,” ajak Stewart.
Dua peserta terakhir ditaruh di dua sisi berbeda. Tubuh mereka diputar sebanyak 5 kali searah jarum jam. Siapa yang terlebih dahulu memecahkan pinata berbentuk harimau yang berada di tengah-tengah, dialah pemenang.
Prit…
Peluit ditiup. Kedua peserta yang tubuhnya sempoyongan akibat diputar, mencoba mencari jalan dengan memanjangkan sebelah tangan dan meraba-raba sesuatu di depan mereka. Satu tangan yang lain memegang pemukul baseball.
“Kau ingin kuhajar?”
Penonton tertawa, sedangkan Glenn meneguk saliva kasar. Ia sadar sudah mengambil arah yang salah, yaitu ke arah penonton. Terlebih lagi mencapit wajah si galak Austin. Segera ia mengubah mata angin.
“Ayo, Sam! Sedikit lagi!”
“Kau sudah dekat, Sam!”
Mendengar itu, Glenn tak mau kalah. Ia mempercepat langkahnya. Tidak! Jangan sampai ia gugur di tahap terakhir ini.
“Glenn! Kau melewatkannya!”
Petunjuk dari Stewart membuat Glenn memutar tubuhnya. Dengan amat percaya diri, Glenn mengayunkan tongkat baseball-nya ke depan.
DOR!
Glenn cukup terkejut, tak menyangka ledakan pinata akan sekeras ini. Glenn melompat kegirangan dan membuka penutup matanya.
“Hore! Akulah pem—"
DOR! DOR! DOR!
Belum sempat melanjutkan kalimat, suara kencang itu kembali terdengar tanpa henti. Sepersekian detik kemudian, tangan Glenn ditarik oleh seseorang.
“SEMUANYA! KEMBALI KE RUMAH MASING-MASING!” pekik Jasper.
Penduduk berlari berhamburan menghindari hujan peluru. Glenn yang berlari karena diseret Jasper, masih belum memahami situasi.
“Apa yang terjadi, ayah?” tanya Glenn. Ia menoleh Jane yang berlari di sampingnya.
“Ayah tidak tahu.”
DOR!
“Akh!”
“Tidak!” Darah mengalir dari lengan Glenn.
“Tekan lenganmu, Glenn!”
Glenn menekan lengannya. Sangat beruntung, peluru hanya menggores lengan Glenn dan tidak bersarang. Namun goresan cukup dalam.
DOR!
“Jane!” Peluru selanjutnya mendarat nyaris mengenai Jane. Jane tersungkur karena terkejut. Mujur tak tertembak.
“Jane, kau tidak apa-apa?” tanya Jasper panik.
“Tidak apa-apa, paman.” Jane berusaha bangkit, tetapi kakinya terkilir.
Jasper menaruh lengan Jane ke pundaknya, membantu gadis itu berdiri. Beruntung Wesley datang, ia ikut menopang Jane.
“Wesley, kau sendiri? Di mana Sandra?” tanya Jasper.
“Bersama Luna dan Austin,” balasnya. “Biar aku yang urus Jane. Kau cepat bawa Glenn ke rumah.”
“Aku tidak akan meninggalkan kalian berdua.” Jasper melihat kaki Jane. “Kau bisa berjalan, kan? Paman akan menuntunmu.”
“Tidak, paman. Biar aku bersama Wesley. Paman harus segera mengurus luka Glenn.”
“Aku tak apa. Ayo cepat, Jane!” ucap Glenn.
“Kau terluka, Glenn.”
“Paman tak mungkin meninggalkanmu. Ayo, paman menuntunmu!”
“Jasper, lihat kondisi putramu. Dia harus segera mendapat pertolongan pertama. Bawa dia ke rumah dan temui Sam atau Austin.”
DOR! DOR! DOR!
Mereka reflek menunduk. Hujan peluru kian ganas. Telapak tangan Jasper mengepal kuat. Aliran darah Glenn merembes hingga mengubah warna bajunya menjadi merah, di samping itu kondisi semakin buruk. Belasan warga tumbang ke tanah.
“Paman, aku tak apa-apa. Obati Glenn.”
“Wesley, tolong selamatkan Jane. Aku percayakannya padamu."
...***...
Masih dalam keadaan tak percaya. Di tengah kebahagiaan Chaderia, malapetaka ini terjadi. Dari kaca jendela lantai dua, Austin menyaksikan puluhan tubuh tergeletak tak bernyawa di luar. Ia mengerang kecil, mengapa dirinya tak bisa menyelamatkan mereka? Mengapa dirinya tak bisa mencegah hal ini terjadi? Dan yang paling penting, mengapa hal ini bisa terjadi?
Sandra menepuk pundak kanan Austin pelan. “Jangan merasa bersalah seperti itu.”
“Tak perlu menenangkanku bila dirimu sendiri tak merasa tenang.”
Sandra menghela napas. Memang sekarang dirinya cemas tak karuan. Ia tak tahu di mana keberadaan suaminya. Terus terang, Sandra cukup menyesal membiarkan Wesley pergi sendirian untuk menyelamatkan Jane.
“Percayalah, Sandra. Wesley tak apa,” ucap Jasper.
“Seharusnya tadi aku ikut bersamanya,” kata Sandra.
“Kau sudah benar di sini bersama kami.”
Tiga petinggi Chaderia: Jasper, Austin, dan Luna, Alice sang asisten walikota, beserta 8 warga sipil: Glenn, Ruby, Erland, Sandra, Hugo, Drake, Maddy, dan Patrick. Mereka terjebak di rumah sang walikota Jasper. Sementara situasi di luar masih darurat, beberapa kali terdengar suara tembakan.
“Bagaimana lukamu, Glenn?” Luna duduk di dekat Glenn.
“Austin mengobatiku dengan baik.” Sebagai mantan Angkatan Militer, Austin tentu mempelajari langkah pertolongan pertama pada luka tembak. Di sisi lain, keberadaan sang dokter—Sam—tidak diketahui.
“Halo? Apa ada yang bisa mendengarku?”
Terhitung lima belas menit berlalu sejak Alice mengutak-atik protofon komunikasi.
“Halo? Aku Alice dari Chaderia, apa ada orang?”
“Siapapun, tolong jawab aku.” Alice mendesah. “Percuma, radio tidak berfungsi.”
Entah kebetulan atau bagimana, hal yang sama terjadi pada telepon.
“Jangan bilang ini perbuatan si pelaku,” duga Glenn.
“Kita belum tahu,” balas Jasper.
“Ibu, apakah yang lain baik-baik saja? Apa Jane baik-baik saja?” Ruby buncah.
Luna membelai kepala putrinya. “Mereka akan baik-baik saja, sayang. Tenanglah.”
“Erland, mau ke mana kau?” Jasper menghalangi Erland yang hendak keluar.
“Aku terpisah dengan istri dan putriku. Aku harus segera mencari mereka.”
“Tidak. Kau tak boleh ke mana-mana,” cegah Jasper.
“Maaf, walikota. Untuk kali ini, aku tidak bisa mendengarkanmu. Istri dan putriku mungkin saja dalam bahaya, mereka butuh aku.”
“Istri dan putrimu akan selamat. Aku yakin Wesley atau yang lain pasti melindungi mereka.”
“Bagaimana kau seyakin itu, pak? Bagaimana jika mereka sedang sendirian? Atau salah satu dari mereka tertembak seperti putramu?!”
Jasper diam. Menyadari dirinya tak sengaja menghardik Jasper, Erland menghela napas. “Aku tak berniat membentakmu. Aku hanya takut.”
“Aku tahu.” Jasper mengusap punggung Erland. “Aku berjanji. Istri dan anakmu akan selamat.”
...***...
“Kau merasa lebih baik?”
“Iya. Terima kasih, Sam,” balas Jane.
Sam menyerahkan kotak P3K kepada si pemilik rumah. Di tengah Wesley membopong Jane, Sam datang membantu. Kemudian mereka segera masuk ke rumah terdekat, yaitu rumah Joce. Dan ternyata, Joce, Stewart, Anna, Alycia, Hank, dan Belinda pun ada di sini.
“Sayang, jangan menangis.” Anna menimang putrinya. Sejak tadi Alycia tak berhenti menangis.
“Anak manis, apa kau lapar? Mau kubuatkan susu?” Joce mengusap kepala Alycia.
“Tidak, dia butuh ayahnya,” ujar Anna. “Bila saja aku tak melepas genggaman Erland karena terkejut akan suara tembakan, kami pasti masih bersama.”
Air mata Anna mengalir. “Aku bahkan tak tahu di mana Erland saat ini.”
“Tenangkan dirimu. Tangisanmu akan membuat Alycia tambah takut,” nasihat Wesley.
“Aku tadi melihat Erland berlari ke arah rumah walikota. Mungkin saja dia dan warga lain bersembunyi di sana.”
Mendengar kalimat Stewart, harapan Anna menggebu. “Apa kau yakin? Apa itu benar-benar Erland?”
“Penglihatanku cukup baik untuk memastikan itu, Anna.”
“Telepon saja ke paman, lalu kita segera ke sana. Glenn terluka dan dia butuh Sam,” ujar Jane.
“Kurasa Glenn sudah diobati oleh Austin.”
“Bagimana kau tahu ada Austin, Sam?” tanya Jane.
“Pria pemarah takkan mati semudah itu. Jika dia tidak di sini, pasti di sana.” Sam membuka tirai jendela. “Untuk telepon…, kurasa kita tak bisa menggunakannya.”
“Oh, tidak….” Anna memandang nanar Menara pancaran signal protofon dan jaringan telepon—tepat berada di belakang rumah Joce—yang hancur berantakan. Seolah memang sengaja dirusak oleh pelaku agar mereka tak memiliki akses menghubungi pihak luar.
“Berarti, yang harus kita lakukan sekarang adalah pergi ke rumah walikota dengan selamat,” ucap Wesley.
To be continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Vya Kim
mulai tegang nih
2023-07-02
0