Menantu sampah yang berharga

Nuraeni bersandar di bantalnya dalam posisi miring sambil memperhatikan laki-laki penuh tattoo yang sedang membaca ayat suci melalui ponselnya. Laki-laki itu juga sedang dalam perawatan seperti dirinya. Sesekali laki-laki itu melirik Nuraeni tapi memutuskan untuk kembali fokus ke baca’annya. Tangannya yang digunakan untuk menekan tombol masih dibalut selang infus dan area pahanya masih diperban. Dua peluru tadinya bersarang di sana, lainnya bersarang di area punggungnya.

Suatu keajaiban Baron bisa sadar setelah kehilangan banyak darah. Apalagi 5 timah panas yang berhasil dikeluarkan dari tubuhnya secara ajaib tidak mengenai area vital.

Laki-laki berusia 33 tahun itu akhirnya tidak tahan lagi dan kini menghadap ke arah Nuraeni, “Bisa dibantu ibunda-nya Saputra?” desisnya kesal.

“Saya nggak butuh bantuan apa-apa, kan saya cuma lagi ngeliatin aja,” Nuraeni menyeringai lebar.

“Yakin?”

“Yakin,”

“Nggak boleh tanya-tanya tentang saya ya,”

“Nggak boleh ya?” seringai Nuraeni semakin lebar.

Baron mengerang kesal. “Ibu dan anak sama aja jahilnya,” gumam Baron. “Saya nggak pernah ikut-ikutan mukulin Putra ya, tuh si Artemis yang kayaknya ada dendam kesumat,”

“Si Putra nggak bakalan tumbang dipukulin bocil kayak Temmy, jam terbang dibully-nya lebih banyakan si Putra,”

Gantian Baron yang terkekeh geli, “Benar juga sih,”

“Jadi, ada cerita apa di balik tatto kamu? Seluruh badan ya?”

“Iya,”

“Sampai ke area privat?”

“Iya,”

“Nggak sakit?”

“Waktu itu lagi mabok, jadi nggak ngerasain sakitnya,”

“Kan nggak mungkin kamu bikin semua sekaligus dong,”

“Dulu, setiap hari saya mabok,” desis Baron sambil mematikan ponselnya, “Dan setiap hari saya bikin tatto mengenai hal-hal yang terjadi hari itu. Emak-emak satu nih bawel banget sih,” omelnya.

“Dari kecil kamu sudah muslim nih?”

“Sejak dipenjara saya mulai merasa ada Tuhan di sekitar kita,”

“Ooooh,”

“Sejak dapat hidayah itu, saya berhenti melukis diri,”

“Tapi kerjanya sama Damaskus. Kriminal-kriminal juga dong,”

“Kalau masalah menganiaya saya cenderung menyerahkan ke Artemis. Saya bagian yang berhubungan dengan legalitas dan pengawalan saja, hehe,”

“Legalitas? Kamu pernah sekolah hukum ya?”

Baron mengangguk, “Pernah, saya ambil double degree di Jerman. Sebelum dipenjara,”

“Kasus apa kamu sampai dipenjara?”

“Pembunuhan,”

“Hm...”

“Hm,”

“Mau cerita detailnya ke saya?”

“Nggak, udah diceritain Author di novel ‘The Big Boss For a Countess’. Bu Nur baca aja sendiri, tinggal donlot Noveltoon,”

“Udah baca sih tapi kan saya pingin dengar cerita detailnya dari mulut kamu sendiri,”

“Allāhu lā ilāha illā huw\, al-ḥayyul-qayyụm\, Lā ta`khużuhụ sinatuw wa lā na`ụm...”

“Ih, saya bukan setan!” sungut Nuraeni sambil menimpuk Baron pake bantal. Baron hanya terkekeh sambil berkelit.

Semakin lama ia menyadari kalau sosok wanita di sebelahnya ini lumayan menarik sebenarnya. Nuraeni teman bicara yang menyenangkan. Dia juga supel dan ramah. Dan matanya yang berbinar-binar itu sulit ditolak kalau ada maunya. Hari ini dia minta puding milik Baron, dia tukar dengan susu kedelai. Baron tidak terlalu suka susu tapi ia dipaksa minum karena kata Nuraeni olahan kedelai bisa membantu proses penyembuhan lukanya. Entah apakah itu benar tapi Baron akhirnya minum dua gelas susu kedelai.

Dan ternyata rasanya tidak seburuk itu kalau dikonsumsi dengan mendengarkan banyolan dari Nuraeni mengenai perjalanan hidupnya.

“Bu, kamu kan masih muda, masih kepala 4 kan? Nggak mau cari suami?” tanya Baron kemudian. Masalah Nuraeni tidak seperti ibu-ibu yang dikenalnya. Kulitnya masih kencang dan wajahnya sangat cantik.

“Aku nyari suami dengan pengalaman cinta mengenaskan kayak gini? Mikir dua kali,”

“Yah kan nggak semua pria itu sama loh,”

“Bukan masalah manusianya, tapi masalah trauma cinta-cintaannya. Apalagi aku kan udah nggak bisa punya anak lagi. Sejak melahirkan Putra, rahimku sekalian diangkat soalnya komplikasi,”

Baron mengangguk-angguk. Lalu ia tersenyum misterius.

“Napa senyum-senyum? Mencurigakan,” sungut Nuraeni sambil mengelus kedua lengannya yang merinding.

“Senyum aja nggak boleh, bawel si emak nih!” gerutu Baron.

**

“Hey,” Nadine menyapa Saputra dari pinggir ranjang. Wanita 24 tahun itu tampak tersenyum nanar ke arah suaminya yang baru bangun karena pengaruh obat tidurnya. Putra hanya memandang Nadine dengan rasa sesalnya. Ia memang tidak terlalu mengenal Ali, hanya tahu sekilas saja. Tapi Putra bisa membayangkan posisi Nadine dan Damaskus yang kehilangan keluarganya sendiri.

Putra pun tidak sanggup membayangkan apabila ibunya kenapa-napa. Apalagi Damaskus yang harus kehilangan seorang anak.

Kamar Putra memang dibuat terpisah dari kamar Nuraeni, karena memakai referensi dari Eterny.

Dengan perasaan sedih, Putra menghapus air mata yang menetes di pipi Nadine.

“Non, dengar...” gumam Saputra, “Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Kami sudah memikirkan kemungkinan terburuknya,”

“Kami?”

“Aku, Artemis, dan ketiga temanku dari Eterny,” jelas Saputra.

“Ah... ya,” gumam Nadine.

“Aku merasa harus sesegera mungkin memberitahu ayahmu sejak kami mendengar Widiyanti berusaha menyerang ayah kamu,”

“Hm,” Nadine saat itu dalam posisi tertekan. Ia benar-benar tidak sanggup ke mana-mana lagi.

Saat merasa seperti itu, di saat malam hari, yang ia ingat hanyalah pelukan Saputra yang hangat yang ia terima di rumah sakit kala itu. Terus terang saja, Nadine tidak pernah mendapatkan banyak kasih sayang. Ia bahkan tidak ingat bagaimana rasa seorang ‘ibu’. Saat merasa galau ia beralih ke minuman keras untuk melupakan semuanya.

Ia tidak tahu harus ke mana lagi.

Sebagai seorang wanita, ada banyak hal yang tidak bisa ditanganinya sendirian dalam hidup. Karena itu ia cenderung tergoda untuk mendapatkan sepercik kata ‘cinta’. Di antaranya dari Anthony Ega, suami Widiyanti.

“Put... entah apa jadinya aku saat ini,” isak Nadine.

“Sekarang, kamu punya aku, sebagai sahabat, sebagai teman. Kamu bisa mencurahkan semuanya padaku,”

“Aku bingung,”

“Juga... satu lagi, aku sepertinya akan membatalkan pernikahan kita,”

Nadine mengangkat kepalanya dan membesarkan matanya, “Kenapa?!”

Putra menunduk dan menarik nafas panjang, lalu tersenyum dan menatap Nadine.

“Aku sudah berikrar dari sejak aku menyetujui kontrak pernikahan. Kalau seandainya, suatu saat nanti, aku mulai mencintai kamu... aku akan memulainya dengan cara yang baik,”

Pemuda itu mengelus pipi Nadine. Kelembutan kulitnya terasa bagaikan kain sutra yang dijalin dengan seksama.

“Banyak perdebatan dalam agamaku, mengenai boleh-tidaknya menikahi wanita yang sedang hamil anak orang lain. Ada mazhab yang bilang boleh dan ada yang bilang tidak. Setelah menimbang-nimbang, sebaiknya aku menikahi kamu secara Sah setelah anak kita lahir,”

“Anak kita?”

“Ya kan aku bapak tirinya, hehehehe,”

Pipi Nadine perlahan merah merona, lalu ia memalingkan wajahnya, “Kamu jatuh cinta padaku?”

“Siapa yang tidak akan jatuh cinta padamu? Kamu cantik begini, baik pula. Mau saja kamu membayari biaya rumah sakit ibuku,” desis Putra. “Kalau pernikahan kita batal, kuharap aku bisa mengembalikannya dengan cara dicicil,”

“Tidak usah dikembalikan, kamu sudah berkorban untuk ayahku,” desis Nadine.

“Tuh kan, pria mana yang tidak akan terpikat padamu, sampai sekelas Anthony Ega saja bungkam,”

Nadine tersenyum malu-malu, “Aku tidak benar-benar jatuh cinta padanya,”

“Bagaimana kalau padaku?” tanya Putra

Nadine melirik Putra lalu berdehem. “Memang apa yang kamu punya sampai percaya diri sekali aku akan mencintaimu juga?”

Putra mencondongkan tubuhnya mendekatkan wajahnya ke arah Nadine.

Tapi pemuda itu hanya diam, ia berhenti di sana dalam posisi itu sambil menatap Nadine.

Namun, pandangannya menyiratkan banyak hal.

Saputra Roganvaldar sedang menunggu Nadine. Inisiatif dari wanita itulah yang ia tunggu.

Gerakan dari Nadine akan membuka jalannya untuk maju ke depan, dan memantapkan hatinya terhadap rencana-rencana selanjutnya.

Dan saat itulah Nadine mendekat.

Tersenyum begitu lembut.

Dan mencium bibir Putra.

Ciuman ringan yang manis, dengan segala penyerahan dirinya. Tidak ada nafsu di sana, hanya keikhlasan.

Temponya pun hanya sebentar, namun perasaan yang tertinggal di kulit masing-masing terasa sangat nyata dan berbekas.

“Ini pertama kalinya aku dicium cewek di bibir,” gumam Saputra.

“Hem, makasih ya. Sudah merelakan saat pertama-mu padaku,” Nadine, dengan wajah masih merona, menunduk. Seumur hidupnya baru kali ini ia malu tak terkendali gara-gara mencium bibir laki-laki, padahal ia sering berhubungan dengan banyak pria.

Hidup dengan hedonisme dan gemerlap dunia bukan hal asing baginya. Namun mendapatkan kasih sayang semurni ini adalah hal yang berbeda dalam hidupnya. Ia tidak biasa mengalaminya.

“Ternyata rasanya enak ya, hehe,” sambung Putra.

“Kamu akan sering mendapatkan itu dariku mulai sekarang,” Kata Nadine.

“Boleh sekali lagi?” tanya Saputra sambil mendekat.

“Hem,” Nadine hanya bergumam sambil mencium Putra lagi.

Lalu sekali lagi.

Dan sekali lagi.

Nyatanya tidak cukup hanya sekali-kali. Saat seterusnya mereka sudah berpang gut lidah.

CKLEKK!!

Pintu kamar Putra dibuka, dan Damaskus masuk ke dalam, “Sudah belum cinta-cintaannya? Saya mau bicara dengan si menantu sampah!” suaranya yang menggeram terdengar sangat kesal.

Terpopuler

Comments

May Keisya

May Keisya

ini panggilan kesayangan kah😂

2024-01-26

0

ZQ

ZQ

hahahaaaaa anjaaay

2023-06-23

0

Ersa

Ersa

masak iya Baron jd bpk tirinya Putra

2023-06-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!