Ayah Mertua Diculik

BYURR!!

Saputra terbangun sambil megap-megap karena merasa kaget saat seember air diguyur ke arahnya yang sedang tertidur lelap.

Sambil mengusap wajahnya, ia melihat Artemis dan Ivander, dua anak buah ayah mertuanya, menatapnya dengan sinis.

"Bangun, bocah… Kita mau siap-siap kawal Boss ke tambang,"

"Lo kagak kasih tau gue kemarin,"

"Ya emang sengaja,masa menantunya sendiri nggak tau jadwal,"

"Emang lo tahu hari ini nyokap lo beli sayur di pasar yang mana?"

"Tau, di alam kubur," desis Artemis sinis sambil memicingkan mata lalu berbalik ke arah pintu keluar kamar Saputra. "Nyokap gue udah meninggal,"

Saputra dan Ivander saling menatap, lalu mencebik masam karena tak enak hati.

"Betewe, gue cukup curiga sih kenapa lo tidur di kamar terpisah dari bini lo," desis Ivander sambil memperbaiki letak kacamata di hidungnya. Tatto serigala yang menyeringai menghiasi sepanjang lengannya yang terangkat ke hidung.

"Betewe, itu bukan urusan lo," balas Saputra sambil menyeringai.

Ivander mencebik sambil mengangguk sekilas. "Jangan takabur lo, mentang-mentang udah berhasil hamilin anak konglomerat. Kita usahakan sebelum itu anak lahir ke dunia, lo udah nggak ada,"

"Hooo, khehehehehhe, jadi ke tambang nih ceritanya buat ngubur mayat gue, gitu?"

"Belum saatnya lo mati. Justru lo harus ikut ke tambang buat identifikasi pencuri batu di sana,"

"Eh?"

"Cepetan siap-siap, dalam dua jam kita harus sampai di Lampung," kata Ivander, "Kita berangkat duluan, Boss mau ngurusin kerjaan dulu di Jakarta,"

**

Tambang itu gersang dan panas. Dengan pemandangan di kejauhan terhampar hutan sawit milik salah satu pengusaha yang kini menjabat sebagai menteri di kabinet.

"Roto…" desis Putra sambil menarik nafas panjang saat melihat seseorang yang ia kenal duduk di pasir putih di bawah, dalam keadaan babak belur dan membengkak.

Roto, rekan satu lapasnya yang bebas lebih dulu.

"Kenal beneran jadi ya lo," desis Artemis sambil membebat tangannya dengan velcro. Itu kerap ia lakukan saat akan memukuli seseorang, untuk melindungi tulang-tulangnya dan meminimalisir cedera terkilir pada saat memukul. Biasanya penggelut martial arts menyebut teknik membalut ini dengan hand wrap.

"Satu lapas, dia suka ngomporin yang lain buat mukulin gue nih, wekekekekek," jawab Saputra.

"Jangan cekikikan terus, kampret," gumam Artemis sebal. "Nih cecunguk ketangkep waktu mau melarikan satu truk penuh gamping,"

"Masih aja lo kerja beginian To," Putra berlutut untuk mengamati Roto yang hanya bisa terduduk lemas.

"To-to-tolong gue Put… Tolong…" terdengar suara lemah Roto.

"Inget nggak, dulu lo suka ngencingin gue waktu gue tidur? Lo suka ngambil makanan gue, terus ngelempar batu ke kepala gue?" desis Putra. Disertai dengan kekehan Artemis.

"Sekarang lo berharap gue tolong? Imbalan buat gue apa dong? hihihihi,"

Roto mendengus menanggapi Putra. Tawa cekikikan Putra yang khas membuatnya teringat masa lalu yang mengerikan. Semakin dipukuli, dijahili, semakin keras tawanya.

Tanpa semua orang tahu kalau sebenarnya Putra sedang menangis kesakitan.

Roto baru mengetahui hal itu saat minggu terakhir masa tahanannya. Ia mengikat Putra di kursi dan menempelkan setrum ke jempol kakinya, putra kelojotan sampai ngompol, tapi tetap tertawa-tawa. Pemandangan yang sangat mengerikan membuat semuanya mundur ketakutan karena tawa itu mengindikasikan kalau Putra adalah manusia yang kuat.

Tapi air mata yang keluar dari kelopak Putra, membuat Roto berpikir… Kalau saat itu Putra sebenarnya sedang tersiksa.

Tawa itu sebenarnya adalah sebuah tangisan.

"Dia bungkam dari tadi," kata Artemis sambil mengepalkan tangannya untuk menguji kekuatan pembebat tangannya. "Kami butuh nama,"

"Gu-gue kasih lo nama, sebagai permohonan maaf gue pas di lapas," desis Roto.

Artemis dan Ivander sampai mengangkat alisnya.

Semudah itu membuat cecunguk seperti Roto ini bicara, padahal mereka sudah menyiksa orang ini seminggu, dan ia tetap bungkam! Setelah bertemu Saputra, Roto bahkan menawarkan diri!

"Habis itu… Tolong lo bebasin gue," bisik Roto pelan sambil terengah karena tenggorokannya sangat kering.

"Siapa?" tanya Saputra.

"Widiyanti Ega," desis Roto.

"Ngibul banget lo!" ujar Artemis kesal. "Widiyanti Ega itu yang sering bantuin Big Boss buat sampai ke tahap sekarang!"

"Dia tidak suka Damaskus berhasil, karena Damaskus semakin sombong dengan kedudukannya. Itu akan mengancam Widiyanti untuk berkuasa,"

Semua diam mendengar penjelasan Roto.

"Damaskus sudah tahu terlalu banyak Kartu AS Widiyanti. Yang seperti itu berbahaya…"

"Itu belum menjelaskan kenapa lo di sini,"

"Tujuan gue di sini sebenarnya bukan untuk mencuri gamping, gue kasih tau karena gue berhutang maaf ke Putra," kekeh Roto.

"Jadi, kenapa lo ke sini?"

"Pengalihan,"

"Hah?"

"Gue pengalih perhatian. Sengaja ketangkep biar Artemis ke sini, dengan demikian Damaskus di Jakarta minim penjagaan. Anak buah terhebatnya tidak akan bisa melindungi Big Boss yang… Bisa jadi sekarang lagi digarap sama rekan-rekan gue, kheheheheh!"

DORR!!

Letusan melubangi pelipis Roto. Pria yang sudah babak belur itu terjatuh ke tanah dengan darah tergenang.

Saputra menatap Artemis yang masih menggenggam Tokalev-nya.

"Sulit dipercaya," gerutu Artemis sambil menelpon rekan yang lain di Jakarta.

"Griffin nggak angkat telpon," desis Ivander.

"Baron juga nggak angkat!" seru Artemis sambil bolak-balik karena panik.

Sementara, Saputra menghubungi istrinya.

"Put! Putra! Ayah katanya diserang di jalan! Dia diculik!! Griffin dan Baron ditembakin sekarang lagi diangkut ke ICU!" jerit Nadine di panggilan pertama.

Artemis langsung merebut ponsel Putra, "Nad, siapa aja yang luka? Ada saksi mata nggak?!"

"Tem! Gue dalam perjalanan ke RS! Tapi mobil bokap sampe kebakar di jalan! Itu berarti diserang habis-habisan!"

"Ali gimana?"

"Kakak kena tembak di dada! Lagi dioperasi kayaknya! Cepet lo balik Tem!!" seru Nadine.

"Anj1ng!!" seru Artemis kesal sambil mengembalikan ponsel Putra, "Van, telepon pilot tambang, kita naik heli aja balik ke Jakarta! Gue hubungin ATC buat izin terbang darurat!"

**

Jakarta, satu jam setelahnya.

Heli mereka turun tepat di atas atap rumah sakit.

Dengan gugup Putra memasuki gedung menuju area rawat tempat Ali dan teman-temannya ditangani. Keadaan lumayan ramai saat itu.

Masalahnya rumah sakit ini adalah juga tempat ibunya dirawat.

Tapi demi ketenangan semua, Putra memutuskan untuk tidak memberitahukan kalau di sini terbaring lemah ibunya pasca operasi kandung kemih, yang mana belum sempat dijenguk Putra.

ICU ramai anak buah Damaskus. Tapi tanpa pria tua itu. Mertuanya sedang dalam pencarian.

Tampak Nadine duduk di salah satu sofa ruang tunggu sambil menggigit-gigit kuku jemarinya tanda gugupnya wanita itu.

Griffin berdiri dengan gips di tangannya, luka di pelipis dan rahangnya, menyambut Artemis, Ivander dan Putra dengan tegang.

"Apa yang terjadi?" tanya Artemis

Griffin menggelengkan kepalanya, "Kejadiannya cepet banget bro,”

“Ya gimana? Kenapa bisa diserang? Lo bawa berapa orang buat ngawal?”

Saat mereka heboh-heboh itu, Putra merasa ada celah untuk dia minggir sebentar. Lalu diam-diam naik ke lantai atas lewat tangga darurat.

Saat menyusuri anak tangga, ia pelan-pelan berpikir mengenai semua yang terjadi. Ia sering mendengar nama Widiyanti Ega ini dari teman-temannya di Lapas. Juga dari beberapa napi Tipikor yang memang diumpankan untuk dipenjara agar menutupi kesalahan ‘Si Tikus’. Yang sering jadi antek pejabat korup dan memasukkan mereka ke lapas ada dua nama... Damaskus Prabasampurna, dan Widiyanti Ega. Dengan iming-iming keluarga si terdakwa selamat dan anak-istri dijamin kebutuhannya sampai bebas.

Bagi mereka, kehilangan harga diri di penjara dan menghadapi cercaan dari masyarakat masih lebih baik dari pada kehilangan nyawa orang-orang terkasih karena kasus korupsi yang terlampau besar.

Bagi Putra, kedua nama itu tidak penting baginya, walau pun salah satunya adalah Ayah Mertuanya sendiri. Permasalahan mereka bukan permasalahannya. Urusan ibunya jauh lebih penting baginya. Ia mau diperlakukan begini juga karena urusan ibunya.

“Bu?” Putra membuka tirai pembatas tempat kasur ibunya dirawat.

Nuraeni sedang duduk tenang smabil menonton drakor lewat ponsel.

“Lah! Nak! Sini-sini!” Nuraeni mengulurkantangannya untuk meraih Putranya itu dan memeluknya.

Putra terisak di pelukan ibunya. Hal yang biasa dilakukannya sejak dulu. Seakan semua tumpah saat ia melihat ibunya. Segala keluhan, segala kemarahan, segala kekecewaan, semuanya menghambur jadi air mata.

Bukan tawa.

Di hadapan ibunya, entah bagaimana, reaksi tubuhnya berbeda. Bagaikan anak kecil merengek. Bukan sok kuat seperti yang selama ini terjadi.

Terpopuler

Comments

May Keisya

May Keisya

ikut nangis aku😭

2024-01-26

0

Vien

Vien

🥲 yaa ampun othor, bisa banget bikin sedih gini....

2023-06-21

2

༄༅⃟𝐐✰͜͡w⃠🆃🅸🆃🅾ᵉᶜ✿☂⃝⃞⃟ᶜᶠ𓆊

༄༅⃟𝐐✰͜͡w⃠🆃🅸🆃🅾ᵉᶜ✿☂⃝⃞⃟ᶜᶠ𓆊

putra didepan ibunya bisa jadi diri sendiri

2023-05-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!