Artemis VS Benedict

“Tem, kita kalah jumlah, bro,” desis Ivander sambil menatap layar laptopnya. Para anak buahnya sudah dikerahkan menuju ke lokasi yang kira-kira jadi tempat penyekapan dan mengendap-ngendap untuk melaporkan situasi kejadian mengenakan ponsel masing-masing.

Di sana ada sebuah bangunan SD, dan beberapa dari mereka menyamar sebagai pedagang asongan. Lewat ponselnya mereka memberitahukan banyak informasi ke Artemis dan Ivander.

Griffin hanya bisa duduk termangu duduk di sofa ruang tunggu rumah sakit sambil mengernyit menahan nyeri akibat tertembak dan berusaha mengingat apa saja yang ia lalui di TKP. Sementara Baron belum sadar dari pingsannya.

“Ada sekitar 20 orang di dalam rumah itu, dan beberapa yang menunggu di sepanjang jalanan komplek. Lo lihat ruko di depan tuh rumah? Nah itu basecamp mereka. Pendeteksi panas mengidentifikasi bisa beberapa lusin orang ada di sana. Penduduk sekitar sih bilangnya itu kantor,”

“Jadi kalo kita masuk dengan gini-gini aja, cari mati dong namanya?” dengus Artemis sambil berkacak pinggang.

“Kalo kita kerahkan semua anak buah, bisa-bisa kepala si Boss langsung di-dor, Tem,”

“Errgh! Iya sih,” keluh Artemis. Pria dengan wajah Taiwan-Rusia-Indonesia itu memicingkan mata sambil menatap layar komputer Ivander di depannya. Entah bagaimana ia yang biasanya mampu berpikir logis, kini fokusnya teralihkan. Mungkin juga sebenarnya dia panik karena Bossnya sendiri diculik, Ali dan Baron malah masih koma. Padahal selama ini Artemis sangat bergantung pada Damaskus. Sudah begitu terlalu gegabah kalau ia main serang aja. Yang ada malah masyarakat tak berdosa jadi korban perkelahian antar genk.

Lalu ia teringat seseorang, “Si sinting mana?” yang ia maksud adalah Putra.

“Katanya mau keliling soalnya pusing di kamar melulu,”

“Dia bakalan kabur nggak sih?” tanya Griffin.

“Nggak bakalan, dia terikat-“ dan Artemis pun berhenti. Hampir saja ia keceplosan.

“Terikat?” tanya Ivander.

“Terikat pesona Nadine Prabasampurna. Alias Bucin level Naudzubillah,” Artemis langsung ngeles.

“Masa? Gue punya perasaan aneh loh kepada mereka berdua. SI Sinting itu sikapnya agak cuek kalo sama Nadine. Nadine juga diam aja kalau Sinting lagi kita pukulin. Normalnya dua insan yang saling jatuh cinta, biasanya si Istri bakalan menjaga suami tercintanya mati-matian. Nah ini nggak,” kata Ivander.

“Bawaan hamil kali,” jawab Artemis berusaha tetap tenang. Padahal dalam hati ia mengumpat kesal.

“Memang kalo hamil gitu ya?”

“Hm... tindakannya tergantung masing-masing individu kayaknya,”

“Tergantung gimana?”

“Nggak usah nanya melulu Van, gue lagi pusing! Itu mayat si Roto kita tinggalin di Tambang! Belom gue urusin cuma dikarungin doang!” seru Artemis kesal.

“Oh iya kok gue lupa...” desis Ivander sambil mencebik.

**

Putra kini menelusuri koridor rumah sakit dengan langkah pelan. Ia berjalan menatap lantai sambil berpikir.

Widiyanti Ega...

Nama yang sering ia dengar di Lapas.

Ia tidak menyangka Roto ada hubungannya dengan semua ini. Yang Putra ketahui saat di Lapas, Roto bahkan tidak pernah bergaul dengan napi tipikor. Dan kenapa Widiyanti berbuat demikian kepada Damaskus? Sejauh apa sebenarnya hubungan mereka? Kalau sampai main culik begini sih sudah pasti kasusnya serius.

Apa mungkin... Widiyanti sudah mengetahui mengenai perselingkuhan suaminya dengan Nadine? Mudah-mudahan ini hanya masalah pekerjaan saja.

Dan karena Putra berjalan sambil menunduk, ia tidak melihat di depannya ada orang.

Brukk!!

Putra merasakan bahunya menabrak seseorang yang lewat di depannya.

Lalu ia mengangkat wajahnya berniat minta maaf.

Sesaat mereka saling bertatapan, seorang pria, bule, menengok ke arah Putra sambil memegangi bahunya yang tersenggol tubuh Putra.

Tapi Putra tak jadi minta maaf.

Reflek.

Dia kabur!

"Duke!!" seru si bule, sambil ikutan lari mengejar Putra. "Duke of North- aaargh! Kabur lagiiii!!" serunya sebal sambil berlari.

Bukan, bukan pake bahasa Indonesia. Dia teriak pakai bahasa Inggris tapi otomatis ditranslate sama Tante Author.

Putra berlari menelusuri koridor, lalu berlari ke arah taman, lompat ke luar pagar, dan ia pun sekuat tenaga berlari menyusup ke arah parkiran.

Mau keluar rumah sakit nggak berani karena anggota geng masih di kamar ibunya. Nuraeni masih pura-pura pingsan pula. Masa dia harus meninggalkan ibunya?!

"Duke!!" terdengar teriakan si bule dari kejauhan.

"Siapa sih tu orang? Kenapa gue dikejar-kejar?!" seru Putra sebal.

Tapi lalu… Sebuah pemikiran timbul di otaknya.

"Kenapa gue lari?" tanya Putra ke dirinya sendiri.

"Memang gue salah apa?" tanya Putra lagi.

"Kenapa gue harus takut?" tanya dia kembali ke dirinya sendiri.

Jadi dia pun… Ngerem mendadak.

Kakinya ngedrift di aspal.

Dan itu bule juga berhenti mendadak karena Putra berhenti.

Jadilah tabrakan beruntun.

Gubrakk!!

"Astogepasar…" keluh Putra terkapar di aspal sambil memegangi lututnya yang membentur aspal.

"Piiip poop piip…!" maki si bule, "Kenapa kamu harus ngerem mendadak sih Pangeran Sempruuuul?!"

"Saya ngerem mendadak karena ada bisikan!" sahut Putra pakai bahasa Inggris.

"Ya pake lampu sen tanda bahaya dulu dong biar saya bisa jaga jarak aman!!" umpat si bule.

"Bisikannya, kamu tuh siapaaaaa? Kenapa ngejar sayaaaaa?"

"Kita tuh- martabak saya jadi gepreeeekkk!" seru si bule histeris melihat martabaknya jadi penyet ketimpa badannya sendiri.

"Yah mana itu martabak mahal pula, ngantrinya perjuangan loh sampe bermeter-meter,"

"Nah tuh tau! Sejak kita disuruh Baginda mencari kamu yang ada tiap hari tuh siaaaal melulu bawaannya!"

"Kamu tuh dari mana sih? Kenapa ngejar-ngejar saya?"

"Loh? Saya pikir Pangeran tahu, makanya dirimu lari!"

"Siapa yang kamu sebut Pangeran? Aku?"

"Ya iya lah! Ngeliat ada orang lain di sini nggak?"

"Kamu nih…" dan Putra pun terdiam. Ia ingat cerita ala novel yang barusan diceritakan ibunya, "Dari Ertenit itu yak?"

"Eterny, Pangeraaaan. Kalau eternit mah asbes buat atap rumah!"

"Nah iya itu, dan-"

"Heh, sinting. Lo ngapain ngedeprok di aspal?" Artemis datang dan menghampiri Putra.

Putra dan si bule menoleh ke arah Artemis. Sesaat mereka bertiga berpandangan dengan curiga.

"Lo siapa?" Artemis pun mengambil sebuah tongkat kecil yang terselip di kantong celananya, lalu menekan tombolnya. Tongkat itu memanjang seketika. Di ujung tongkat itu ada sebuah pisau kecil yang tajam.

Artemis mengarahkan pisau itu ke leher si bule.

"Kamu sendiri siapa?" tanya si bule sambil serta-merta mencabut pisau yang terselip di sepanjang lengan-nya.

"Gue nanya duluan, b4ngsat! Etikanya lo jawab dulu!" seru Artemis emosi.

"Duke, dia teman kamu atau musuh kamu?" tanya si bule ke Putra.

"Dua-duanya salah," jawab Putra.

"Jadi bisa saya habisi dong ya,"

"Ya nggak juga,"

Tapi si bule… Yang tak lain dan tak bukan adalah Panglima pasukan keamanan kerajaan The Great Kingdom Of Eterny, Benedict Bryce, keburu menerjang Artemis dengan pisau kristalnya yang tajamnya ngalah-ngalahin silet.

Diserang begitu, Artemis tak tinggal diam, dia juga maju sambil memutar tongkatnya agar pisaunya bisa lebih maksimal menerjang leher Bene.

Bene dengan sigap mengelak dengan lompatan berputar, lalu melayangkan pisaunya menyasar dada Artemis.

Artemis berkelit dan menahan lengan Bene dengan tangannya dan menyikut pinggang Bene dengan lututnya.

Bene terjatuh karena rasa nyeri yang menyerang pinggangnya, tapi dia masih cukup kuat untuk menepis tangan Artemis yang menyasar lehernya.

Artemis pun tersentak ke belakang karena telapak tangan Bene dengan kencang mendorong ulu hatinya, Bene melempar pisaunya ke udara dan menangkapnya kembali setelah posisi gagangnya pas terasa di tangannya.

Di saat yang sama Artemis memutar tongkatnya agar pisau tajamnya kembali menyasar Bene.

Dan mereka pun kembali menyerang satu sama lain.

DESH!!

Bene dan Artemis sama-sama mengernyit. Gerakan mereka terhenti dengan paksa. Kaki mereka tidak dapat maju lagi.

Dan tangan mereka bagai tertahan di udara.

Saputra yang perkasa, sudah ada di tengah-tengah mereka. Dengan kedua tangannya menahan senjata Artemis dan Bene agar tidak berbenturan.

Tampak darah mengalir dari telapak tangannya, karena ketajaman masing-masing senjata.

"Lah… Bego banget sih gue. Reflek khehehehehe," desisnya sambil menyeringai.

"Pangeran!! Astaga kenapa ditahan woooy!!" seru Bene panik.

"Pisau lo jangan dicabut nanti darahnya malah muncr4t!" seru Artemis menahan Bene.

"Lah terus saya harus bagaimana?!" seru Bene.

"Nih bule bego bener sih?! Kita tuh ada di rumah sakit! Cepetan bawa si sinting ke dalam!!"

"Gue nggak papa, serius," Desis Putra sambil dengan santai menarik tangannya dan mengamati lengannya.

Tampak darah mulai mengalir menggenangi aspal.

"Dia itu punya penyakit saraf tidak peka sama rasa sakit! Pokoknya tahu-tahu pingsan kehabisan darah! Begitu yang saya baca di laporan!" seru Bene sambil menyelipkan pisaunya kembali ke sarung yang terselip di balik lengan panjangnya.

"Pantas selama ini dia nggak mempan dipukulin! Ternyata saraf lo emang keganggu! Cepetan kita ke IGD!" seru Artemis sambil mendorong tubuh besar Putra yang mulai limbung ke dalam area gedung rumah sakit.

Terpopuler

Comments

Partiah Yake

Partiah Yake

antara serius dan pengin ngguyu

2023-08-12

0

YK

YK

wkwkwkwk...

2023-06-26

0

Yosi Yosi

Yosi Yosi

🤣🤣🤣🤣🤣🤣

2023-06-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!