Cerita Cinta YUCIA

Cerita Cinta YUCIA

1. Kepergian dan Janji

Delapan Tahun Sebelumnya

Angin menggerakkan dedaunan deretan pohon palm yang tumbuh besar sepanjang taman. Pada saat weekday tak banyak pengunjung yang datang karena mereka sibuk bekerja atau bersekolah. Pada kursi-kursi kayu yang berderet hanya ada satu kursi yang terisi oleh sepasang kekasih yang sedang menikmati angin seraya menikmati secangkir teh hangat. 

“Udaranya yang sangat sejuk, langitnya juga bersih, benar-benar biru. Tapi sayang sekali mungkin ini menjadi yang terakhir untuk kita berdua duduk di sini bersama,” ujar seorang pria dua puluh empat tahunan bernama Yudhatama Sabqi. 

Pria itu memiliki garis wajah tegas, kulit sawo matang, alis tebal dan kedua netra hitam legam. Hidungnya mancung serta senyumnya cukup manis. “Berat, ya, meninggalkan banyak kenangan tapi seseorang memang harus pergi jika ingin sukses meraih impiannya,” lanjutnya. 

Gadis di sampingnya menunduk seraya memegang cup teh dengan kencang. Matanya mulai terasa perih menahan tangis, tetapi ia tak mau menampakkan dirinya yang cengeng di depan pemuda sebelahnya. Gadis itu mendongakkan wajahnya menatap langit, berusaha menahan aliran sungai agar tak jatuh membasahi pipi. 

“Kamu tidak memiliki opsi kedua selain pergi?” tanya Erina, sang gadis berkulit kuning langsat itu. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya agar menghilangkan rasa perih yang menyiksa. “Jika ada opsi lain, kamu bisa mengambilnya. Memang jika ingin sukses selalu ada hal yang dikorbankan, tapi menurutku sangat egois jika kamu mengorbankan hubungan kita juga,” lanjutnya. Gadis itu mulai menatap tanah di bawah dengan pandangan nanar. Dadanya terasa sesak, ingin sekali berlari dan menangis tetapi ia tak mungkin melakukan itu. 

Yudha menggelengkan kepalanya samar. “Tidak bisa, Na. Menjadi tentara adalah cita-citaku. Aku sudah menulisnya di balik pintu sejak usiaku lima tahun. Kamu tentunya tahu apa yang aku rasakan saat ini. Bukan hanya kamu yang kutinggalkan, tapi aku juga akan meninggalkan keluargaku. Itu memang konsekuensi untuk meraih mimpi.” Yudha memberi pengertian. 

Pria itu mendekatkan duduknya, mengusap kepala Erina perlahan. Besok-besok ia tak bisa melakukan ini lagi karena fokusnya bukan hanya pada Erina lagi, tapi pada pelatihan atau tugas yang nanti akan diembannya. Dalam hati, Yudha juga merasa berat meninggalkan Erina, tetapi ia tak mungkin lebih memilih cinta daripada cita-cita. 

“Seperti mimpi buruk,” lirih Erina. 

“Memang, mungkin ini mimpi buruk tapi kita harus terjun ke dalamnya agar bisa menjumpai mimpi yang lebih baik. Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan melupakan kamu dan harusnya kamu juga berjanji padaku untuk setia, agar saat aku kembali nanti kita bisa melangsungkan pernikahan,” tegas Yudha. 

Pria itu menurunkan tangannya dari kepala Erina yang masih menunduk, kemudian ia meraih setangkai mawar yang berada di sampingnya dan menyodorkannya pada Erina yang sekarang mulai terdengar isak tangisnya. Erina meraih mawar yang berada di pangkuannya dengan tangan kanan, sementara lengan tangan kirinya digunakan untuk mengusap air mata dengan cepat. 

Gadis itu gagal menahan tangisnya, padahal ia sudah meneguhkan hati untuk membiarkan Yudha pergi menggapai mimpinya, tetapi Erina yang sudah biasa menghabiskan waktu dengan Yudha tak bisa membayangkan rasa kehilangan dan kesepian yang akan ia dapatkan nanti. 

“Aku minta maaf, Erina, tapi aku berjanji bahwa ini bukanlah akhir.” Yudha mendekatkan tubuhnya dan mulai memeluk gadis itu. 

“Harusnya kamu tidak perlu meminta maaf karena ini memang cita-citamu. Akulah yang seharusnya minta maaf karena tak bisa melepaskanmu. Tapi sekarang aku berharap bisa menerima kenyataan ini, aku tak mau menjadi perempuan yang menggagalkan rencana pacarnya,” lirih Erina dengan suara yang terdengar sedikit tak jelas, tetapi Yudha memahaminya dengan baik. 

Yudha mengangguk-anggukkan kepalanya, ia berjanji akan kembali tak lama lagi dan menikah dengan gadis itu. Impian lain Yudha selain menjadi tentara adalah menikah dengan Erina dan memiliki tiga orang anak darinya. Namun untuk mewujudkan rumah tangga, tentunya ada perjuangan yang harus Yudha lakukan. Ia tak bisa menikah begitu saja tanpa adanya persiapan. 

“Aku senang kalau kamu meridhoi langkahku dan mendukung harapanku. Nah, sekarang kamu mau berjanji kalau kamu mau menungguku sampai aku pulang, ‘kan?” tanya Yudha, kemudian tersenyum memamerkan lesung pipitnya yang dalam. 

Erina mengangguk mantap. “Aku pasti akan menunggu kamu, tapi aku takut jika suatu saat kamu meninggalkan aku dan memilih wanita lain. Lelaki cenderung lebih mudah mencari ganti, jadi aku khawatir jika suatu saat nanti dihadapkan oleh kenyataan yang mengerikan itu.” Kali ini wajah Erina kembali murung, tatapannya tampak kosong. 

Yudha tertawa kecil seraya menggenggam tangan kecil Erina pada tangannya yang kekar. “Tidak semua lelaki seperti itu, jangan samakan aku dengan yang lain. Semua orang memiliki watak yang berbeda, aku janji akan setia padamu dan kembali jika sudah saatnya. Aku tidak akan mencari wanita lain karena hanya kamu yang aku suka,” tegas Yudha meyakinkan Erina. 

Perempuan itu perlahan mengembangkan senyumnya seraya menatap Yudha dengan mata tulusnya. Ia memang mempercayai Yudha sepenuhnya, Erina tahu bahwa Yudha tidak akan berpaling darinya. Erina hanya perlu menjaga kepercayaannya terhadap Yudha dan mereka yakin bahwa di akhir nanti mereka akan menikah dan menemukan kebahagiannya pada satu titik bernama perkawinan. 

“Kamu membuatku yakin, aku akan coba menunggu kamu,” kata Erina akhirnya. 

Yudha tersenyum lagi. “Senang mendengar kamu percaya padaku. Aku akan berusaha dengan baik dan tidak menyia-nyiakan waktu yang ada, aku akan menjalani pelatihan dengan benar, bertugas dengan serius agar aku bisa mengumpulkan uang dan bisa menikahimu secepat yang kita inginkan. Kamu tahu, aku tak bisa menikah denganmu sekarang karena aku belum bisa mencari uang sendiri. Aku tidak mau menikah dengan biaya dari orang tua, jadi aku akan menikah denganmu saat aku sudah benar-benar mapan,” katanya lagi penuh penegasan. 

Sedikit pun Erina tak meragukan perkataan Yudha, ia yakin bahwa pria itu akan mencintainya dan kembali padanya suatu saat nanti. “Kalau begitu, sepertinya aku harus pulang. Aku harus kembali ke rumah karena banyak hal yang harus aku kerjakan,” kata Erina seraya bangkit dari duduknya. Tangan kanannya memegang mawar dan sesekali ia mencium harumnya. 

“Buru-buru sekali,” komentar Yudha yang ikut serta berdiri. 

“Nanti ibuku mencariku jika aku keluar rumah lebih lama,” jawabnya. “Jadi, jam berapa besok kamu pergi? Kalau boleh, aku ikut mengantarkannya.”

Yudha meraih tangan Erina yang kemudian digenggamnya, lantas kedua manusia itu melangkah di atas jalan setapak menuju pintu keluar. 

“Besok pagi sekali. Kamu tak perlu mengantarku, cukup doakan aku saja. Malam cukup mengerikan, jadi lebih baik kamu di rumah. Nanti aku akan menghubungi kamu jika aku sudah akan pergi,” pinta Yudha. 

“Ah begitu, baiklah. Aku akan menunggu telepon dari kamu, Yudha.” 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!