Jangan Pernah Ikut Campur Urusanku

Mendengar suara itu Ciara terperanjat. Ia langsung berdiri, “Marlina, maaf sepertinya aku tidak bisa menemani kamu. Aku masih ada kepentingan lain, jadi nanti aku kabari kamu. Sekarang kamu bisa pulang.” Ciara benar-benar tak enakan, tetapi kemudian ia langsung pergi meninggalkan Marlina yang masih kebingungan di kamar mandi. 

Langkah Ciara cepat menuju pintu samping yang menghubungkannya dengan kolam renang. Gadis itu melihat pintu terbuka, tadi Yudha memang jalan ke arah situ. Segera ia keluar dan melihat Yudha yang sedang berenang di kolam dengan santainya. 

Napas Ciara tersengal-sengal, sementara jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Iya takut terjadi musibah lain pada Yudha, tetapi sekarang ia dapat menghembuskan napasnya dengan lega ketika Yudha terlihat baik-baik saja.

“Mas Yudha,” panggil Ciara dengan lantang. 

Pria itu masih setia berenang dan mulai memunculkan kepalanya di permukaan begitu telah sampai ujung. Tatapan matanya tampak makin tajam, rahang tegasnya membuat Ciara mematung di tepi kolam. Wajahnya yang basah terlihat lebih mempesona di mata Ciara. Pria itu makin terlihat makin tampan saja hingga selalu membuat jantung Ciara repot. 

“Mas Yudha, kamu tidak boleh berenang terlebih dahulu. Kamu masih sakit, nanti tambah sakit, Mas. Lebih baik kamu segera naik ke permukaan. Terlalu lama di dalam sana bisa bikin Mas Yudha demam,” ujar Ciara. 

Ia langsung menghentikan ucapannya ketika menyadari bahwa perkataannya cukup mirip dengan yang sering ia katakan pada Yudha saat anak itu bermain di sungai. Ciara biasanya mengomel agar Yudha cepat naik ke permukaan, dan momen ini mengingatkannya pada saat di mana Ciara mengomeli Yudha yang selalu membantah dirinya.

“Jangan mengaturku,” sentak Yudha. 

“Kamu belum sembuh, Mas. Kamu masih harus istirahat. Apa kamu tidak sayang pada badan kamu sendiri? Kamu harus segera naik ke permukaan sekarang juga,” desak Ciara. 

Perempuan itu kembali masuk, ia melangkah menuju kamar Yudha mengambil handuk dan menyiapkan pakaian ganti milik Yudha yang ia taruh di atas kasur. Setelah itu ia kembali ke kolam seraya membawa handuk untuk Yudha. 

“Ayo naik, aku membawakan handuk untuk Mas Yudha,” bujuk Ciara. 

Yudha berdecak. Entah sampai kapan gadis itu akan selalu memberi pelarangan dan aturan padanya. Ia tak suka dengan sikapnya yang menyebalkan dan kenyataan bahwa gadis itu adalah seseorang yang ikut serta menghancurkan keluarganya. Segera Yudha naik ke permukaan dan mengambil handuk dari tangan Ciara dengan kesal. 

“Dengarkan, aku tidak suka kamu mendekat padaku, aku tidak suka kamu memberikan peraturan padaku. Aku tidak suka caramu mendekatiku. Sampai kapan pun aku tidak akan menganggap kamu sebagai adikku. Bahkan jika nyawaku di ujung tanduk pun, aku tidak akan pernah mau meminta bantuan padamu, Ciara. Kamu menyebalkan dan aku tak suka padamu.” Yudha berkata dengan penuh penekanan, menatap perempuan itu tajam, lalu melemparkan handuk yang belum dipakainya ke dalam kolam. 

Melihat apa yang dilakukan Yudha, Ciara cukup terkejut. Kedua matanya membulat. Gadis itu langsung mengambil handuk yang masih mengapung itu, lantas diperasnya hingga cukup kering. 

Sementara Yudha berjalan meninggalkan kolam dengan raut masam. Ciara langsung menjemur kembali handuk tersebut di besi dekat kolam, setelahnya ia langsung masuk menyusul langkah Yudha yang masuk ke kamarnya. 

“Mas Yudha, aku akan membuatkan kamu teh jahe. Apa kamu mau menunggunya di kamar?” tanya Ciara pada Yudha yang baru saja mengambil bajunya dari atas kasur. 

Senang Ciara melihat Yudha mengenakan baju yang telah disiapkannya. 

Yudha menoleh. “Kamu tidak bisa keluar masuk kamarku tanpa izin. Ini kamarku, bukan kamarmu. Jadi bersikaplah sopan. Kamu makin menyebalkan,” desis Yudha. 

“Oh maaf, Mas, aku hanya ingin bertanya itu saja.”

“Tidak, aku tidak butuh apa-apa dari kamu,” sergahnya. 

Ciara mengembuskan napas keras, kemudian ia keluar dari kamar Yudha, setelahnya pintu kamar ditutup oleh Yudha dengan kencang hingga Ciara kaget dibuatnya. “Mau sampai kapan Mas Yudha begini? Aku ingin sekali membuat Mas Yudha mengingat semua kenangannya, tapi aku tidak mau menggali masa lalu. Jika sudah waktunya, mungkin ia akan ingat semuanya. Aku hanya perlu bersabar saja.”

Ciara berjalan ke dapur, di sana ia langsung mengambil jahe dan mencucinya hingga bersih. Setelah itu ia potong-potong menjadi beberapa bagian dan mulai merebusnya dengan air. Seraya menunggu air mendidih, Ciara duduk di kursi dapur dengan tatapan kosong. Selalu saja kenangan masa kecilnya datang dengan tiba-tiba. Cinta monyet dengan Yudha berharap akan diulang dengan versi cinta sejati meski Ciara tak yakin bahwa Yudha akan mencintainya lagi. 

Setelah mendidih, gadis itu langsung menuangkan air serta jahe ke dalam gelas. Sebelum ditaruh di nampan, ia menambahkannya dengan madu. Setelah selesai, dibawanya teh jahe untuk Yudha. 

Namun sebelum ke kamarnya, Ciara terlebih dahulu melihat Yudha di ruang tengah, duduk di depan televisi yang mati. Tangan kananya menggenggam remote yang sepertinya kehabisan baterai. Entah kenapa pria itu lebih memilih menonton televisi di luar, padahal di dalam kamarnya sendiri pun ada televisi yang tersedia di sana. 

“Mas Yudha, ini teh jahenya.” Ciara menaruh teh jahe di atas meja depan Yudha. 

“Ciara, Yudha, Mama berangkat dulu, ya. Kalau butuh apa-apa kalian bisa mengatakannya sama Bi Inah. Jaga diri kalian masing-masing,” ungkap Farah yang sudah berdandan rapi. 

Ciara mengangguk, sementara Yudha tak menoleh sama sekali seakan layar tv yang mati jauh lebih menarik daripada Farah, ibu tirinya. 

“Ibumu mau ke mana?” tanya Yudha sinis. 

“Katanya ada perlu dengan teman-temannya. Akhir-akhir ini Ayah dan Ibu memang selalu sibuk. Sepertinya Ayah juga akan di luar kota lebih dari seminggu, karena proyeknya sudah mulai berjalan,” lirih Ciara. 

Gadis itu memberanikan duduk di sofa yang sama dengan Yudha dengan jarak sekitar satu meter. “Jadi karena meraka tidak ada, aku katakan lagi sama Mas Yudha untuk jangan sungkan meminta bantuan padaku. Karena hanya aku yang bisa diandalkan,” kata Ciara dengan nada bangga. 

Yudha melirik perempuan itu sekilas, lalu kembali menatap ke depan. “Kamu membosankan,” ejeknya. 

“Tidak apa-apa, yang penting Mas Yudha bisa menjadi baik padaku. Aku memang seperti ini, tidak seseru teman-teman Mas Yudha, tapi aku ada di saat mereka tidak ada.” Ciara memberikan cengiran kuda hingga menampilkan deretan giginya yang rapi. 

Mendengar kenyataan itu, Yudha langsung berdiri, mengambil gelas berisi teh dan menjatuhkannya tepat di depan kaki Ciara. “Jangan pernah ikut campur urusanku dan jangan pernah menilai teman-temanku. Kamu tidak tahu aku dan kehidupanku, kamu juga tidak tahu mereka. Jadi, jaga mulutmu dan jangan pernah berbicara omong kosong lagi!” Yudha memperingatkan dengan sinis. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!