NovelToon NovelToon

Cerita Cinta YUCIA

1. Kepergian dan Janji

Delapan Tahun Sebelumnya

Angin menggerakkan dedaunan deretan pohon palm yang tumbuh besar sepanjang taman. Pada saat weekday tak banyak pengunjung yang datang karena mereka sibuk bekerja atau bersekolah. Pada kursi-kursi kayu yang berderet hanya ada satu kursi yang terisi oleh sepasang kekasih yang sedang menikmati angin seraya menikmati secangkir teh hangat. 

“Udaranya yang sangat sejuk, langitnya juga bersih, benar-benar biru. Tapi sayang sekali mungkin ini menjadi yang terakhir untuk kita berdua duduk di sini bersama,” ujar seorang pria dua puluh empat tahunan bernama Yudhatama Sabqi. 

Pria itu memiliki garis wajah tegas, kulit sawo matang, alis tebal dan kedua netra hitam legam. Hidungnya mancung serta senyumnya cukup manis. “Berat, ya, meninggalkan banyak kenangan tapi seseorang memang harus pergi jika ingin sukses meraih impiannya,” lanjutnya. 

Gadis di sampingnya menunduk seraya memegang cup teh dengan kencang. Matanya mulai terasa perih menahan tangis, tetapi ia tak mau menampakkan dirinya yang cengeng di depan pemuda sebelahnya. Gadis itu mendongakkan wajahnya menatap langit, berusaha menahan aliran sungai agar tak jatuh membasahi pipi. 

“Kamu tidak memiliki opsi kedua selain pergi?” tanya Erina, sang gadis berkulit kuning langsat itu. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya agar menghilangkan rasa perih yang menyiksa. “Jika ada opsi lain, kamu bisa mengambilnya. Memang jika ingin sukses selalu ada hal yang dikorbankan, tapi menurutku sangat egois jika kamu mengorbankan hubungan kita juga,” lanjutnya. Gadis itu mulai menatap tanah di bawah dengan pandangan nanar. Dadanya terasa sesak, ingin sekali berlari dan menangis tetapi ia tak mungkin melakukan itu. 

Yudha menggelengkan kepalanya samar. “Tidak bisa, Na. Menjadi tentara adalah cita-citaku. Aku sudah menulisnya di balik pintu sejak usiaku lima tahun. Kamu tentunya tahu apa yang aku rasakan saat ini. Bukan hanya kamu yang kutinggalkan, tapi aku juga akan meninggalkan keluargaku. Itu memang konsekuensi untuk meraih mimpi.” Yudha memberi pengertian. 

Pria itu mendekatkan duduknya, mengusap kepala Erina perlahan. Besok-besok ia tak bisa melakukan ini lagi karena fokusnya bukan hanya pada Erina lagi, tapi pada pelatihan atau tugas yang nanti akan diembannya. Dalam hati, Yudha juga merasa berat meninggalkan Erina, tetapi ia tak mungkin lebih memilih cinta daripada cita-cita. 

“Seperti mimpi buruk,” lirih Erina. 

“Memang, mungkin ini mimpi buruk tapi kita harus terjun ke dalamnya agar bisa menjumpai mimpi yang lebih baik. Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan melupakan kamu dan harusnya kamu juga berjanji padaku untuk setia, agar saat aku kembali nanti kita bisa melangsungkan pernikahan,” tegas Yudha. 

Pria itu menurunkan tangannya dari kepala Erina yang masih menunduk, kemudian ia meraih setangkai mawar yang berada di sampingnya dan menyodorkannya pada Erina yang sekarang mulai terdengar isak tangisnya. Erina meraih mawar yang berada di pangkuannya dengan tangan kanan, sementara lengan tangan kirinya digunakan untuk mengusap air mata dengan cepat. 

Gadis itu gagal menahan tangisnya, padahal ia sudah meneguhkan hati untuk membiarkan Yudha pergi menggapai mimpinya, tetapi Erina yang sudah biasa menghabiskan waktu dengan Yudha tak bisa membayangkan rasa kehilangan dan kesepian yang akan ia dapatkan nanti. 

“Aku minta maaf, Erina, tapi aku berjanji bahwa ini bukanlah akhir.” Yudha mendekatkan tubuhnya dan mulai memeluk gadis itu. 

“Harusnya kamu tidak perlu meminta maaf karena ini memang cita-citamu. Akulah yang seharusnya minta maaf karena tak bisa melepaskanmu. Tapi sekarang aku berharap bisa menerima kenyataan ini, aku tak mau menjadi perempuan yang menggagalkan rencana pacarnya,” lirih Erina dengan suara yang terdengar sedikit tak jelas, tetapi Yudha memahaminya dengan baik. 

Yudha mengangguk-anggukkan kepalanya, ia berjanji akan kembali tak lama lagi dan menikah dengan gadis itu. Impian lain Yudha selain menjadi tentara adalah menikah dengan Erina dan memiliki tiga orang anak darinya. Namun untuk mewujudkan rumah tangga, tentunya ada perjuangan yang harus Yudha lakukan. Ia tak bisa menikah begitu saja tanpa adanya persiapan. 

“Aku senang kalau kamu meridhoi langkahku dan mendukung harapanku. Nah, sekarang kamu mau berjanji kalau kamu mau menungguku sampai aku pulang, ‘kan?” tanya Yudha, kemudian tersenyum memamerkan lesung pipitnya yang dalam. 

Erina mengangguk mantap. “Aku pasti akan menunggu kamu, tapi aku takut jika suatu saat kamu meninggalkan aku dan memilih wanita lain. Lelaki cenderung lebih mudah mencari ganti, jadi aku khawatir jika suatu saat nanti dihadapkan oleh kenyataan yang mengerikan itu.” Kali ini wajah Erina kembali murung, tatapannya tampak kosong. 

Yudha tertawa kecil seraya menggenggam tangan kecil Erina pada tangannya yang kekar. “Tidak semua lelaki seperti itu, jangan samakan aku dengan yang lain. Semua orang memiliki watak yang berbeda, aku janji akan setia padamu dan kembali jika sudah saatnya. Aku tidak akan mencari wanita lain karena hanya kamu yang aku suka,” tegas Yudha meyakinkan Erina. 

Perempuan itu perlahan mengembangkan senyumnya seraya menatap Yudha dengan mata tulusnya. Ia memang mempercayai Yudha sepenuhnya, Erina tahu bahwa Yudha tidak akan berpaling darinya. Erina hanya perlu menjaga kepercayaannya terhadap Yudha dan mereka yakin bahwa di akhir nanti mereka akan menikah dan menemukan kebahagiannya pada satu titik bernama perkawinan. 

“Kamu membuatku yakin, aku akan coba menunggu kamu,” kata Erina akhirnya. 

Yudha tersenyum lagi. “Senang mendengar kamu percaya padaku. Aku akan berusaha dengan baik dan tidak menyia-nyiakan waktu yang ada, aku akan menjalani pelatihan dengan benar, bertugas dengan serius agar aku bisa mengumpulkan uang dan bisa menikahimu secepat yang kita inginkan. Kamu tahu, aku tak bisa menikah denganmu sekarang karena aku belum bisa mencari uang sendiri. Aku tidak mau menikah dengan biaya dari orang tua, jadi aku akan menikah denganmu saat aku sudah benar-benar mapan,” katanya lagi penuh penegasan. 

Sedikit pun Erina tak meragukan perkataan Yudha, ia yakin bahwa pria itu akan mencintainya dan kembali padanya suatu saat nanti. “Kalau begitu, sepertinya aku harus pulang. Aku harus kembali ke rumah karena banyak hal yang harus aku kerjakan,” kata Erina seraya bangkit dari duduknya. Tangan kanannya memegang mawar dan sesekali ia mencium harumnya. 

“Buru-buru sekali,” komentar Yudha yang ikut serta berdiri. 

“Nanti ibuku mencariku jika aku keluar rumah lebih lama,” jawabnya. “Jadi, jam berapa besok kamu pergi? Kalau boleh, aku ikut mengantarkannya.”

Yudha meraih tangan Erina yang kemudian digenggamnya, lantas kedua manusia itu melangkah di atas jalan setapak menuju pintu keluar. 

“Besok pagi sekali. Kamu tak perlu mengantarku, cukup doakan aku saja. Malam cukup mengerikan, jadi lebih baik kamu di rumah. Nanti aku akan menghubungi kamu jika aku sudah akan pergi,” pinta Yudha. 

“Ah begitu, baiklah. Aku akan menunggu telepon dari kamu, Yudha.” 

2. Perpisahan yang Sesungguhnya

Pria tiga puluh dua tahunan dengan mengenakan PDH lengkap tampak baru saja turun dari mobil jip seraya mencangklong tas pundak hitam. Ia menoleh ke arah seseorang yang menyetir mobil--teman satu kamarnya. “Kita harus kembali satu minggu lagi, jangan lupa. Nanti beritahu aku alamatmu, agar aku bisa menjemput kamu,” ujarnya dengan nada suara yang sangat tegas. 

“Okay, terima kasih sudah mengantarku hingga sampai di sini,” jawab Yudha. 

Pria itu hanya mengangguk, sebelum akhirnya ia menancap gas dan pergi menuju rumahnya. Saat mobil jip itu benar-benar telah menjauh, Yudha berjalan gagah menuju taman yang dulu pernah dijadikannya sebagai tempat perpisahan dengan sang kekasih. Sepuluh menit setelah duduk, pria itu membuka sosial media untuk pertama kalinya. Ia mencari nama Erina karena nomornya sudah tidak aktif dua tahun lalu. 

Sudah sekitar tiga tahun berselang ia tak menemui Erina. Terakhir kali adalah tiga tahun lalu saat Yudha berpamitan dengan Erina untuk bertugas. 

“Aku masih harus bertugas terlebih dahulu. Sepulang nanti aku akan langsung merencanakan tanggal pernikahan dengan kamu. Maaf, aku tidak bisa pulang lagi,” kata Yudha penuh penyesalan. 

“Tidak apa-apa, fokus saja dengan pekerjaan kamu dan tugas yang kamu emban. Aku akan menunggu kamu,” jawab Erina pasrah. 

Percakapan itu seperti baru kemarin. Sekarang Yudha sudah selesai dari masa bertugasnya dan ia mengambil cuti selama seminggu untuk menikahi Erina. Pikirnya tak perlu pesta mewah dan mengundang banyak orang, karena ia rasa tak cukup dengan waktu singkat yang diberikan oleh instansi. Yudha hanya perlu membawa Erina ke KUA, setelah itu mereka bisa resmi menjadi pasangan suami istri yang sah. 

Yudha mencari nama Erina, setelah mendapatkannya ia langsung mengarahkan pada ruang pesan dan mengetikkan beberapa kalimat. 

Yudhatama

Halo Erina, sayang, bagaimana kabarmu? Maaf sudah tiga tahun berselang aku tidak memberimu kabar selama aku bertugas. Aku benar-benar kangen kamu. Sekarang, aku ingin menepati janjiku padamu, Na. Nah, apakah kamu bisa datang ke tempat yang pernah kita jadikan sebagai tempat perpisahan? Aku baru saja kembali dan aku ingin melihat wajahmu sekali. Aku ingin kamu yang melihat kedatanganku pertama kali. 

Yudha langsung mengirim pesan itu. Ia sangat percaya diri mengabari Erina secara mendadak, karena Yudha tahu bahwa Erina selalu membalas pesan dengan cepat. Jadi ia berpikir bahwa Erina pasti akan datang menemuinya kapan pun Yudha membutuhkan dan menginginkan. Hanya membutuhkan waktu beberapa detik saja pesan sudah dibaca. Yudha tersenyum, ia senang Erina masih belum berubah. 

Erina

Aku akan ke sana secepatnya. 

“Ah, Erina, aku memang tidak salah memilih wanita. Kamu memang wanita paling beda yang pernah aku kenal. Betapa menyesalnya jika aku melepaskan kamu. Hanya pria bodoh yang tak bisa mencintai kamu, Na. Aku tidak sabar melihat kamu di usia dewasa ini. Kamu pasti akan lebih cantik dan matang dalam pemikiran. Jadi, cepatlah kemari. Aku tidak sabar untuk memeluk kamu,” batin Yudha. 

Seraya menunggu Erina yang akan tiba, Yudha memperhatikan taman yang terlihat cukup ramai di sekitar sini. Tidak banyak perubahan yang signifikan di sekitarnya, hanya beberapa pohon yang dulu masih kecil sekarang telah tumbuh besar dan rimun membuat suasana taman makin sejuk. Ujung taman yang semula kosong sekarang terisi oleh wahana permainan anak-anak yang membuat taman ini makin terasa padat. 

“Yudha,” panggil sebuah suara. 

Yudha refleks menoleh dan mendapati seorang wanita berambut panjang hitam yang sudah berdiri di depannya entah sejak kapan. Kulitnya makin terlihat bersih, tatapannya terlihat makin lembut dan badannya cukup berisi. Wanita itu tersenyum begitu tanpa sadar Yudha bangkit berdiri dari duduknya dengan tatapan kagum. Wanita itu benar-benar mempesona. 

“Erina.” Yudha mendekat, pria itu merenggangkan tangannya hendak memeluk wanita itu, tetapi kedua tangan Erina menahannya.

“Jangan lakukan itu, aku ke sini untuk menemui kamu selama sepuluh menit. Aku tidak bisa melakukannya lebih lama,” kata Erina. 

Dahi Yudha berkerut, ia tampak kebingungan dengan maksud Erina. “Kenapa kamu mengatakan itu? Aku datang ke sini untukmu. Aku memiliki waktu tujuh hari dan kita bisa menggunkannya untuk memenuhi janjiku padamu. Aku bisa mengambil cuti lebih lama jika kamu mau. Aku ingin memberikan seluruh waktuku padamu, tapi kenapa kamu hanya memberiku waktu sepuluh menit untuk berbicara?” tanya Yudha beruntun. Ia merasa tak nyaman dengan sikap Erina yang sekarang. Apakah wanita itu telah berubah padanya?

“Aku sudah tidak bisa lagi bersamamu, maaf,” kata Erina pelan. 

Yudha membulatkan kedua matanya, ia terhenyak dengan jawaban yang tak terduga itu. “Apa maksudmu? Kenapa kamu berbicara seperti itu? Bukannya tiga tahun lalu aku pernah menghubungi kamu untuk menungguku dan kamu menyanggupinya? Terus sekarang kenapa kamu menolakku, Erina? Apakah aku memiliki kesalahan fatal padamu?” Yudha menuntut jawaban, ia tak terima dengan keputusan Erina yang memutuskannya sebelah pihak. 

Erina menggeleng pelan. Rasanya kelu sekali untuk jujur pada Yudha tentang hal yang disembunyikannya sekarang. Namun, Erina berpikir bahwa Yudha harus tahu agar pria itu tidak lagi meminta Erina untuk menjadi kekasihnya. Erina harus menghentikan semua ini. “Kamu tidak punya salah, tapi aku sudah menikah dengan orang lain. Aku bertunangan dengannya dua tahun lalu, sebulan setelahnya kami menikah.”

Yudha merasakan sebuah petir menyambarnya di siang hari. Kepalanya terasa berat mendengar pernyataan tersebut. Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menolak kenyataan itu. Ia yakin Erina hanya bercanda karena Yudha paling tahu bahwa Erina adalah perempuan yang tak pernah ingkar janji. 

“Kamu bohong, ‘kan?” tanya Yudha dengan suara memelas. 

Erina menggeleng. “Tidak, aku benar-benar tidak berbohong padamu. Aku sudah menikah dengan orang lain. Aku tahu ini menyakiti kamu, aku minta maaf, Yudha. Aku minta maaf karena tidak bisa menepati janjiku untuk menunggu kamu. Sekarang mungkin sudah waktunya kamu mencari penggantiku, aku yakin banyak wanita lebih baik di luar sana yang mencintai kamu,” cakap Erina seraya menahan air matanya. 

Ia merasa dejavu dengan suasana saat ini. Lagi-lagi ia dan Yudha harus merayakan perpisahan di taman ini. Hanya saja perpisahan kali ini terasa lebih sakit daripada sebelumnya karena setelah ini tak ada harapan untuk kembali bersama. Erina harus fokus pada kelurganya, sementara Yudha dipaksa fokus untuk kembali pada kenyataan hidupnya. 

“Erina, tolong jangan bercanda. Aku tidak suka lawakan itu.” Yudha masih denial. 

Erina menggeleng lagi. “Hentikan, aku tidak bercanda dengan kamu. Tidakkah kamu lihat cincin yang melingkar di jari manisku ini?” Erina mengangkat tangan kiri dan memperlihatkan cincin putih yang melingkar cantik di jari manisnya. “Ini sudah terpasang di jariku sejak dua tahun lalu saat kamu tak memberi kabar padaku.” 

3. Hujan

Yudha terduduk lemas di kursi kayu yang berada di belakangnya. Pikirannya langsung penuh, berusaha tak percaya dengan apa yang Erina katakan, tetapi cincin yang Erina kenakan merupakan bukti kuat jika dia memang telah bertunangan. Kenapa? Yudha ingin sekali membanting sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya, tetapi ia menggeleng-gelengkan kepalanya menyadari bahwa perempuan yang menyakitinya masih berdiri di depannya. 

“Kenapa? Kenapa kamu mengingkari janji itu? Hanya karena aku tidak memberimu kabar, kamu tidak sabar untuk menjalin hubungan dengan seseorang? Aku bisa memberimu apa yang kamu, aku bisa menjamin kehidupan kamu dengan layak, tetapi kenapa kamu memilih pria lain yang tidak kamu kenal?” nyinyir Yudha dengan nada suara yang terdengar meremehkan. 

“Jika kami menikah nanti, aku yakin dia juga bisa memberiku nafkah dengan baik karena dia adalah seorang pengusaha yang cukup ternama, Yudha. Kamu tidak perlu menyesali perbuatan kamu dan merasa bahwa kamulah yang paling bisa membahgiakanku, karena masih ada orang lain yang bisa membuatku bahagia,” jawab Erina. 

Wanita itu menoleh ke belakang, seakan sedang memastikan bahwa tak ada orang lain yang memperhatikan dirinya di sini. Setelah yakin bahwa tak ada yang mengikutinya, langkah wanita itu mendekat pada Yudha yang sekarang terlihat hancur. 

Dipegangnya bahu Yudha dengan tangannya dan mengusapnya pelan. “Aku minta maaf, aku benar-benar minta maaf. Tapi kamu harus menemukan masa depan kamu. Aku tidak bisa menemani kamu lagi dan aku minta maaf jika aku memiliki banyak kesalahan. Mungkin kita tak bisa menikah, tapi kita bisa melanjutkan pertemanan kita. Maaf, aku harus pergi sekarang.” Erina tersenyum kecut, lalu langkahnya mulai menjauh meninggalkan Yudha yang membenamkan kepalanya di lutut yang tertekuk. 

Hatinya benar-benar hancur. Ekspektasi yang dimiliknya lebur bersamaan dengan angin yang membawanya terbang menghilang ditelan oleh kenyataan. Lima menit lalu Yudha masih memiliki bayangan indah tentang pernikahannya dengan Erina, tetapi tak lama dari itu kedatangan wanita yang diharapkan akan menjadi istrinya, malah menyakitinya dan menginjaknya dengan tega. 

“Tidak, aku mohon jangan pergi. Aku tidak bisa kehilangan kamu,” lirih Yudha. 

Pria itu langsung berdiri dan melihat bahu Erina yang mulai menjauh. “Erina!” panggilnya dengan keras. 

Wanita itu menoleh refleks, Yudha langsung berlari begitu langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu masuk taman. Tanpa meminta izin, Yudha langsung menjatuhkan dirinya pada pelukan Erina yang membuat wanita itu seketika terkejut. 

“Erina, aku mohon jangan tinggalkan aku. Aku mohon padamu, menikahlah denganku. Aku berjanji akan membahagiakan kamu lebih dari pria itu, aku mohon padamu.” Yudha memohon dengan frustrasi. Kedua tangannya melingkar di pinggang Erina dengan erat, seakan enggan melepas wanita itu. 

“Yudha, lepaskan. Orang akan menganggap kamu gila.” Erina langsung mendorong tubuh Yudha ke belakang hingga pria itu nyaris tersungkur jika saja tak menyeimbangkan berat tubuhnya.  “Maaf, kamu harus menerima kenyataan ini. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan yang tidak jelas, jadi aku mohon jangan pernah mengganggu hidupku lagi,” tegas Erina penuh ancaman. 

Tanpa memberikan belas kasih, wanita itu langsung pergi melangkah dengan langkas masuk ke dalam mobilnya menyisakan Yudha yang masih berdiri di dekat pintu taman seperti orang gila. Rambutnya terlihat sudah sangat acak-acakan, air matanya mulai mengalir tak tertahan, sementara pikirannya telah kosong menatap kepergian Erina yang menyakitkan. 

“Kenapa? Apakah aku tidak berhak untuk bahagia, Tuhan? Apakah Engkau benci padaku?” 

Setelah kendaraan yang Erina naiki benar-benar hilang dari pandangan, Yudha kembali menuju kursi dengan sempoyongan seperti orang yang baru menghabiskan satu botol anggur merah. Pria itu duduk di sana dan terdiam bahkan hingga langit yang semula terang berubah menjadi mendung keabuan, Yudha tak peduli lagi. 

“Tidak, aku tak bisa menerima kenyataan ini. Kenapa dia jahat padaku? Padahal aku sudah berjanji padanya untuk kembali, aku juga sudah mengatakannya padanya agar dia menunggu. Namun kenapa tiba-tiba dia pergi bersama pria lain seakan aku hanya pria yang ia gunakan saat ia tak butuh?” Yudha memijat pelipisnya sendiri. 

“Memangnya kamu tidak bisa pulang dulu? Sudah lama kamu tidak pulang ke rumah, kamu menghabiskan hari-hari besar di asrama. Apa kamu tidak rindu dengan aku dan orang tuamu?” tanya Erina, suaranya lembut. Yudha tak jarang merekam pembicaraannya dengan wanita itu agar bisa terus mengingatnya. “Walaupun kamu malas menginjakkan kaki di rumah, tapi kamu harus melihat wajah mereka sesekali,” saran Erina. 

“Masih ada tugas. Aku tidak bisa asal pulang dan pergi sesuka hati. Walau sebenarnya aku juga sangat ingin pulang, tapi aku tidak bisa. Aku harus menaati peraturan di sini.”

“Tapi, ‘kan, itu waktu libur.”

“Memang, tapi aku merasa bahwa aku tak bisa pulang, Erina. Aku tahu, aku juga ingin bertemu dengan kamu, tapi seperti ada sesuatu yang menahanku untuk tidak kembali saat ini. Kamu tahu, ‘kan, bagaimana keadaan keluargaku? Jujur saja, aku malas pulang karena aku malas melihat pemandangan memuakan,” jawab Yudha seraya menyenderkan kepalanya di tumpukan kasur. 

“Setidaknya pulanglah sebentar saja untukku.” Erina memohon. 

“Aku akan pulang begitu akan menikah dengan kamu. Kamu masih mau menungguku, ‘kan?”

“Iya, aku masih akan setia menunggu kamu sampai kapan pun kamu datang ke sini untuk menikah denganku. Aku tidak akan bersama dengan pria lain, percayalah. Tapi kamu harus menepati janji kamu dan jangan mengecewakan aku.”

“Tidak akan.”

Yudha masih mengingat jelas percakapan dirinya dan Erina tiga tahun lalu itu. Obrolan-obrolan kecil mengenai janji mereka untuk kembali bersama tak pernah Yudha lupakan. Erina tak pernah memberikan tanda-tanda bahwa ia akan meninggalkan Yudha. Long distance realtionship yang Yudha kira berjalan lancar ternyata membunuhnya pada episode akhir. Ia tak menyangka bahwa dirinya berperan menjadi tokoh yang tersakiti. Yudha selalu menjaga hatinya untuk Erina dan selalu mendoakan kebaikan bagi Erina, tapi sialnya Yudha kalah dan ia harus pergi. 

Gerimis mulai turun, beberapa pengunjung taman mulai berlarian meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat berteduh atau sebagian dari mereka langsung masuk ke mobilnya. Tapi tidak dengan Yudha yang membiarkan gerimis menjatuhi tubuhnya. Pria itu tak memiliki niatan sedikit pun untuk bergerak meninggalkan taman itu. 

“Mas, hujannya mulai deras, sebaiknya Anda berteduh dan jangan di sini.” Seorang pria paruh baya berpayung motif pelangi menghampiri Yudha. 

Lelaki itu mendongak, kemudian menggeleng pelan. “Tidak. Saya tidak berniat untuk berteduh, lebih baik Anda lanjutkan pekerjaan Anda dan jangan pedulikan saya. Saya masih tetap ingin di sini sampai hujan membuat saya kalah,” tegasnya. 

Pria itu sepertinya tak mengerti dengan ucapan Yudha, hingga ia memutuskan pergi. Sedangkan Yudha masih terduduk di sana bahkan ketika hujan sudah mulai turun dengan deras membasahi tubuh kekarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!