Terdengar sayup-sayup suara yang terdengar perlahan jelas. Langkah yang riuh pun dapat ditangkap melalui indera pendengarnya. Tangannya yang terasa mati rasa berusaha ia gerakkan begitu pun ia berusaha untuk membuka matanya yang terasa begitu berat.
“Tuhan, aku di mana? Apakah ada batu yang berada di atas kepalaku? Apakah telah berada di akhirat? Aku benar-benar merasa sakit. Seluruh tubuhku berasa memar. Apakah malaikat sedang menyiksaku atau aku sedang berada dalam siksa-Nya?” batin Yudha.
“Dia udah mulai sadar.” Seseorang merespons.
“Dia sudah siuman, ya? Dokter akan segera kemari sebentar lagi.” Suara yang lain ikut menyahuti.
Tak lama dari itu Yudha merasakan seseorang memeriksa keadaannya, tetapi ia masih berusaha membuka matanya yang masih terasa begitu berat. Pikirnya sampai kapan ia harus seperti ini dan berusaha untuk membuka matanya yang berat?
“Sebentar lagi dia akan benar-benar sadar, tunggu saja dan biarkan ia bersitirahat sampai tiga hari ke depan. Jika bisa jangan banyak yang menjaga agar dia bisa beristirahat dengan tenang,” kata seorang dokter.
Setelah itu keadaan mulai terasa hening. Yudha mulai bisa menatap tembok putih di depannya. Awalnya dengan pandangan yang buram, tapi lama-kelamaan ia bisa melihatnya dengan jelas. Namun tak ada siapa pun yang berada di dalam ruangan itu. Pria itu menyapukan matanya mencari seseorang, tetapi hanya ada meja dan dinding kosong yang didapatkannya. Tak ada Erina, tak ada teman-temannya, dan tak ada orang tuanya.
“Aku di rumah sakit? Apa lukaku benar-benar parah? Sejak kapan aku berada di atas ranjang ini? Apakah aku sempat tidak sadarkan diri sebelumnya? Aku mengingat bahwa aku masuk ke dalam mobil ambulance, tapi aku tidak tahu kenapa bisa berada di sini. Terakhir kali hanya ingin bertanya pada petugas kenapa harus membawanya ke rumah sakit, tapi setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi,” batinnya lagi.
Pria itu berusaha menggerakkan tubuhnya yang masih terasa berat. Ia berusaha keras untuk duduk, tapi seperti ada sesuatu yang menahannya hingga ia tak bisa melakukannya dengan baik. “Mungkin aku harus istirahat dulu,” batinnya lagi.
Sekitar lima menit kemudian, pintu terbuka. Dilihatnya seorang pria yang sangat familiar berjalan ke arahnya dengan tatapan sendu. Pria itu adalah Dani, teman satu kamarnya yang sempat menyaksikan Yudha memecahkan piring di kamar. “Yudha, kamu sadar?” tanyanya setelah berdiri tepat di sebelah ranjang Yudha.
Pria itu mengangguk. Yudha membuka mulutnya berusaha untuk bertanya, “Kenapa aku di sini?” tanyanya dengan sangat pelan dan terbata-bata. Mulutnya masih sangat berat untuk digerakkan dan lidahnya masih sangat kelu untuk mengatakan banyak kata, jadi ia hanya mengatakan dan bertanya apa yang dibutuhkan saja.
“Karena kecelakaan. Akhir-akhir ini keadaan kamu tidak baik-baik saja, ‘kah? Sejak kembali dari kepulangan, aku melihat mood kamu hancur berantakan. Kamu seperti bukan Yudha yang aku kenal dan aku tidak melihat keseriusan dalam diri kamu saat kamu kembali. Kamu bilang bahwa kamu pulang untuk satu minggu atau satu bulan, kemudian kamu kembali tidak lebih dari sehari. Kembalinya kamu seperti membawa jiwa Yudha yang berbeda. Ada apa sebenarnya?” tanya Dani menuntut jawaban.
Mendengar pertanyaan Dani yang beruntut, kepala Yudha makin terasa sakit. Seperti dihantam banyak bola basket, bahkan ia tak bisa menjawabnya dengan tepat jika berusaha dijawab sekarang.
“Tidak apa-apa,” lirih Yudha.
“Aku minta maaf jika pertanyaannya sangat berat didengar, tapi aku hanya ingin tahu. Jika ada masalah, kamu boleh menceritakannya padaku dan jangan dipendam sendiri. Apa yang kamu lakukan bisa menghancurkan karirmu,” nasihatnya.
Yudha tak merespons apa pun lagi. Sesungguhnya ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan pada Dani tetapi untuk saat ini tidak memungkinkan karena ia belum bisa menangkap ucapan seseorang dengan baik. Namun, ada hal penting yang harus ia tanyakan sekarang, sesuatu yang sangat ingin diketahuinya.
“Dani, jawab dengan jujur apa yang terjadi padaku?” tanya Yudha, pelan.
Dani mengembuskan napas keras, lalu ia duduk di kursi dekat ranjang Yudha dengan tatapan nanar memandang ke bawah. “Apa yang kamu ingat?” Dani berbalik tanya.
Yudha menggeleng, “Aku hanya melihat seorang wanita keluar dari taman dan pikiranku entah bagaimana saat itu, yang aku ingat, aku hanya ingin mendekati wanita itu setelahnya aku seperti hilang kendali dan terpelanting ke tepi sungai. Tapi sepertinya ada hal yang aku lewatkan, tapi aku tidak tahu itu apa.” Yudha berusaha mengingat-ingat kejadian yang menimpanya, tetapi ia tak bisa mengingatnya dengan baik. Seperti menyusun puzzle, tetapi tak ada bagian yang hilang dari puzzle itu.
“Sekarang sembuhlah terlebih dahulu dan sehatlah, setelah itu kamu akan tahu apa yang terjadi pada dirimu,” lirih Dani.
“Apa yang terjadi?” desak Yudha.
Dani tak menjawab, ia menatap Yudha bingung hendak menjawab dengan jujur atau tidak. Pikirnya keadaan Yudha masih sangat mengenaskan dan ia tak bisa mengatakan semuanya jika ingin Yudha baik-baik saja. Bagaimana jika Dani jawab dengan jujur, tetapi keadaan Yudha akan drop? Bahkan itu adalah mimpi buruk yang tak ingin Dani lakukan.
Di sisi lain Yudha masih menunggu jawaban Dani, ia sangat penasaran dengan apa yang akan Dani jawab. Sudah berkali-kali Yudha berusaha mengingatnya, tetapi ia selalu gagal sehingga jalan satu-satunya hanya Dani yang bisa memberinya jawaban jujur. Lagi pula ia harus tahu apa yang tidak ia ketahui sekarang, karena jika pun ia melakukan kesalahan, maka ia ingin bersiap-siap untuk itu.
“Sudahlah, yang penting kamu istirahat saja sekarang. Jika kamu mau, nanti aku akan telepon orang tua kamu untuk kemari,” katanya, Dani menolak menjawab pertanyaan temannya itu.
“Ayolah, aku tidak kamu menelpon orang tuaku. Aku ingin kamu menjawab apa yang ingin aku ketahui. Apakah aku telah berbuat kesalahan? Apakah aku harus bertanggung jawab setelah keluar dari rumah sakit ini? Aku ingin tahu. Paling tidak, aku memiliki persiapan dan tidak kaget saat mendapat teguran nanti. Tolonglah, beritahu aku,” desak Yudha dengan suaranya yang masih belum jelas tetapi Dani masih bisa mendengarnya.
Dani mendengkus, ia tahu Yudha cukup keras kepala. Pria itu menoleh ke belakang meyakinkan bahwa tak ada orang lain di ruangan itu selain mereka berdua. “Apa kamu siap mendengar ini? Kamu harus berjanji bahwa kamu tak boleh drop setelah mendengarnya,” kata Dani dengan terpaksa.
Yudha mengangguk, kemudian ia tersenyum perlahan. “Tenang saja, aku tidak selemah yang kamu bayangkan. Aku siap untuk mendengar fakta apa pun,” tegasnya.
“Tiba-tiba kamu menaikkan laju kendaraanmu di dekat taman, lalu kendaraanmu menabrak teman anggota hingga pria itu terpental ke sungai dan sekarang pria itu sedang koma,” jelas Dani.
“Apa?” Yudha terkejut, kedua matanya membulat sempurna. Kepalanya menggeleng tak percaya, “Tidak mungkin,” lirihnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments