“Aku akan mengakhiri semuanya dengan baik,” tegasnya seraya berpasrah pada apa yang ia kehendaki sendiri.
“Yudha, astaga! Apa yang akan kamu lakukan?” Seorang pria enam puluh tahunan berteriak saat mendapati anaknya yang sudah memegang pecahan beling di tangan kanannya, bersiap untuk melukai nadinya.
Pria itu langsung berlari dan menepis tangan Yudha hingga beling yang semula digenggamnya terlepas ke bawah. Yudha cukup terkejut dengan kehadiran ayahnya yang sekarang berdiri tepat di depannya. Pria itu memandang Yudha menggunakan menggunakan yang menahan air pada kelopak keriput itu.
“Apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu inginkan, Nak? Kenapa kamu berbuat seperti ini? Kenapa kamu menjadi berantakan seperti ini?” Andri Sabqi—ayah Yudha langsung menarik putranya ke dalam rengkuhannya. Terdengar isak tangis pria itu, sementara Yudha seakan kehilangan arah dan tak membalas pelukan ayahnya.
“Yudha, mari pulang,” ajak Andri.
Yudha menggeleng pelan. “Aku tidak mau,” lirihnya.
“Pulanglah hingga keadaan kamu benar-benar membaik. Ayah tidak mau kehilangan kamu, Nak. Ayah akan menemani kamu. Kamu adalah anak kebanggaan Ayah, marilah pulang ke rumah,” tegas Andri.
Karena tak ada pilihan lain, akhirnya Yudha memenuhi keinginan ayahnya yang mengajak dirinya untuk kembali ke rumah. Diantar oleh Dani hingga tempat parkir, keduanya sempat berpelukan sebentar sebelum Yudha masuk ke mobil mewah ayahnya tersebut.
“Hati-hati, ya. Semoga lekas membaik dan kamu bisa kembali ke asrama untuk bertugas lagi. Kepergian kamu pasti akan membuat banyak anggota yang rindu. Maka dari itu kamu harus segera pulih dan kembali jika sudah dipanggil lagi. Aku yakin jenderal tidak akan menghukummu dengan masa penghentian yang lama, karena ia tahu bahwa kamu adalah anggota terbaik sejauh ini,” ungkap Dani seraya menepuk-nepuk bahu Yudha.
Temannya itu mengangguk, “Semoga saja. Sebelumnya terima kasih karena kamu banyak membantuku sejauh ini.”
Lantas Yudha masuk ke dalam mobil dan dilihatnya seorang wanita bergamis kuning tua dengan jilbab hitam sudah duduk di kursi depan samping kemudi. Wanita itu sempat tersenyum ke arah Yudha, sebelum akhirnya kembali sibuk memperhatikan gawai di tangannya. Andri masuk dan duduk di kursi kemudi, barulah sang istri—Farah, menoleh ke belakang pada anak tirinya yang membuat Yudha muak. Rasanya ia ingin turun dan lebih baik berada di rumah sakit daripada ditatap oleh kedua mata wanita licik itu. Yudha membencinya dan sangat membenci istri ayahnya tersebut.
“Yudha, apakah kamu sudah membaik? Ibu sangat bersedih begitu mendapatkan kabar bahwa kamu di rawat di rumah sakit, bahkan sampai diberhentikan sementara. Apa yang sebenarnya terjadi, Nak? Kamu bisa bercerita pada Ibu jika kamu membutuhkan teman untuk mencurahkan isi hatimu, Ibu sangat senang kalau kamu mau membagi dukamu pada Ibu,” ujarnya setelah mobil mulai bergerak menuju rumah mereka.
“Tidak apa-apa, Ibu tak perlu khawatir,” jawab Yudha, dingin.
Meskipun kebenciannya terhadap wanita itu begitu besar, tetapi karena ia ingin tetap menghormati ayahnya, maka ia tetap memanggil wanita itu sebagai ibu. Persetan dengan hatinya yang tidak pernah mengakui bahwa wanita berbibir merah itu adalah ibunya, tetapi ia berusaha untuk tidak membuat keadaan rumah menjadi lebih hancur lagi.
“Baiklah, sekarang kamu bisa istirahat dengan tenang.” Farah membalikkan kepalanya, dan mulai mengobrol dengan suaminya yang sedang fokus menyetir.
Di belakang, Yudha hanya memandangi jalanan dari balik jendela. Ia berharap jika keputusannya mengikuti keluarganya adalah keputusan yang benar. Memang sudah lama ia tak menjumpai meraka. Selepas sang ayah menikah dengan Farah, Yudha selalu menghindar dari rumahnya. Keberadaan Farah tidak disukai oleh Yudha.
“Siapa yang memberitahu Ayah bahwa aku berada di rumah sakit?” tanya Yudha tiba-tiba. Ia tak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya.
Andri menatap Yudha sekilas dari arah kaca yang tergantung di depan. “Temanmu si Dani yang memberitahu Ayah, Nak. Awalnya Ayah sedang berada di rumah Nenekmu karena di sana sedang ada pertemuan antar keluarga. Tiba-tiba nomor tak dikenal masuk dan dia mengenalkan diri dengan nama Dani. Ia berkata pada Ayah bahwa kamu kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit, jadi Ayah segera meninggalkan rumah nenek demi menemui kamu di sini. Ayah merasa bahwa ayah telah datang di waktu yang tepat. Jika saja ayah telat satu menit, mungkin Ayah akan menangis di depanmu,” ujar Andri dengan pilu.
“Maaf,” lirih Yudha.
Andri mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tidak apa, semua orang memang bisa melakukan kesalahan. Namun yang terpenting kamu harus bertanggung jawab atas segala kesalahan yang sudah kamu buat,” nasihatnya.
Yudha tak menjawab. Entah ia merasa sudah diselamatkan atau sejujurnya rencananya telah digagalkan oleh sang ayah, tetapi yang terpenting sekarang ia sudah berada dekat dengan pria itu.
Sekitar empat jam berlalu, mobil mereka sampai di halaman rumah berlantai dua yang sangat luas. Tidak banyak yang berubah, Yudha masih melihat rumah ini seperti saat sang ibu masih hidup di dalamnya. Sang ayah turun terlebih dahulu, membuka pintu dan membantu Yudha turun dari mobil.
“Hati-hati, Nak,” kata Andri.
Yudha menurunkan kakinya dari mobil dengan perlahan, lalu dipapah oleh ayahnya, ia mulai berjalan pelan menuju rumah sementara Farah membawa tasnya.
“Inah, Inah! Keluarlah, Inah!” teriak Farah saat kakinya baru saja naik ke teras.
Wanita paruh baya berdaster yang merupakan ART di rumah itu terlihat keluar. “Iya Nyonya, maaf saya tadi ada di dapur,” jawabnya sopan.
“Bawa tas tuan Muda ke kamarnya dan persiapkan kamar dia dengan rapi. Karena mulai hari ini, dia akan kembali menghabiskan hari-harinya di sini,” pintanya dengan nada yang jutek.
“Baik, nyonya.”
Setelah pembantu tadi kembali masuk, kali ini Yudha dan ayahnya mulai memasuki ruang tamu. Benar-benar belum ada yang berubah. Tiga tahun lalu Yudha pulang untuk waktu yang sebentar, sekarang ia kembali ke rumah ini dan akan menghabiskan waktu yang cukup lama di dalamnya. Ia tak pernah menyangka bahwa dirinya akan hidup dengan ibu tirinya lebih dari satu bulan. Berharap jika waktu hukumannya akan berlalu dengan cepat, sehingga ia bisa pergi dari sini secepatnya.
“Ayo masuk ke kamarmu,” ajak Andri.
Yudha yang hendak masuk ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar orang tuanya di lantai satu, tak sengaja pandangannya jatuh pada seorang gadis yang sepertinya baru keluar dari dapur. Usianya sekitar 25 tahunan, dengan tubuh ramping dan kulit kuning langsat. Wajahnya berseri saat kedua matanya menatap Yudha, seakan gadis itu baru bertemu dengan teman lamanya.
“Siapa dia?” tanya Yudha seraya menatap gadis itu, dingin.
“Namanya Ciara Izzati, adik barumu. Anak dari Ibumu, Farah,” jawab Andri dengan penuh penekanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments