Ciara tak langsung merespon ucapan Yudha, melainkan ia menimbang-nimbang apakah yang dikatakan pria di depannya itu benar, bahwa kepergiannya akan berpengaruh pada kesehatannya? Tapi jika ia pergi, siapa yang akan mengurusnya? Di rumah ini hanya dirinya dan Bi Inah yang dapat diandalkan, tetapi di Inah pun sibuk dengan urusan dapur dan pilihan satu-satunya hanya dialah yang bisa memperhatikan Yudha.
Diusir secara halus oleh pria itu, Ciara sebaliknya tertawa di depannya. “Mas, kalau aku tidak ada tidak ada yang membantu Mas Yudha, loh. Bukannya nanti proses kesembuhan Mas Yudha akan semakin lama?” Gadis itu kemudian tersenyum lebar.
Yudha mengangkat ujung jari atasnya, membuang wajahnya dari Ciara. “Jangan menjadi perempuan yang sok asyik. Kamu membosankan,” celetuknya.
“Apa pun yang dikatakan Mas Yudha terserah saja, lagi pula kedatanganku ke sini bukan untuk memperparah. Intinya sekali lagi, kalau Mas Yudha butuh bantuan panggil namaku. Aku akan datang ke kamarmu,” tegas Ciara.
Gadis itu lantas keluar kamar, lalu menutup pintu kamar Yudha dari depan. Dilihatnya sang ibu yang sedang mengecat kukunya dengan kutek merah maroon, sesekali ia meniupnya agar cepat kering.
“Hei Ciara, Ibu boleh minta bantuan?” tanya Farah seraya menaruh kuteknya di atas meja.
“Bantuan apa, Bu?” tanya Ciara.
“Kamu tahu, ‘kan, bahwa ayahmu keluar kota selama kurang lebih satu minggu. Nanti sore Ibu pun akan pergi bersama teman-teman ibu dan mungkin menginap di villa karena kami ada piknik ibu-ibu arisan. Mungkin sekitar tiga hari Ibu baru akan kembali lagi. Tapi jika nanti ayahmu menghubungi rumah ini dan bertanya tentang Ibu, bilang saja bahwa Ibu sedang pergi ke pasar atau apa pun itu kamu harus beralasan agar ayahmu tidak curiga jika Ibu pergi dengan teman-teman.” Farah memandang Ciara dengan tatapan memperingatkan.
“Ibu tidak salah akan pergi sekarang? Mas Yudha masih sakit, Bu. Kalau nanti dia butuh bantuan atau ada apa-apa bagaimana?” tanya Ciara menuntut jawaban.
“Kamu sudah besar, Ciara. Usiamu sudah dua puluh lima tahun, jangan manja. Kamu bisa mengurus kakakmu sendiri. Lagi pula Ibu tidak akan lama. Bi Inah akan membantu kamu,” omel Farah.
“Baiklah, hati-hati.” Ciara pasrah.
Sang ibu langsung berdiri dan pergi ke kamarnya, sementara Ciara duduk di sofa menatap televisi yang mati. “Ah ya sudahlah jangan dipikirkan, lagi pula Mas Yudha tidak sakit parah. Benar kata Ibu, aku bisa mengurusnya sendiri.”
Gadis itu kemudian pergi keluar, ia berjalan ke arah keran dan mulai mewadahi air dengan ember untuk menyiram tanaman di depan. Dengan penuh kasih sayang, Ciara mengurus taman kecil rumahnya. Di sana ada beberapa pohon mawar, anggrek, dan ada buah-buahan juga.
Sesekali Ciara bersenandung dengan riang seakan tengah berakting membuat video clip dari sebuah lagu.
“Ciara!” panggil seorang perempuan.
Ciara menoleh, dilihatnya seorang perempuan seusianya yang berdiri di depan gerbang rumah Ciara yang tertutup. “Hai, Marlina!” Ciara langsung menyambut temannya itu. Buru-buru ia meninggalkan ember dan gayung di dekat keran, setelahnya ia langsung berlari kecil ke arah gerbang dan membukanya.
“Hei, tumben kamu ke sini. Ada apa?” tanya Ciara, “Ayo masuk dulu.”
“Terima kasih, ya.”
Marlina merupakan teman kuliahnya. Meraka memang tidak satu jurusan, tetapi Ciara mengenalnya karena mereka sempat tergabung dalam organisasi yang sama. Marlina dan Ciara berjalan masuk ke dalam rumahnya.
“Ayo duduk di sini, aku ke dapur dulu untuk membuatkan kamu minum,” kata Ciara.
Setelah Marlina duduk, Ciara langsung menuju dapur dengan cepat membuat dua jus mangga, lalu ditaruhnya di dalam gelas dan kemudian dibawanya ke depan. “Sudah lama kita tidak bertemu. Tumben kamu ke sini dan tidak bilang terlebih dahulu. Biasanya kamu selalu laporan sebelum datang. Ada apa, nih?” tanyanya dengan antusias.
“Sebenarnya kedatanganku ke sini untuk memberi undangan untuk kamu, Ciara. Aku akan menikah minggu depan,” jawab Marlina.
Ciara hampir berteriak, ia menutupi kedua mulutnya. Jelas Ciara terkejut mendengarnya karena selama ini Marlina tidak banyak cerita padanya. “Kamu menikah dengan Andi atau Sebastian?” tanya Ciara memastikan.
“Sebastian. Aku akan menikah dengannya, Ra. Kamu pasti tidak menduga ini, ‘kan?” Marlina tertawa.
“Jelas tidak sama sekali. Aku kira kamu masih betah menjomlo untuk menemani aku, tapi ternyata kamu nikah duluan. Tapi meski begitu aku senang mendengarnya. Hanya sedikit kaget saja kalau akhirnya kamu sama Sebastian. Ah, aku ikut senang, loh. Selama kamu bahagia, aku juga pasti akan bahagia.” Ciara melebarkan tangannya, lalu menarik Marlina dalam pelukannya.
“Ah, terima kasih Ciara. Kamu memang teman paling baik sedunia. Aku tidak menyesal sudah datang ke sini untuk menemui kamu secara langsung,” balas Marlina seraya melepaskan pelukannya.
Ciara tersenyum. Mereka lantas mengobrol banyak hal di ruang tamu, mulai dari kenangan semasa kuliah, mantan-mantan Marlina yang tak bisa dihitung, juga tentang bagaimana Marlina bisa menikah dengan Sebastian. Ciara mendengarkannya dengan baik dan antusias. Terlihat sekali bahwa di antara mereka Ciaralah yang jarang bercerita karena ia bingung akan menceritakan apa selain nasibnya yang buruk. Ciara tak memiliki kebahagiaan untuk dibagi, jadi daripada hanya memberikan vibes buruk jika ia bercerita, maka lebih baik memendam semuanya dengan baik.
“Terus Ciara, Om Andri ke mana? Aku tidak lihat Om Andri sejak tadi.” Tatapan Marlina menuju pintu pembatas, mencoba mencaritahu.
“Oh biasa, Ayah lagi pergi ke luar kota,” jawab Ciara.
“Ah, Om Andri selalu sibuk dari dulu, ya,” komentar Marlina. “Eh, pria itu siapa?” Tiba-tiba saja Marlina menepuk paha Ciara seraya menunjuk ke arah ruang tengah.
Refelks Ciara menoleh dan mendapati Yudha yang melintas dengan langkah pelan entah hendak ke mana. Ciara ingin pergi menghampiri dan membantu pria itu, tetapi ia tak bisa karena di sisi lain ia haru menemani Marlina. Tak sopan jika ia tinggalkan Marlina begitu saja, apa lagi ia berasal dari jauh.
“Eh, bukannya aku sudah pernah cerita padamu, ya, dia itu anak Ayah, kakak tiriku,” jawab Ciara gusar.
“Iyakah? Mas Yudha itu? Dia tampan sekali, ya! Aku baru melihatnya secara langsung hari ini. Apa dia sedang libur atau bagaimana? Tumben sekali kakak kamu pulang. Soalnya kamu bilang jika Kakak tirimu selalu sibuk dengan tugasnya.”
“Iya, sekarang lagi pulang karena ada sedikit permasalahan. Tapi pastinya dia akan kembali lagi. Dia hanya sedang sakit saja.”
“Ah gitu, kalau dia sudah sembuh bisa dong kamu ajakin dia untuk menemani kamu ke pernikahan aku. Mana tahu nanti dia akan bertemu dengan jodohnya.” Marlina tertawa nakal. Ciara hanya membalasnya dengan senyuman sebelum akhirnya tak lama dari itu ia mendengarkan suara benda tercebur di kolam yang berada di luar.
Byuur ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments