Saat Ciara baru saja selesai membersihkan tubuhnya, terdengar suara ketukkan pintu dari luar. Gadis itu langsung berjalan menuju lemari, mengenakan setelan biru muda dan terdiam di tempat. Matanya awas memperhatikan pintunya, takut jika itu adalah Yudha.
“Ciara, buka pintunya!” teriak seorang wanita.
Ciara mengembuskan napas lega mendengar teriakan itu. Dengan segera langkah kakinya mendekat dan langsung membuka daun pintu di depannya. Farah telah berdiri di sana, tatapan matanya lekat memandang Ciara.
“Kenapa kamu menangis? Gara-gara ditolak Yudha lagi?” ketusnya. Wanita itu sepertinya benar-benar mulai sadar bahwa anaknya itu tergila-gila oleh Kakak tirinya.
Ada bagian dari pikirannya yang meminta untuk mencari cara agar Ciara tak jatuh cinta. Namun telah berkali-kali ia nasihati agar Ciara tak mendekat, gadis itu selalu saja mencari perhatian tiada henti. “Ibu tidak jadi berangkat karena jalan utama ternyata ditutup sementaa. Tidak ada jalan alternatif lain, karena pastinya terjadi kemacetan besar jika kami lewat jalan kecil.” Dia berkata seolah mengetahui kebingungan Ciara mengapa dirinya kembali ke rumah.
“Yah,” panggil Farah pada suaminya yang baru saja hendak masuk ke kamar.
Andri menoleh, “Ada apa, Bu?” tanyanya.
“Lihat, anak ini tidak akan bisa memberikan ketenangan untuk Yudha. Kalau kita terus-menerus membiarkannya di sini, bisa jadi Yudha akan terus sengsara dan tak bisa damai dengan dirinya,” ujar Farah tiba-tiba.
Ciara terkejut dengan ucapan Farah yang seakan sedang mengusirnya dengan halus. Begitupun dengan Andri yang menatap Farah kebingungan. Belum sempat Farah melanjutkan ucapannya, Yudha terlihat keluar dari kamar dengan berpakaian training dan kaus kuning polos. Melihat Yudha yang melayangkan tatapan puas, Ciara langsung menunduk ketakutan.
“Nah Yudha, apakah kamu tidak nyaman hidup bersamanya? Apakah selama ini kamu merasa diteror olehnya yang selalu berusaha mendekati kamu? Dan apakah kamu menginginkan kepergiannya?” tanya Farah, berakting menjadi sosok ibu yang paling peduli pada buah hatinya.
Yudha mengangguk cepat, setelahnya pria itu langsung berjalan keluar dan kembali menyisakan Ciara, Farah, dan Andri.
“Berat untuk mengatakan ini, Yah, tapi untuk sementara kita harus memisahkan Ciara dan Yudha. Jika mereka selalu bersama, Yudha tidak akan bisa kembali menjadi Yudha yang kamu harapkan, Andri.” Farah berkata dengan memelas seakan tengah menghasut pria itu untuk menyetujui ucapannya.
Ciara yang masih di sana tertegun mendengar hasutan ibu angkatnya itu yang hendak memisahkan dirinya dengan Yudha, itu berarti mereka akan mengusirnya, ‘kan?
Andri menatap ke arah Ciara, lalu kembali menatap sang istri. “Apakah kamu yakin cara ini akan mengubah situasi yang terjadi?”
“Nyatanya kehadiran Ciara memperburuk sika Yudha. Bukannya ia berubah, pria itu malah semakin benci karena Ciara tak bisa menjaga sikapnya. Berat untuk memutuskan kehendak ini karena Ciara sudah bersama saya sejak lama, tapi mau tak mau kita memang harus mengorbankan sesuatu agar sesuatu lain bisa kita dapat. Benar, kan?” Farah mengusap air matanya dengan tissue, tetapi sayangnya Ciara tak melihat kesedihan sedikit pun di matanya kecuali hanya sandiwara.
“Ciara apakah kamu—”
“Aku akan pergi dari rumah ini jika memang itu yang terbaik untuk Mas Yudha. Aku akan keluar dari rumah ini sekarang.” Ciara langsung masuk ke kamarnya, gadis itu membuka lemari, mengeluarkan semua baju-baju dari sana dan memasukkannya pada tas besar berwarna hitam.
Ciara tahu bahwa kehadirannya tidak diinginkan oleh siapa pun, oleh sebab itu tidak akan ada yang menahannya untuk pergi. Bahkan saat mengingat bahwa ia hanya anak angkat, kepergian Ciara makin masuk akal karena sejak awal ia tak pernah menjadi anggota keluarga mereka. Dengan perasaan sesak gadis itu mengepak semua barang-barangnya dan dibawanya pergi melewati Andri dan Farah yang masih berada di depan kamarnya.
“Apa kau benar-benar ingin mengusirnya?” tukas Andri, memandang Farah dengan tajam.
“Demi kebaikan Yudha, hanya ini satu-satunya cara,” sergahnya.
Andri terlihat bingung, tetapi Ciara tahu bahwa pada akhirnya ia pun akan melepaskan Ciara karena Ciara memang bukan anaknya. Pria itu masuk ke dalam kamat, tak lama dari itu kembali keluar seraya mengulurkan amplop tebal pada Ciara. “Bawa ini dan cari tempat tinggal yang kamu sukai. Jangan bersedih, mungkin ini sudah jalanmu.”
Ciara meraih amplop itu, dengan berat hati kemudian ia melangkah pergi meninggalkan rumah itu menggunakan taxi yang sempat berhenti di depannya. Tak tahu Ciara akan ke mana, tetapi yang pasti ia harus pergi jauh dari kota ini. Gadis itu sempat turun di beberapa tempat, lalu melanjutkan perjalanannya menggunakan mobil lain hingga sekitar setengah hari penuh, dirinya telah tiba di pelabuhan.
“Ya, aku harus pergi ke tempat lain, di mana tidak akan ada satu orang pun yang tahu. Lagi pula sepertinya aku tidak sendirian lagi, ada manusia lain yang harus aku selamatkan,” batin Ciara seraya berbalik menatap dermaga, melihat lalu lalang manusia yang naik turun dari kapal.
Dengan penuh keteguhan, akhirnya gadis itu bertekad untuk pergi menggunakan kapal menuju lain pulau untuk memulai kehidupan baru. “Selamat tinggal,” desisnya.
--
Gadis itu serasa ingin memuntahkan semua isi perutnya saat kakinya baru saja menginjak dermaga. Perutnya mual, kepalanya pusing, angin laut membuat ia mabuk dan suara ombak benar-benar membuatnya ingin cepat tidur. Namun, gadis itu menoleh ke kanan dan kiri, menyapu sekitarnya dan tak ada tanda-tanda ia mengetahui tempat ini. Tak tahu di mana dirinya berada, ia hanya turun begitu banyak orang yang turun.
Ciara kembali berjalan. Melihat salah satu warung kecil, ia melangkahkan kakinya ke sana sekadar untuk membeli minum. Pikirnya selama masih berada di negara yang sama, dirinya masih sangat aman.
Setelah sampai di warung, gadis itu langsung duduk di kursi kayu depan. Seorang wanita paruh baya tampak keluar dari warung dan memperhatikan wajah Ciara yang lemas.
“Apa ada yang bisa dibantu?” tanyanya.
Ciara menoleh, “Bu, saya ingin membeli satu botol air mineral dan obat pereda pusing,” kata Ciara.
“Baik,” jawabnya.
Wanita tadi kembali masuk, dua menit kemudian kembali keluar seraya membawa botol air mineral dan kapsul pereda pusing. “Kamu akan ke mana?” tanya wanita itu seraya duduk di depan Ciara.
“Saya bingung, Bu. Saya ingin menyewa salah satu rumah di desa sekitar sini kalau ada. Saya membutuhkannya untuk hidup,” ujar Ciara.
“Rumah?” Wanita itu memastikan sekali lagi. “Kalau kamu butuh rumah, kamu boleh menempati salah satu rumah milik saya yang ada di desa. Tapi sangat terpencil. Apa kamu mau?” tawarnya.
Ciara mengangguk cepat. “Tidak apa, Bu. Saya mau di mana pun itu,” jawab Ciara dengan antusias.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments