Bersama putri pemilik warung yang berusia sekitar tiga puluh tahunan, Ciara dibawa menuju ke sebuah tempat di mana ia akan tinggal di sana. Tas miliknya berada di depan, sementara Ciara duduk membonceng kendara roda dua seraya memperhatikan jalan setapak yang sepi. Dari satu rumah ke rumah lain jaraknya cukup jauh, desa ini seperti terlempar dari peradaban, dan Ciara tak dapat membayangkan bagaimana vibes malam hari.
Sekitar satu jam kemudian, motor berhenti di depan bangunan kecil didominasi warna putih. Ciara langsung turun, rumah itu terlihat sangat terawat meski katanya tidak ditempati lagi.
“Nah, nanti kamu bisa tinggal di sini. Ayo masuk,” ajak wanita itu seraya membawa tas Ciara menuju pintu rumah, lantas membuka pintunya kemudian.
Ciara mengikuti langkah wanita itu, kemudian ia melihat ruang tamu kosong dan setelah itu ada ruang tengah kecil serta satu kamar, dapur, dan satu kamar mandi yang menurutnya sangat cukup.
“Nah, sekarang kamu bisa tinggal di sini. Rumah ini memang awalnya untuk kakakku, tapi dia pergi ke Sulawesi, jadi terpaksa dikosongkan. Tapi meski begitu kadang aku menginap di sini untuk beberapa hari agar tak benar-benar kosong, jadi jangan berpikir kalau rumah inu angker, ya.” Wanita itu tertawa kecil.
“Ah iya, terima kasih sebelumnya. Kemudian jika saya ingin ke pasar atau belanja bulanan di mana?” tanya Ciara.
“Tidak jauh dari sini. Lagi pula setiap pagi akan ada tukang sayur yang lewat, kamu tak perlu khawatir habis persediaan. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menghubungiku. Nomornya ada di meja ruang tamu, tertempel di sana.”
“Terima kasih.”
Setelahnya wanita itu langsung pulang kembali meninggalkan rumah Ciara. Sekarang gadis itu berada di dalam rumah baru tersebut sendirian, dan hanya bersama tasnya saja.
Gadis itu menyapu seluruh ruangan, membereskan setiap kamar, lalu mulai merapikan semua barang-barang yang berada di sana. Untungnya dapur telah berisi barang-barang yang sekiranya nanti ia butuhkan. Tak perlu membeli peralatan lagi, ia bisa menggunakan itu dengan baik.
Setelah selesai, Ciara memilih duduk di kursi kayu lapuk yang berada di ruang tamu. Pandangannya tampak kosong, pikirannya telah terbang ke mana-mana. Anehnya, meski gadis itu telah disakiti berulang kali oleh Yudha, tetapi pria itu masih betah menguasai pikirannya. Ciara menyadari bahwa dirinya begitu bosoh, tetapi sialnya ia tak bisa mengubahnya.
Namun kepergiannya ke sini cukup sudah membuat Ciara bebas. Paling tidak, sekarang ia bisa melakukan apa pun yang ingin dilakukan tanpa takut apa pun.
“Tuhan, sampai sekarang aku tidak tahu kenapa Ibu mengusirku dan juga Ayah. Ah, semuanya. Semua dari mereka membiarkan aku pergi tanpa kuketahui alasan pasti selain membuat Mas Yudha kembali pulih. Itu adalah kesia-siaan, karena Mas Yudha bukan hanya membenciku, tetapi ia membenci Ibu juga. Bukannya ibu juga harus pergi?” batin Ciara.
Ia bertanya-tanya, tapi tetap saja jawaban seperti ini tak akan pernah diketahui jawabannya hingga kapan pun.
“Jika memang ini sudah menjadi takdirku, aku hanya berharap untuk disabarkan hingga titik akhir perjuanganku. Aku tidak tahu akan sampai kapan aku berada di sini, aku hanya meminta agar kebaikan selalu menyertaiku,” lanjutnya.
--
Keesokan harinya Ciara terbangun dari ranjang kecilnya yang hanya muat satu orang itu. Gadis itu merasakan mual lagi dan kepalanya benar-benar pusing. Pikirnya jika itu karena efek kapal, seharusnya tidak berkelanjutan, tetapi kenapa sampai sekarang ia masih merasa mual?
Teringat bahwa Ciara telah membeli testpack sebelum kedatangannya kemari. Ia langsung mengambilnya, lalu segera pergi ke kamar mandi untuk mengeceknya.
Dua garis merah muncul. Gadis itu terdiam beberapa saat, wajahnya tampak pucat. “Aku hamil?” lirihnya.
Ciara berjalan keluar dengan langkah lunglai seperti seseorang yang baru saja keluar dari bar. Pikirannya langsung buntu, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Gadis itu memegang perutnya. “Aku hamil, aku hamil. Yudha menghamiliku. Pria itu benar-benar telah menanamkan benihnya dan berhasil membuatnya tumbuh. Apakah aku harus bahagia sekarang? Atau aku menangis saja?”
Ciara mulai terduduk lemas di sofa ruang tengah, bingung merespons kejadian yang menimpanya. Di satu sisi, ia membenci kehamilannya karena membayangkan bagaimana anak ini hasil kecelakaan dan ia harus berjuang sendirian tanpa diketahui oleh Yudha. Namun di sisi lain gadis itu senang karena ia merasa memiliki teman mulai sekarang.
“Nak, Ibu akan berjuang untuk membuatmu berkembang. Mari kita bertumbuh bersama. Ibu akan memperjuangkan kamu bagaimanapun keadaannya, Ibu tidak akan menyerah. Kamu akan menjadi anak kesayangan Ibu. Jangan insecure dengan dirimu sendiri, Ibu akan menjadi orang pertama yang mencintaimu.” Ciara bangkit, kemudian ia berjalan pelan ke arah kamar dan berdiri menatap dirinya yang berantakan di depan kaca kamarnya yang cukup besar.
Dilihatnya pantulan wanita yang telah berubah. Gadis yang dulu selalu mengejar langkah sang lelaki, kini telah mengandung anak dari sang lelaki yang menolaknya. Gadis itu terlihat hancur tetapi senang di saat yang bersamaan. Ia akan menjadi Ibu, pikirnya.
“Nak, Ibu akan menjagamu mulai sekarang. Jadi, mari temani Ibu dan menjalani kehidupan kita dengan bahagia. Tak perlu bertanya siapa ayahmu, bukannya sekarang telah banyak bayi terlahir tanpa sosok ayah? Jadi, kamu adalah anak Ibu. Kamu milik Ibu.” Ciara berkata dengan tegas.
Setelah puas menatap dirinya yang hancur, ia berjalan ke lemari mengambil setelan baju, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Hari ini ia harus keluar untuk memeriksakan kandungannya dan ia juga harus memiliki jadwal kontrol di puskesmas terdekat desa ini.
Ciara seketika tersenyum saat baru saja membasuh rambutnya dengan shower. Gadis itu seakan baru saja disiram oleh banyak kebahagiaan yang ia inginkan.
“Nak, sekarang sudah waktunya Ibu kembali menjadi sosok kuat untukmu. Jangan ada kesedihan antara kita. Ibu tidak akan menangis lagi demi kamu, Ibu tidak akan cengeng demi kamu. Kamu tahu, Nak, teman-teman Ibu mengatakan bahwa Ibu adalah sosok ceria, jadi Ibu akan kembali menjadi sosok itu untuk kamu.” Ciara memegang perutnya, lalu kembali membersihkan tubuhnya dengan benar.
Setelahnya gadis itu keluar, memakai baju dan berjalan keluar untuk mencari tetangga yang bisa ia tanya-tanya. Sebenarnya cukup ragu saat Ciara akan berkenalan dengan meraka, apa lagi mengetahui jika kondisi Ciara yang hamil. Bukannya nanti mereka pasti akan bertanya, “Di mana ayah dari anakmu?” “Di mana suamimu?” atau hal-hal lainnya. Tentunya Ciara harus bisa menjawab itu saat ini.
Kenyataannya, ia tak bisa menyembunyikan kehamilannya karena tambah hari akan bertambah besar, ia pun pasti membutuhkan tetangga jika dirinya hendak melahirkan. Oleh sebab itu Ciara tak mau menyembunyikannya dari mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments