“Yudha, kapan kamu akan kembali lagi ke rumah? Aku ingin menceritakan banyak hal padamu,” ujar Erina dari seberang dengan tiba-tiba.
Yudha mengerutkan dahinya. Wanita itu dengan sangat tega membuat Yudha depresi oleh keputusannya bertunangan dengan pria lain serta meninggalkan Yudha, sementara saat ini dengan tanpa ada rasa dosa, ia menelpon Yudha untuk memintanya mendengarkan cerita Erina.
“Kenapa tiba-tiba? Bukannya lebih enak bercerita dengan tunangan kamu? Dengannya, kamu bebas melakukan apa pun dengan bebas. Lagi pula, aku tidak mau dituduh menjadi selingkuhan kamu atau perusak hubungan orang lain,” sindir Yudha.
Di seberang, Erina tak langsung menjawab. Yudha masih menunggunya meski ia tahu bahwa waktu yang dimilikinya tak banyak.
“Maka dari itu, jika kamu pulang tolong kabari aku. Aku benar-benar ingin cerita padamu. Singkatnya aku menyesal karena telah meninggalkan dan malah dengan bertunangan dengan pria pengusaha itu. Aku tidak bisa berbicara lewat telepon, karena percakapan ini memakan waktu yang cukup banyak sedangkan aku tidak ingin mengganggu kamu lebih dari lima menit,” tutur Erina.
Yudha mengembuskan napas keras. Bagaimana pun sejujurnya ia belum bisa melupakan Elina dan jika saja tempat tugasnya dekat dengan kota di mana Erina tinggal, maka dengan sangat senang hati Yudha pasti akan datang padanya dan mendengarkan ceritanya meski itu akan menyakiti dirinya sendiri.
“Baiklah, nanti aku akan hubungi kamu jika sudah pulang. Aku akan pulang lebih cepat jika bisa,” jawab Yudha pasrah.
“Sebelumnya Terima kasih sudah mau mengobrol denganku dalam waktu singkat ini, asal kamu tahu sejujurnya aku benar-benar malu untuk menekan nomor ini dan menghubungimu tapi hanya kamu satu-satunya yang bisa mengerti perasaanku, maka dari itu akhirnya aku menghubungi kamu dengan tanpa rasa malu. Aku minta maaf dan selamat kembali bekerja. Aku menunggu kedatangan kamu secepat yang kamu bisa.
Setelah mengucapkan itu Erina langsung mematikan sambungan teleponnya. Yudha menatap ponsel yang kemudian gelap, kemudian diletakkan di atas meja seperti sebelumnya.
Yudha benar-benar mulai merasa bimbang dengan kehidupannya saat ini. Di satu sisi ia telah mengingat segala memorinya di masa kecil bersama Ciara, bermain dengannya, menari di bawah hujan dengannya, serta menghabiskan beberapa tahun dengannya. Namun di sisi lain, kehadiran kembali Erina yang pernah menjadi tokoh utama di kehidupannya membuatnya terpancing untuk kembali berbalik.
Yudha mendengkus, kemudian memilih duduk di sofa dengan perasaan yang masih amat berantakan. Pekerjaannya baru saja dimulai dalam beberapa hari, tetapi sudah banyak masalah pribadi yang menimpanya. Selalu di saat Yudha sibuk, masalah-masalah menghampiri layaknya kerikil yang terlempar dari atas langit.
“Apa motivasi kamu mendekatiku lagi, Erina? Apakah kamu ingin mengulang dan kembali bersamaku dari awal lagi? Ataukah kamu hanya ingin sekedar bercerita mengenai kehidupanmu saja? Tapi apa pun yang ingin kamu katakan padaku, ingin sekali aku tidak berharap berlebihan padamu untuk yang kedua kali,” batin Yudha.
“Hei, kenapa kamu melamun saja? Akhir-akhir ini kamu sering melamun seperti itu. Apa kamu takut jika kejadian tempo lalu akan kembali terulang? Lebih baik kamu menceritakan apa yang kamu rasakan padaku daripada memendamnya sendirian. Jangan karena kamu laki-laki lantas tidak mau bercerita karena terkesan seperti seorang perempuan, padahal bercerita satu sama lain tidak harus dilakukan oleh gender tertentu semua dari manusia bebas bercerita kepada siapapun yang dia percayai.” Dani yang baru saja tiba di ruang tamu, langsung memberi Yudha nasihat begitu melihat wajah temannya yang murung itu.
Yudha tersenyum kecil. Dani tergabung duduk di depannya. “Jadi, apa kamu mau cerita?” tanyanya.
“Ya boleh.” Yudha menegakkan duduknya.
Namun saat ia baru saja membuka mulut hendak bercerita, gawai kembali berdering nyaring. Sebelum diangkat panggilan itu, Yudha dan Dani saling bertatap satu sama lain.
Segera Yudha mengalah, bangkit dan mengambil gawai, menjawabnya kemudian.
“Halo selamat siang,” sapa Yudha ramah.
“Yudha? Ini Yudha?” Seorang wanita terdengar panik. Yudha sangat mengenalnya, dia adalah Farah.
“Ibu? Ada apa? Tumben sekali kamu menghubungiku. Apakah ada hal penting yang ingin kamu tanyakan atau kamu ingin memastikan keadaanku karena disuruh oleh ayahku? Katakan saja padanya bahwa keadaanku baik-baik saja di sini, jadi dia tak perlu khawatir dan fokus pada kerjaannya saja, tak perlu memikirkan aku,” respons Yudha menyikapi wanita menyebalkan itu.
“Bukan itu, Yudha. Tapi kamu harus tahu bahwa Ayah kamu sedang tidak baik-baik saja. Dia baru saja dilarikan ke rumah sakit karena tiba-tiba terjatuh di depan kamar mandi. Ibu benar-benar panik saat itu, karena Ibu hanya sendirian, Jadi jika kamu berkenan, kamu boleh pulang untuk sementara waktu agar bisa menjaga ayahmu di sini,” saran Farah.
Mendengar ucapan Farah mengingatkannya pada ucapan Ciara saat mereka berdua bertemu di depan tugu perbatasan desa, Ciara mengatakan bahwa bisa jadi Farah ingin melakukan sesuatu hal. Maka dari itu Yudha terlihat lebih besar lagi daripada sebelumnya karena sekarang bukan hanya memikirkan mengenai Erina dan Ciara, tetapi telah merambat pada ayahnya yang sepertinya membutuhkan pertolongan dari pihak lain.
Yudha tak tahan untuk menanyakan hal ini, “Kamu benar-benar menjaga Ayah?” Tatapan Yudha mulai kosong.
“Astaga, Ibu tidak pernah berbohong padamu. Ibu benar-benar menjaga ayahmu dengan baik. Tapi namanya juga makhluk hidup, selalu ada musibah dan kebahagiaan yang selalu mengiringi. Mungkin sekarang waktunya Ayah kamu terkena musibah, dan kamu tak boleh menyalahkan orang lain atas kejadian itu.” Suara Farah meninggi, dapat dibayangkan betapa dia menolak untuk disalahkan.
“Aku hanya bertanya saja,” desis Yudha. “Aku akan pulang secepat yang kubisa untuk menjaga Ayah hingga sembuh,” tegasnya.
Setelah itu sambungan langsung tertutup. Yudha meletakkan ponsel di atas nakas, lantas menghadap Dani yang masih duduk di sofa. Yudha kira Dani sudah pergi, tetapi ia masih berada di sana menunggu dirinya yang masih sibuk dengan telepon yang tidak ada selesainya.
“Jadi, kamu mau pulang?” tembak Dani seketika.
Yudha menggeleng samar. “Sebenarnya aku masih ingin berada di sini. Aku masih ingin menyelesaikan tugas hingga akhir, tetapi sialnya aku benar-benar tidak bisa. Kamu tahu bahwa tugas ini adalah tugas pertamaku setelah aku diberhentikan sementara, jadi apa yang akan menjadi alasanku ketika aku mengajukan cuti pada atasan?” Yudha berkata lemah.
Ia tengah berada di ambang kekalutan antara ingin pulang menjaga ayahnya atau tetap di sini meraih impiannya. Yudha benar-benar belum bisa mengambil keputusan saat ini, tetapi kekhawatiran pada ayahnya begitu besar. Tidak tahu apa yang akan dilakukan Farah pada suaminya itu. Bagaimana pun seseorang yamg memiliki niat jahat pasti akan selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments