10. Permintaan Maaf

Setelah Andri kembali pergi, barulah Ciara berniat untuk kembali masuk ke kamarnya. Namun, Farah yang terlihat berjalan cepat ke arahnya, seakan menahan Ciara untuk masuk. 

“Hei, apa yang Ayah katakan padamu?” tanya Farah seraya menaruh tangannya di atas bahu Ciara dan membawanya masuk ke dalam kamar gadis itu. Tidak pernah Farah seperti ini sebelumnya, tetapi Ciara sedikit senang karena berarti mungkin saja Farah mulai perhatian padanya. 

“Ayah bilang padaku untuk memaafkan Mas Yudha, dan dia juga bilang bahwa Mas Yudha butuh waktu untuk menerimaku sebagai adiknya. Ayah berkata bahwa sekarang Mas Yudha sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, jadi dia memintaku untuk memakluminya. Kemudian aku menjawabnya bahwa dia tak perlu khawatir tentang hal itu, karena aku pasti memaafkannya dan akan membantu Ayah untuk merawat Mas Yudha jika dia bekerja,” jawab gadis itu dengan tatapan polosnya berharap Farah senang mendengarkan jawaban Ciara. 

Sejauh ini Ciara tak pernah sekalipun dipuji oleh Farah, Ciara tak pernah mendapatkan perhatian lebih, oleh karena itu dia sangat senang jika ada tanda-tanda kecil Farah perhatian padanya. 

“Kenapa kamu mau merawatnya? Dia jahat padamu,” lirih Farah. 

“Entahlah, Bu, aku merasa ada dorongan yang mengharuskanku untuk membantunya. Lagi pula bukan hanya karena Mas Yudha saja, tapi demi Ayah juga.” Ciara duduk di tepi ranjang tidurnya, sementara Farah masih berdiri di depannya. 

“Tapi jika memang itu yang kamu mau lakukan saja, asalkan kamu bisa merawatnya dengan baik dan jangan sampai dia sakit lagi. Sayang jika harus keluar uang buat biaya rumah sakit,” sinisnya, lalu pergi meninggalkan kamar Ciara dengan cepat. 

Ciara menatap pintunya yang masih terbuka, terkadang ia merasa bingung dengan sikap ibunya. Kenapa wanita itu selalu bersikap demikian? Menurut Ciara, Farah selalu tak tertebak. Sulit mengikuti kata hati dan maksudnya. 

--

Sementara di kamarnya, Yudha membuka kembali matanya setelah Ciara pergi. Dadanya terasa kian sesak melihat Ciara masuk ke rumah ini, hadir sebagai adiknya dan ia harus menerimanya? Yudha menggelengkan kepalanya dengan kuat, tidak. Ia tidak akan pernah menerima gadis itu sebagai adiknya. 

Pelan-pelan ia terbangun dari tidurnya, menatap lantai kamar dengan tatapan nanar. Bayangan mengenai kepergian Erina masih terekam jelas dalam memorinya, serta kecelakaan yang disebabkan oleh dirinya pun sekarang mulai tergambar pelan. 

“Aku benar-benar buruk. Aku adalah manusia yang penuh dosa. Mungkin tak ada lagi orang yang akan menyayangiku. Aku memang benar-benar tidak bisa menjadi apa yang aku inginkan. Aku telah rusak, hidupku telah hancur. Sekarang pun dihadapkan oleh orang-orang yang menyebalkan. Di maan tempat aman untukku yang seharusnya?” lirih Yudha.

Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri yang tidak tahu jawabannya. Sekilas, mata lelaki itu menatap ke arah bubur du atas meja, tak berselera sama sekali saat melihatnya. Pria itu hanya mengambil gelas, lalu meneguk airnya sedikit demi sedikit. 

“Aku harus sembuh. Paling tidak agar aku tidak merepotkan siapa pun lagi,” lirihnya. 

Kecelakaan yang Yudha alami memang tidak berat, dokter pun hanya memintanya untuk istirahat. Tidak ada tindakan serius yang harus dilakukan, tidak seperti teman anggota yang ditabraknya. Oleh karena itu Yudha masih memiliki banyak kekuatan untuk kembali pulih lebih cepat. 

Pintu kembali terketuk. Yudha berdecak, merasa bahwa dia selalu terganggu selama tidur di sini. Entah kapan orang-orang itu akan menyingkir dan tidak mengganggunya lagi. 

Tak lama dari itu pintu terbuka, dilihatnya kembali Andri yang kali ini sangat rapi dengan setelan jaketnya yang berwarna abu-abu tua. Langkahnya mendekat, lalu berdiri di depan putranya. “Apa kamu sudah baik-baik saja?” tanya Andri seraya memegang bahu Yudha, menatap dari kaki hingga kepala anaknya dengan penuh perhatian. 

Yudha mengangguk, “Akan pulih dengan cepat,” jawabnya. 

“Baiklah. Ayah ke sini hanya ingin bilang kalau Ayah ada tugas ke luar kota selama satu minggu. Ayah minta maaf karena tidak bisa menjaga kamu, tapi tugas ini juga sama pentingnya, karena kalau bukan Ayah, maka bisnis bisa menjadi hancur. Nah, oleh sebab itu Ayah sudah menitipkan kamu pada Ibu, Ciara dan Bi Inah. Bersikap baiklah sama mereka. Mungkin Ciara yang nanti akan sering menjaga kamu,” kata sang Ayah dengan lembut. 

“Tidak perlu harusnya, aku benci anak itu,” lirih Yudha. 

“Kamu tak boleh mengatakan hal itu!” geram Andri. Kali ini mungkin kesabarannya telah habis menghadapi putranya yang keras kepala. 

“Kenapa? Dia pantas dibenci karena dia adalah anak dari wanita penghancur keluarga kita. Ayah tahu, bahwa aku tidak menyukainya, itu sebabnya aku juga tidak menyukai anaknya. Mereka berdua pembawa sial,” tukas Yudha. 

Andri mengangkat tangannya, hampir saja mendaratkan tamparannya pada pipi Yudha, tetapi mengingat keadaan Yudha yang sedang berantakan, jadilah pria itu langsung pergi meninggalkan kamar putranya dengan cepat. 

Yudha tersenyum sinis, ia sudah bisa menebak bahwa sang ayah memang mudah dimanfaatkan oleh istrinya itu. Selang beberapa menit saja, pintunya yang masih terbuka memperlihatkan Ciara yang membawa nampan kecil berisi gelas dan obat. Mata jernih gadis itu seakan berair, Yudha melihatnya sekilas tetapi ia tak ingin tahu sebabnya. 

“Mas Yudha, ini obat yang harus Mas Yudha konsumsi. Ayah kembali bekerja, Mas. Ayah sudah bilang ke Mas Yudha, kan, tadi?” kata Ciara, lalu tersenyum seraya menatap Yudha yang mungkin tak berminat menjawabnya. 

Ciara menelan saliva. “Mas Yudha, aku tidak tahu bahwa ternyata kebencian Mas Yudha kepadaku begitu besar. Padahal aku tak punya sangkut paut. Mas Yudha boleh membenci istri Ayah, tapi kenapa Mas Yudha juga harus membenciku?” batin Ciara. 

Jelas Ciara mendengar pecakapan Yudha dan ayahnya beberapa menit lalu, maka dari itu sebenarnya ia ingin menangis mengetahui bahwa Yudha seakan tak bisa menerimanya dengan baik, tetapi ia juga berusaha untuk terus mendekati Yudha apa pun yang terjadi. 

“Mas Yudha bisa minum obat sendiri?” tanya Ciara. 

“Kamu bisa diam tidak? Aku benar-benar pusing mendengar suaramu. Tinggalkan semuanya di sini, aku bisa melakukannya sendiri. Aku tidak lumpuh, jadi aku masih kuat melakukan apa pun,” bentak Yudha dengan air muka yang dipenuhi amarah. 

Ciara terkejut oleh sentakan itu. Yudha kecil dulu tak pernah membentaknya, sangat berbeda dengan Yudha saat ini yang mudah sekali emosi oleh hal-hal kecil. “Maaf kalau kedatanganku ke kamar Mas Yudha memang mengganggu. Tapi aku ke sini demi kebaikan Mas Yudha. Aku ingin melakukan yang terbaik agar Mas Yudha segera sembuh.”

“Kamu tahu apa yang bisa membuatku segera ssmbuh dari rasa sakitku? Yaitu jalan satu-satunya adalah kepergian kamu dari rumah ini. Kepergian kamu akan membuat aku sembuh dengan cepat,” tegas Yudha. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!