Tubuh Yudha merasa bergetar mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Dani. Yudha telah menabrak sesama anggota hingga sang korban mengalami koma. Pria itu menggelengkan kepalanya sekali lagi. “Benarkah?” lirihnya masih berusaha untuk denial, tapi sekarang merasa tak memiliki waktu untuk terus menolak kenyataan itu, lagi pula Dani tak pernah berbohong.
Yudha berusaha bangkit untuk melihat korban, “Tolong bantu aku, aku harus ke ruangannya dan minta maaf padanya,” kata Yudha pada Dani seraya memegang tepi ranjang, berusaha bangkit sekuat tenaga.
Dani langsung menahan tubuh Yudha dan menidurkan pria itu lagi dengan wajah kesal. “Apa yang kau lakukan? Jangan menambah situasi ini menjadi buruk. Kau masih dalam masa pemulihan, kamu harus tetap di sini dan jangan pergi ke sana sampai kamu benar-benar sembuh. Aku tahu kamu merasa bersalah dan ingin minta maaf padanya, tapi pikirkan juga bagaimana keadaan kamu saat ini,” sentaknya.
Yudha menggelengkan kepalanya, “Aku harus melihatnya.” Kekuh Yudha ingin berdiri, ia masih berusaha sekuat tenaga sebelum akhirnya Dani mendorongnya lagi dengan cukup keras.
“Jangan begini, Yudha. Kamu harus tetap istirahat,” katanya dengan penuh penekanan.
Yudha benar-benar merasa bersalah pada anggota yang telah ditabraknya itu. Ia ingin menemuinya dan minta maaf padanya karena telah membuatnya seperti ini, tetapi Dani terus-menerus menahannya. Sekarang Yudha merasa tak peduli lagi dengan dirinya sendiri, ia memikirkan keadaan korban dan ingin bertanggungjawab sebisanya. Tak bisa Yudha bayangkan bagaimana perasaan keluarganya saat ini.
“Aku ingin melihatnya,” desis Yudha putus asa.
“Kamu tidak perlu melihatnya.” Seseorang yang baru saja masuk ke kamar Yudha menekankan kata-katanya.
Baik Yudha dan Dani tak ada yang tahu siapa pria itu, tetapi badannya tampak kekar. Pria itu melangkah mendekati Yudha dan memperhatikan tubuh Yudha dari atas hingga bawah. “Kamu sudah baik-baik saja? Lebih baik dengarkan kata temanmu untuk tetap istirahat di sini sampai kamu sembuh. Kamu tidak perlu merasa khawatir lagi akan tugas selanjutnya.” Pria itu tersenyum penuh arti.
“Apa maksud Anda?” tanya Yudha tak mengerti.
Pria itu mengeluarkan amplop putih dari sakunya, lalu menaruhnya di atas dada Yudha. “Ini adalah surat pemberitahuan mengenai pembebasan tugas sementara. Tidak tahu sampai kapan karena belum ada keputusan, tetapi yang lebih penting dari itu kamu tidak bisa datang lagi ke asrama sampai pemberitahuan selanjutnya datang padamu,” tegasnya.
Bukan hanya jatuh dan tertimpa tangga, tetapi ini sudah sampai titik terseret oleh bencana yang bertubi-tubi. Semesta milik Yudha seakan runtuh begitu saja. Sudah bertahun-tahun ia mengabdikan dirinya agar berguna bagi negara, tetapi berakhir seperti ini. Saking banyaknya musibah yang mengenainya, Yudha sampai tidak terkejut sama sekali oleh pemberitahuan itu. Melainkan ia hanya menatap pria pemberi surat itu dan memindahkan surat yang semula berada di atas di dadanya ke meja nakas dekat ranjang.
“Baik, terima kasih atas pemberitahuannya,” lirih Yudha.
Dani yang melihat Yudha memandangnya dengan tatap kasihan, mungkin ia tahu bahwa betapa menderitanya Yudha saat ini.
“Kamu tidak terkejut?” tanya pria itu.
Yudha menggeleng. “Tidak, lebih tepatnya saya bosan untuk merasa terkejut dengan banyaknya musibah akhir-akhir ini, jadi saya anggap surat itu sebagai tambahan musibah yang mengenai saya,” tegas Yudha.
Bukan hatinya telah mati, sesungguhnya ia merasa semuanya hancur hanya dalam beberapa hari. Namun ia tak bisa mencegah semuanya hingga ia harus membiarkan dirinya terjatuh pada gunungan musibah yang tak kunjung henti. Entah sampai kapan semua kejadian buruk itu menarik Yudha pada lubang hitam yang tak berakhir.
Pria itu memegang pundak Yudha dengan penuh hormat. “Saya harap kamu bisa kembali menjadi seseorang yang lebih baik saat waktunya sudah tiba nanti. Saya harap kamu bisa memetik banyak pelajaran dari segala hal yang telah kamu lakukan. Dan ikuti kata temanmu untuk jangan pernah kamar korban, karena mungkin orang tuanya akan mengamuk besar saat melihat kedatangan kamu. Kamu bisa meminta maaf saat keadaan sudah membaik, tapi untuk saat ini jangan datang dulu. Mereka tidak mau menemui kamu,” tegasnya.
Setelah itu pria tersebut pergi dan menyisakan Yudha serta Dani yang masih berada di dalam ruangan tersebut. Melihat pria tadi yang sudah hilang setelah menutup pintu, tiba-tiba saja Yudha menangis, matanya ia tutupi dengan lengan dan mulai terisak. Dadanya benar-benar sesak menahan tangis yang seharusnya ia keluarkan sejak awal. Ia tak sekuat yang ia bayangkan, ia tak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh. Semuanya hancur karena egonya dan kontrol dirinya yang di luar kendali.
“Menangislah jika itu membuatmu tenang, kawan.” Dani berkata lirih. Pria itu masih duduk di samping Yudha dengan raut wajah murung. Betapa Dani tahu bahwa menjadi tentara adalah cita-cita Yudha dari kecil, wajah Yudha yang selalu senang saat mendapatkan tugas selalu Dani ingat. Namun sekarang pria itu harus dipulangkan sementara karena kesalahannya yang cukup fatal.
“Apakah dosaku terlalu banyak hingga musibah datang secara bergantian tanpa henti? Apakah semesta membenciku? Apa yang telah aku lakukan hingga balasan ini terasa sangat kejam?” Yudha mengoceh. “Keluar, aku tidak ingin melihat kamu,” lanjutnya.
Dani menelan saliva, ia tampak menganggukkan kepalanya dan pergi meninggalkan Yudha. Mungkin pria itu memang membutuhkan waktu sendiri, sehingga Dani memutuskan untuk duduk di luar menunggu Yudha. Bagaimana pun Dani tak bisa meninggalkan Yudha, ia sudah berjanji akan menemaninya sampai Yudha benar-benar bisa dipulangkan.
Tangan kanan kekar Yudha meremas sprei di bawahnya dengan kencang, “Kenapa? Kenapa musibah ini terjadi dalam satu waktu? Apakah nasibku memang sangat buruk sehingga aku tak diberikan kesempatan untuk bahagia meski hanya sebentar? Kenapa semesta begitu tega padaku, padahal aku selalu berusaha untuk menjadi lebih baik,” lirihnya dengan suara yang putus asa.
Yudha bangkit dengan sepenuh tenaga dari tidurnya. Ia melepas semua alat-alat medis yang semula menempel di beberapa bagian tubuhnya. Rasanya cukup sakit, tetapi lebih sakit saat mengetahui penderitaan hidupnya yang lebih tragis dari hanya sekadar dicabutnya infus.
Yudha menurunkan kakinya hingga menyentuh lantai yang dingin, perlahan ia berdiri dan berjalan pelan menatap jalanan di balik jendela. “Aku harus keluar ke sana atau sebaiknya aku tak pernah keluar dari sini?” Pria itu bertanya pada dirinya sendiri.
Tubuhnya kemudian berbalik menatap sebuah vas bunga kaca yang berada di atas meja berdiri kokoh nan cantik. Langkah Yudha perlahan mendekati vas bunga itu dan mengambilnya kemudian. “Dengan ini aku bisa tertahan di sini selamanya, kan? Itu jauh lebih baik daripada kembali dengan memanggul banyak mimpi buruk. Aku ingin hilang saja, sepertinya itu jauh lebih mudah daripada kembali menjalani hidup,” lirihnya seraya menjatuhkan vas bunga itu ke atas lantai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments