“Yudha, ayo naik ke tepi. Kamu tidak boleh terlalu lama mandi di sungai, karena hujan sudah akan turun,” teriak Ciara di tengah keramaian anak-anak yang baru saja naik ke permukaan.
Langit yang semula biru telah berubah mending, gerimis mulai turun dan sesekali guntur terdengar di antara keramaian teriakan para orang tua yang meminta anaknya untuk pulang.
Yudha kecil terlihat masih sibuk berenang di sungai, ia berhenti sebentar lalu tertawa, “Kamu takut, ya? Jangan takut. Aku itu kuat, loh. Aku akan baik-baik saja. Kamu lupa kalau aku pandai berenang? Lagi pula kalau hujan turun itu lebih seru. Kamu tidak mau terjun?”
Ciara menggeleng cepat. “Tidak, lebih baik kamu segera naik. Kalau kamu tidak naik, aku tidak mau lagi berteman dengan kamu.” Gadis kecil itu melipat kedua tangannya di depan dada dan memasang air wajah cemberut.
Yudha yang berniat untuk lanjut bermain ban, langsung menurut mendengar ancaman Ciara yang menurutnya menakutkan. Anak itu berenang ke tepian, kemudian mulai naik ke permukaan dibantu oleh Ciara. Detik berikutnya hujan benar-benar turun dengan deras hingga Ciara terkejut dibuatnya.
“Ra, ayo cepat berteduh, nanti kamu sakit.” Yudha langsung menarik tangan kecil Ciara ke arah gubuk kecil yang tak jauh dari sungai.
Di sana tak ada siapa pun karena semua orang sudah pulang dan jika pun ada yang belum pulang, mungkin mereka sudah sampai di warung-warung atau toko sekadar untuk berteduh dari lebatnya hujan yang turun saat ini. “Tuh, ‘kan, aku bilang juga kamu harus segera berhenti berenang di sungai. Kalau tadi kamu masih berenang, mungkin kamu sudah terbawa arus, tahu!” omel Ciara.
Yudha tertawa kecil melihat Ciara yang selalu marah padanya setiap kali Yudha membuat kesalahan kecil. Gadis itu beringsut, lalu duduk di meja kecil depan gubuk. Di sampingnya Yudha ikut serta menemani Ciara yang terlihat kedinginan. Angin yang cukup kencang menerbangkan anak rambut Ciara, sementara Yudha sudah basah kuyup dan tidak membawa baju ganti.
“Kalau kamu kedinginan, kamu masuk saja ke gubuk. Sepertinya tidak ada siapa-siapa,” kata Yudha seraya mengintip dari balik pintu yang berlubang.
“Hust, tidak boleh. Ini bukan punyamu, kamu tidak boleh melakukan sesuka hati. Lagi pula, bagaimana jika di dalam sana ada yang menunggu? Aku di sini sajalah, tidak akan membeku,” jawab Ciara.
Gadis itu mengulurkan tangannya sedikit memanjang membiarkan tetesan hujan terjatuh di tangannya. Bibirnya mengembang manis, meski hujan deras dan kedinginan sekalipun Ciara masih terlihat sangat senang.
“Kamu mau hujan-hujanan?” tanya Yudha.
Ciara menggeleng dengan memasang wajah masam. “Tidak, ah. Nanti akan kena marah. Lebih baik aku di sini saja. Kalau Yudha mau hujan-hujanan, tidak apa-apa di sekitar sini, tapi jangan jauh-jauh. Ara tidak mau ditinggal,” katanya dengan manja.
Yudha mengusap kepala Ciara dengan penuh kasih. “Tidak, aku di sini saja menemani Ara. Aku tidak mau meninggalkan Ara. Kalau Ara tidak mau hujan-hujanan, aku tidak akan hujan-hujanan juga. Tapi kalau Ara mau hujan-hujanan, nanti pasti aku temani.” Yudha tersenyum lebar, kemudian ia mulai menggenggam tangan Ciara dengan erat, mengusapnya agar gadis itu mendapatkan kehangatan.
Yudha selalu senang saat menghabiskan waktunya bersama Ciara. Gadis itu sangat baik dan perhatian padanya. Sejak Yudha bertemu dengannya di tempat les Matematika, Yudha telah menaruh rasa pada gadis bermata cokelat tua itu. Ciara gadis yang pintar dan riang. Ia selalu mengalah pada teman-temannya dan tidak pernah marah pada meraka. Ciara hanya pernah marah pada Yudha, itu pun karena Yudha memang melakukan kesalahan, jika Yudha tak melakukan kesalahan, Ciara tak pernah marah padanya sekali pun.
“Yudha, besar nanti kamu mau jadi apa?” tanya Ciara tiba-tiba.
Yudha menoleh. “Aku mau jadi tentara. Aku akan menjadi kuat untuk melindungi banyak orang,” jawabnya dengan bangga.
“Wah, cita-citamu keren sekali. Aku tidak sabar melihat kamu menggunakan seragam seperti orang-orang hebat itu. Kamu pasti makin terlihat tampan dan gagah,” pujinya dengan binar mata yang indah.
“Pasti, dong. Pacar Ara, ‘kan memang tampan. Nanti kalau pakai seragam, pasti jauh lebih tampan lagi. Ara hanya tinggal menunggu waktu itu tiba,” kata Yudha dengan bangga.
Namun tiba-tiba saja wajah Ciara yang semula terlihat sangat senang, kali ini berubah murung. Gadis itu menatap hujan di depannya dengan pilu. Menyadari perubahan sikap Ciara yang begitu cepat, Yudha merasa aneh.
“Ra, kamu kenapa?” tanya Yudha, seraya menatap wajah Tiara dengan dalam.
Ciara menoleh, “Kalau Yudha jadi tentara, pasti nanti seperti Bang Imran yang jarang pulang ke rumah, ‘kan? Beliau hanya pulang di saat-saat tertentu saja. Apa nanti kita tidak bisa bersama lagi?” tanyanya dengan polos.
Mendengar cita-cita Yudha memang begitu membanggakan, tetapi Ciara melihat tetangganya yang juga seorang tentara bernama Imran, pria itu jarang pulang menurutnya. Ciara tak mengerti tugas-tugas yang Imran emban dan sebab ketidakpulangannya, hanya saja Ciara jarang melihatnya di rumah sejak pria itu mulai mengenakan seragamnya.
“Ah, Ara takut ditinggal, ya? Tenang saja, Yudha tidak akan meninggalkan Ara, kok. Yudha akan tetap bersama Ara sampai kapan pun. Ara nanti mau, ‘kan, nikah sama Yudha?” tanyanya seketika.
Ciara merasa terkejut oleh pertanyaan Yudha kali ini. Anak itu mengatakannya dengan sangat enteng, sementara Ciara mati-matian menahan rasa tersipu nya. Buru-buru gadis itu memalingkan wajahnya dari Yudha agar ia tak melihat rona merah Ciara.
Yudha tertawa kecil. “Ayolah, Ara, jawab pertanyaan Yudha. Yudha serius, apakah Ara mau menikah dengan Yudha kalau kita udah besar? Yudha tidak mau menikah kalau bukan dengan Ara, Yudha juga tidak mau hidup dengan seseorang kalau itu bukan Ara. Yudha hanya mau Ara,” tegas Yudha dengan penuh keyakinan.
Ciara perlahan mendongakkan kepalanya dan menatap Yudha yang sedang menatapnya. “Yudha tidak bercanda?” tanyanya gugup.
Yudha menggeleng cepat. “Tidak, Ra. Aku benar-benar serius. Sekarang ini aku sedang melamar kamu, lho. Jadi, aku tidak main-main. Masa, sih, aku main-main dengan perempuan secantik kamu. Maka dari itu, pegang ucapanku, aku pasti akan menepatinya dengan baik,” ungkapnya.
Ciara tersenyum, senang dia mendengar Yudha mengikatkan janji padanya. Paling tidak, Ciara tahu bahwa Yudha benar-benar mencintainya. Besar nanti mereka telah memiliki gambaran untuk menikah saat keduanya telah siap. Ciara sangat menyayangi Yudha yang berani mengungkapkan perasaannya secara gamblang pada Ciara. Gadis itu berharap jika kisah mereka tidak berhenti di sini, ia ingin memupuknya selalu agar taman cinta yang dibangun keduanya tumbuh subur hingga mereka besar nanti.
“Janji?” tanya Ciara sekali lagi seraya mengacungkan jari kelingkingnya di depan Yudha.
“Janji!” Yudha mengaitkan kelingking miliknya dengan kelingking kecil milik Ciara, kemudian keduanya saling tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments