Pria tiga puluh dua tahunan dengan mengenakan PDH lengkap tampak baru saja turun dari mobil jip seraya mencangklong tas pundak hitam. Ia menoleh ke arah seseorang yang menyetir mobil--teman satu kamarnya. “Kita harus kembali satu minggu lagi, jangan lupa. Nanti beritahu aku alamatmu, agar aku bisa menjemput kamu,” ujarnya dengan nada suara yang sangat tegas.
“Okay, terima kasih sudah mengantarku hingga sampai di sini,” jawab Yudha.
Pria itu hanya mengangguk, sebelum akhirnya ia menancap gas dan pergi menuju rumahnya. Saat mobil jip itu benar-benar telah menjauh, Yudha berjalan gagah menuju taman yang dulu pernah dijadikannya sebagai tempat perpisahan dengan sang kekasih. Sepuluh menit setelah duduk, pria itu membuka sosial media untuk pertama kalinya. Ia mencari nama Erina karena nomornya sudah tidak aktif dua tahun lalu.
Sudah sekitar tiga tahun berselang ia tak menemui Erina. Terakhir kali adalah tiga tahun lalu saat Yudha berpamitan dengan Erina untuk bertugas.
“Aku masih harus bertugas terlebih dahulu. Sepulang nanti aku akan langsung merencanakan tanggal pernikahan dengan kamu. Maaf, aku tidak bisa pulang lagi,” kata Yudha penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa, fokus saja dengan pekerjaan kamu dan tugas yang kamu emban. Aku akan menunggu kamu,” jawab Erina pasrah.
Percakapan itu seperti baru kemarin. Sekarang Yudha sudah selesai dari masa bertugasnya dan ia mengambil cuti selama seminggu untuk menikahi Erina. Pikirnya tak perlu pesta mewah dan mengundang banyak orang, karena ia rasa tak cukup dengan waktu singkat yang diberikan oleh instansi. Yudha hanya perlu membawa Erina ke KUA, setelah itu mereka bisa resmi menjadi pasangan suami istri yang sah.
Yudha mencari nama Erina, setelah mendapatkannya ia langsung mengarahkan pada ruang pesan dan mengetikkan beberapa kalimat.
Yudhatama
Halo Erina, sayang, bagaimana kabarmu? Maaf sudah tiga tahun berselang aku tidak memberimu kabar selama aku bertugas. Aku benar-benar kangen kamu. Sekarang, aku ingin menepati janjiku padamu, Na. Nah, apakah kamu bisa datang ke tempat yang pernah kita jadikan sebagai tempat perpisahan? Aku baru saja kembali dan aku ingin melihat wajahmu sekali. Aku ingin kamu yang melihat kedatanganku pertama kali.
Yudha langsung mengirim pesan itu. Ia sangat percaya diri mengabari Erina secara mendadak, karena Yudha tahu bahwa Erina selalu membalas pesan dengan cepat. Jadi ia berpikir bahwa Erina pasti akan datang menemuinya kapan pun Yudha membutuhkan dan menginginkan. Hanya membutuhkan waktu beberapa detik saja pesan sudah dibaca. Yudha tersenyum, ia senang Erina masih belum berubah.
Erina
Aku akan ke sana secepatnya.
“Ah, Erina, aku memang tidak salah memilih wanita. Kamu memang wanita paling beda yang pernah aku kenal. Betapa menyesalnya jika aku melepaskan kamu. Hanya pria bodoh yang tak bisa mencintai kamu, Na. Aku tidak sabar melihat kamu di usia dewasa ini. Kamu pasti akan lebih cantik dan matang dalam pemikiran. Jadi, cepatlah kemari. Aku tidak sabar untuk memeluk kamu,” batin Yudha.
Seraya menunggu Erina yang akan tiba, Yudha memperhatikan taman yang terlihat cukup ramai di sekitar sini. Tidak banyak perubahan yang signifikan di sekitarnya, hanya beberapa pohon yang dulu masih kecil sekarang telah tumbuh besar dan rimun membuat suasana taman makin sejuk. Ujung taman yang semula kosong sekarang terisi oleh wahana permainan anak-anak yang membuat taman ini makin terasa padat.
“Yudha,” panggil sebuah suara.
Yudha refleks menoleh dan mendapati seorang wanita berambut panjang hitam yang sudah berdiri di depannya entah sejak kapan. Kulitnya makin terlihat bersih, tatapannya terlihat makin lembut dan badannya cukup berisi. Wanita itu tersenyum begitu tanpa sadar Yudha bangkit berdiri dari duduknya dengan tatapan kagum. Wanita itu benar-benar mempesona.
“Erina.” Yudha mendekat, pria itu merenggangkan tangannya hendak memeluk wanita itu, tetapi kedua tangan Erina menahannya.
“Jangan lakukan itu, aku ke sini untuk menemui kamu selama sepuluh menit. Aku tidak bisa melakukannya lebih lama,” kata Erina.
Dahi Yudha berkerut, ia tampak kebingungan dengan maksud Erina. “Kenapa kamu mengatakan itu? Aku datang ke sini untukmu. Aku memiliki waktu tujuh hari dan kita bisa menggunkannya untuk memenuhi janjiku padamu. Aku bisa mengambil cuti lebih lama jika kamu mau. Aku ingin memberikan seluruh waktuku padamu, tapi kenapa kamu hanya memberiku waktu sepuluh menit untuk berbicara?” tanya Yudha beruntun. Ia merasa tak nyaman dengan sikap Erina yang sekarang. Apakah wanita itu telah berubah padanya?
“Aku sudah tidak bisa lagi bersamamu, maaf,” kata Erina pelan.
Yudha membulatkan kedua matanya, ia terhenyak dengan jawaban yang tak terduga itu. “Apa maksudmu? Kenapa kamu berbicara seperti itu? Bukannya tiga tahun lalu aku pernah menghubungi kamu untuk menungguku dan kamu menyanggupinya? Terus sekarang kenapa kamu menolakku, Erina? Apakah aku memiliki kesalahan fatal padamu?” Yudha menuntut jawaban, ia tak terima dengan keputusan Erina yang memutuskannya sebelah pihak.
Erina menggeleng pelan. Rasanya kelu sekali untuk jujur pada Yudha tentang hal yang disembunyikannya sekarang. Namun, Erina berpikir bahwa Yudha harus tahu agar pria itu tidak lagi meminta Erina untuk menjadi kekasihnya. Erina harus menghentikan semua ini. “Kamu tidak punya salah, tapi aku sudah menikah dengan orang lain. Aku bertunangan dengannya dua tahun lalu, sebulan setelahnya kami menikah.”
Yudha merasakan sebuah petir menyambarnya di siang hari. Kepalanya terasa berat mendengar pernyataan tersebut. Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menolak kenyataan itu. Ia yakin Erina hanya bercanda karena Yudha paling tahu bahwa Erina adalah perempuan yang tak pernah ingkar janji.
“Kamu bohong, ‘kan?” tanya Yudha dengan suara memelas.
Erina menggeleng. “Tidak, aku benar-benar tidak berbohong padamu. Aku sudah menikah dengan orang lain. Aku tahu ini menyakiti kamu, aku minta maaf, Yudha. Aku minta maaf karena tidak bisa menepati janjiku untuk menunggu kamu. Sekarang mungkin sudah waktunya kamu mencari penggantiku, aku yakin banyak wanita lebih baik di luar sana yang mencintai kamu,” cakap Erina seraya menahan air matanya.
Ia merasa dejavu dengan suasana saat ini. Lagi-lagi ia dan Yudha harus merayakan perpisahan di taman ini. Hanya saja perpisahan kali ini terasa lebih sakit daripada sebelumnya karena setelah ini tak ada harapan untuk kembali bersama. Erina harus fokus pada kelurganya, sementara Yudha dipaksa fokus untuk kembali pada kenyataan hidupnya.
“Erina, tolong jangan bercanda. Aku tidak suka lawakan itu.” Yudha masih denial.
Erina menggeleng lagi. “Hentikan, aku tidak bercanda dengan kamu. Tidakkah kamu lihat cincin yang melingkar di jari manisku ini?” Erina mengangkat tangan kiri dan memperlihatkan cincin putih yang melingkar cantik di jari manisnya. “Ini sudah terpasang di jariku sejak dua tahun lalu saat kamu tak memberi kabar padaku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments