3. Hujan

Yudha terduduk lemas di kursi kayu yang berada di belakangnya. Pikirannya langsung penuh, berusaha tak percaya dengan apa yang Erina katakan, tetapi cincin yang Erina kenakan merupakan bukti kuat jika dia memang telah bertunangan. Kenapa? Yudha ingin sekali membanting sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya, tetapi ia menggeleng-gelengkan kepalanya menyadari bahwa perempuan yang menyakitinya masih berdiri di depannya. 

“Kenapa? Kenapa kamu mengingkari janji itu? Hanya karena aku tidak memberimu kabar, kamu tidak sabar untuk menjalin hubungan dengan seseorang? Aku bisa memberimu apa yang kamu, aku bisa menjamin kehidupan kamu dengan layak, tetapi kenapa kamu memilih pria lain yang tidak kamu kenal?” nyinyir Yudha dengan nada suara yang terdengar meremehkan. 

“Jika kami menikah nanti, aku yakin dia juga bisa memberiku nafkah dengan baik karena dia adalah seorang pengusaha yang cukup ternama, Yudha. Kamu tidak perlu menyesali perbuatan kamu dan merasa bahwa kamulah yang paling bisa membahgiakanku, karena masih ada orang lain yang bisa membuatku bahagia,” jawab Erina. 

Wanita itu menoleh ke belakang, seakan sedang memastikan bahwa tak ada orang lain yang memperhatikan dirinya di sini. Setelah yakin bahwa tak ada yang mengikutinya, langkah wanita itu mendekat pada Yudha yang sekarang terlihat hancur. 

Dipegangnya bahu Yudha dengan tangannya dan mengusapnya pelan. “Aku minta maaf, aku benar-benar minta maaf. Tapi kamu harus menemukan masa depan kamu. Aku tidak bisa menemani kamu lagi dan aku minta maaf jika aku memiliki banyak kesalahan. Mungkin kita tak bisa menikah, tapi kita bisa melanjutkan pertemanan kita. Maaf, aku harus pergi sekarang.” Erina tersenyum kecut, lalu langkahnya mulai menjauh meninggalkan Yudha yang membenamkan kepalanya di lutut yang tertekuk. 

Hatinya benar-benar hancur. Ekspektasi yang dimiliknya lebur bersamaan dengan angin yang membawanya terbang menghilang ditelan oleh kenyataan. Lima menit lalu Yudha masih memiliki bayangan indah tentang pernikahannya dengan Erina, tetapi tak lama dari itu kedatangan wanita yang diharapkan akan menjadi istrinya, malah menyakitinya dan menginjaknya dengan tega. 

“Tidak, aku mohon jangan pergi. Aku tidak bisa kehilangan kamu,” lirih Yudha. 

Pria itu langsung berdiri dan melihat bahu Erina yang mulai menjauh. “Erina!” panggilnya dengan keras. 

Wanita itu menoleh refleks, Yudha langsung berlari begitu langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu masuk taman. Tanpa meminta izin, Yudha langsung menjatuhkan dirinya pada pelukan Erina yang membuat wanita itu seketika terkejut. 

“Erina, aku mohon jangan tinggalkan aku. Aku mohon padamu, menikahlah denganku. Aku berjanji akan membahagiakan kamu lebih dari pria itu, aku mohon padamu.” Yudha memohon dengan frustrasi. Kedua tangannya melingkar di pinggang Erina dengan erat, seakan enggan melepas wanita itu. 

“Yudha, lepaskan. Orang akan menganggap kamu gila.” Erina langsung mendorong tubuh Yudha ke belakang hingga pria itu nyaris tersungkur jika saja tak menyeimbangkan berat tubuhnya.  “Maaf, kamu harus menerima kenyataan ini. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan yang tidak jelas, jadi aku mohon jangan pernah mengganggu hidupku lagi,” tegas Erina penuh ancaman. 

Tanpa memberikan belas kasih, wanita itu langsung pergi melangkah dengan langkas masuk ke dalam mobilnya menyisakan Yudha yang masih berdiri di dekat pintu taman seperti orang gila. Rambutnya terlihat sudah sangat acak-acakan, air matanya mulai mengalir tak tertahan, sementara pikirannya telah kosong menatap kepergian Erina yang menyakitkan. 

“Kenapa? Apakah aku tidak berhak untuk bahagia, Tuhan? Apakah Engkau benci padaku?” 

Setelah kendaraan yang Erina naiki benar-benar hilang dari pandangan, Yudha kembali menuju kursi dengan sempoyongan seperti orang yang baru menghabiskan satu botol anggur merah. Pria itu duduk di sana dan terdiam bahkan hingga langit yang semula terang berubah menjadi mendung keabuan, Yudha tak peduli lagi. 

“Tidak, aku tak bisa menerima kenyataan ini. Kenapa dia jahat padaku? Padahal aku sudah berjanji padanya untuk kembali, aku juga sudah mengatakannya padanya agar dia menunggu. Namun kenapa tiba-tiba dia pergi bersama pria lain seakan aku hanya pria yang ia gunakan saat ia tak butuh?” Yudha memijat pelipisnya sendiri. 

“Memangnya kamu tidak bisa pulang dulu? Sudah lama kamu tidak pulang ke rumah, kamu menghabiskan hari-hari besar di asrama. Apa kamu tidak rindu dengan aku dan orang tuamu?” tanya Erina, suaranya lembut. Yudha tak jarang merekam pembicaraannya dengan wanita itu agar bisa terus mengingatnya. “Walaupun kamu malas menginjakkan kaki di rumah, tapi kamu harus melihat wajah mereka sesekali,” saran Erina. 

“Masih ada tugas. Aku tidak bisa asal pulang dan pergi sesuka hati. Walau sebenarnya aku juga sangat ingin pulang, tapi aku tidak bisa. Aku harus menaati peraturan di sini.”

“Tapi, ‘kan, itu waktu libur.”

“Memang, tapi aku merasa bahwa aku tak bisa pulang, Erina. Aku tahu, aku juga ingin bertemu dengan kamu, tapi seperti ada sesuatu yang menahanku untuk tidak kembali saat ini. Kamu tahu, ‘kan, bagaimana keadaan keluargaku? Jujur saja, aku malas pulang karena aku malas melihat pemandangan memuakan,” jawab Yudha seraya menyenderkan kepalanya di tumpukan kasur. 

“Setidaknya pulanglah sebentar saja untukku.” Erina memohon. 

“Aku akan pulang begitu akan menikah dengan kamu. Kamu masih mau menungguku, ‘kan?”

“Iya, aku masih akan setia menunggu kamu sampai kapan pun kamu datang ke sini untuk menikah denganku. Aku tidak akan bersama dengan pria lain, percayalah. Tapi kamu harus menepati janji kamu dan jangan mengecewakan aku.”

“Tidak akan.”

Yudha masih mengingat jelas percakapan dirinya dan Erina tiga tahun lalu itu. Obrolan-obrolan kecil mengenai janji mereka untuk kembali bersama tak pernah Yudha lupakan. Erina tak pernah memberikan tanda-tanda bahwa ia akan meninggalkan Yudha. Long distance realtionship yang Yudha kira berjalan lancar ternyata membunuhnya pada episode akhir. Ia tak menyangka bahwa dirinya berperan menjadi tokoh yang tersakiti. Yudha selalu menjaga hatinya untuk Erina dan selalu mendoakan kebaikan bagi Erina, tapi sialnya Yudha kalah dan ia harus pergi. 

Gerimis mulai turun, beberapa pengunjung taman mulai berlarian meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat berteduh atau sebagian dari mereka langsung masuk ke mobilnya. Tapi tidak dengan Yudha yang membiarkan gerimis menjatuhi tubuhnya. Pria itu tak memiliki niatan sedikit pun untuk bergerak meninggalkan taman itu. 

“Mas, hujannya mulai deras, sebaiknya Anda berteduh dan jangan di sini.” Seorang pria paruh baya berpayung motif pelangi menghampiri Yudha. 

Lelaki itu mendongak, kemudian menggeleng pelan. “Tidak. Saya tidak berniat untuk berteduh, lebih baik Anda lanjutkan pekerjaan Anda dan jangan pedulikan saya. Saya masih tetap ingin di sini sampai hujan membuat saya kalah,” tegasnya. 

Pria itu sepertinya tak mengerti dengan ucapan Yudha, hingga ia memutuskan pergi. Sedangkan Yudha masih terduduk di sana bahkan ketika hujan sudah mulai turun dengan deras membasahi tubuh kekarnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!