Elvira berusaha menguatkan diri untuk tetap berdiri hingga berjalan setelah keluar dari lift tersebut.
Setibanya di area depan gedung, Elvira tidak sengaja berpapasan dengan Nevan yang baru turun dari mobilnya. Melihat dari pakaiannya yang sudah memakai setelan jas dengan rapi, sepertinya ia akan melakukan pekerjaan penting bersama Daffin.
“Kak Elvira, sudah mau pulang?” sapa adik iparnya itu.
“Iya,” jawab Elvira singkat, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa sakit yang saat ini sedang dirasakannya.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Nevan terdengar khawatir melihat wajah Elvira yang terlihat pucat.
“Aku tidak apa-apa.”
“Aku akan minta orang kantor untuk mengantarkan kamu.”
“Tidak perlu, aku akan menyetir sendiri,” tolak Elvira.
Lalu ia bergegas untuk menuju mobilnya akan tetapi langsung diikuti Nevan yang menaruh curiga padanya jika ia sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Meski kerap bersikap dingin dan cuek, namun ia termasuk orang yang paling peka terhadap sesuatu apalagi mengenai seseorang yang dekat dengan kehidupannya seperti kakak iparnya ini.
“Sini,” pinta Nevan yang menadahkan tangannya untuk meminta kunci mobil Elvira.
Elvira mengabaikan permintaannya lalu berkata, “Sudah ku bilang, tidak perlu.”
“Aku tidak akan membiarkan kamu menyetir mobil sendiri dengan keadaan kamu seperti ini, wajah kamu pucat sekali.” Nevan lalu memeriksa dahi Elvira dengan tangannya. “Badan kamu juga panas.”
“Aku bisa menyetir sendiri.”
“Tidak!” Nevan merebut kunci mobil yang dari tadi dipegang Elvira.
“Biar aku yang akan mengantar kamu,” paksa Nevan, lalu ia menyuruh Elvira untuk duduk di kursi penumpang.
...----------------...
Saat di perjalanan, Nevan sesekali memperhatikan Elvira yang tampak melamun berdiam diri sambil melempar pandangan keluar jendela mobil.
“Aku akan memberitahu kak Daffin dulu,” kata Nevan sembari mengambil ponselnya.
“Jangan!” larang Elvira yang langsung bereaksi cepat.
“Kenapa? Aku hanya akan memberitahunya jika aku akan sedikit terlambat karena mengantarkan kakak ipar dulu. Aku akan mengantar kamu ke dokter terlebih dahulu.”
“Jangan menghubunginya!” Elvira mencondongkan badannya kepada Nevan lalu merampas ponselnya, ia segera menyimpan benda tersebut di laci dasbor.
“Kenapa sih?” Nevan terheran kepada kakak iparnya itu.
Namun kali ini ia memperhatikan Elvira seperti sedang merasakan sesuatu pada penciumannya. Tiba-tiba Elvira sontak bereaksi mual dan reflek membekap mulutnya sendiri menahan sesuatu yang sepertinya hendak keluar.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Nevan lagi yang mulai cemas.
“Bau apa ini? Kamu yang pakai parfum ini? Tapi kok aromanya aku tidak suka ya? Sangat mengganggu,” gerutu Elvira yang menutup hidung dan mulutnya saat memastikan mencium aroma parfum pada arah tubuh Nevan.
“Memangnya ada yang salah? Aku hanya memakainya sedikit pada jas ku, ini wangi parfum kesukaanku.”
“Lepas!” titah Elvira terdengar memaksa.
“Hah? Maksudnya?”
“Nevan, ku bilang lepas jas kamu. Aku tidak suka wanginya!”
Melihat di depan jalan sudah tampak lengang, Nevan langsung menepikan mobil. Ia sungguh terheran dengan sikap Elvira yang tiba-tiba seperti ini.
Meski merasa kesal, namun akhirnya ia menuruti saja melepaskan jas nya. Elvira yang melihatnya lalu mengambil jas tersebut dan melemparkannya ke kursi belakang seolah ia ingin jauh-jauh dari benda tersebut.
“Ini sudah jauh lebih baik.”
“Kamu benar-benar sakit, bahkan indera penciuman kamu saja sepertinya sedang bermasalah.”
“Ya sudah, cepat antar kan aku ke dokter. Aku benar-benar merasa tidak enak badan sekarang karena mencium bau parfum kamu!” omel Elvira.
Nevan pun menurut saja hingga tidak lama kemudian, mereka sudah tiba di rumah sakit. Selesai diperiksa dokter dan sudah menjelaskan gejala yang dialami Elvira sebelumnya, dokter menemui Elvira yang kini sudah duduk di depan meja kerja dokter tersebut di temani Nevan.
“Selamat ya, Ibu Elvira sedang hamil dan gejala yang dialami Ibu tadi adalah hal yang wajar. Jangan sampai terlalu lelah ya,” ujar seorang dokter perempuan yang tadi memeriksanya.
“Apa? Hamil?” Elvira seolah tidak percaya dan langsung merasa tidak bertenaga sembari menyadarkan punggungnya pada sandaran kursi.
“Iya, selamat ya kalian berdua akan segera menjadi orang tua.”
“Oh, tidak seperti itu, Dok. Dia adalah kakak ipar saya,” bantah Nevan.
“Oh begitu? Maaf ya, saya tidak tahu. Sebentar ya saya resep kan obatnya dulu.”
...----------------...
Setelah keluar dari ruangan dokter, Elvira melangkah dengan lemas dibarengi perasaan yang membuatnya bingung antara bahagia sekaligus sedih.
Harusnya ini menjadi kabar yang sangat membahagiakan baginya dan Daffin, akan tetapi menyadari kini keadaan hubungan mereka sudah berbeda membuat Elvira tidak bisa menahan kesedihannya apalagi ia sudah membulatkan tekad ingin berpisah.
“Selamat ya,” ucap Nevan.
Namun Elvira tidak menanggapinya melainkan hanya terdiam saja seperti memikirkan sesuatu yang masih mengganjal di benaknya.
“Bukan kah ini kabar bahagia? Kita harus memberi tahu semuanya, kak Daffin pasti sangat bahagia mendengarnya.”
“Tidak.”
“Loh kenapa?”
Tanpa ingin menjawab lagi pertanyaan Nevan, Elvira sudah terburu berjalan cepat dan langsung diikuti oleh Nevan.
Ketika sudah berada dalam mobil, Nevan tertegun sejenak melihat Elvira yang ini terlihat sangat sedih seperti menyesalkan sesuatu.
Dilihatnya Elvira saat ini menggenggam kuat tangannya di atas lutut seperti sedang berusaha meredam amarah.
Nevan hanya bisa terheran sendiri dengan beragam pertanyaan tersimpan di dalam kepalanya, bukankan harusnya ini menjadi kabar yang membahagiakan bagi Elvira, tapi yang punya diri justru bersikap sebaliknya.
Elvira lalu menoleh ke arahnya di sela diamnya lalu berucap tiba-tiba. “Nevan, aku mau minta tolong sama kamu.”
“Minta tolong apa?”
“Bawa aku ke tempat yang aman untuk menyendiri.”
“Maksud kamu?” Nevan semakin terheran dengan sikap Elvira hari ini, ia sama sekali tidak bisa menebak kakak iparnya itu.
“Lakukan saja permintaanku, aku mohon.”
Nevan mengikuti saja keinginannya dan langsung menancap gas.
...----------------...
Beberapa saat kemudian, Elvira kini sudah duduk di sebuah bangku yang ada di ketinggian balkon apartemen milik Nevan.
Sebelumnya Nevan memutuskan untuk membawanya kesini saja karena baginya ini mungkin tempat teraman untuk membawa Elvira karena ia juga tidak tahu harus membawanya kemana lagi.
Setidaknya jika membawa Elvira ke sini, Nevan tidak perlu khawatir jika akan meninggalkannya sendirian.
Sementara itu, Nevan saat ini sedang membuatkan segelas jus buah untuknya di ruang dapur.
Dari kejauhan Nevan memandang ke arah balkon yang masih terlihat dalam jangkauannya, ia masih saja terkejut dan tidak tahu harus berkata apa karena tadi beberapa menit sebelumnya Elvira sudah menceritakan permasalahan yang sedang dialaminya bersama Daffin.
Elvira juga memohon kepadanya agar tidak menceritakan semua yang diketahuinya saat ini kepada Dewanti dan Meisya sampai nanti Daffin sudah mau menceraikannya.
Nevan kemudian menghampiri Elvira dengan membawakan segelas jus buah untuknya.
Menyadari kehadiran Nevan membuat Elvira terburu untuk menghapus air matanya yang tadi mengalir tanpa henti karena memikirkan permasalahan yang dialaminya saat ini.
“Ini, minum dulu. Aku dengar minum jus buah sangat bagus untuk kandungan,” ujar Nevan menyerahkan gelas minuman tersebut untuknya.
Elvira mengambilnya sembari mengucapkan, "Terima kasih." Lalu segera meminumnya.
“Bisa kah kamu memikirkan lagi keputusan kamu?” tanya Nevan.
“Aku sudah memikirkannya, aku tidak memiliki jalan keluar selain berpisah.”
“Coba pertimbangkan lah lagi baik-baik, bukankah ini keputusan yang tidak main-main?”
Elvira hanya diam tanpa ingin menanggapi.
“Ya sudah, kalau begitu aku akan pergi sekarang karena ada urusan pekerjaan dengan kak Daffin,” pamit Nevan.
“Iya.”
“Nanti kamu akan tetap pulang ke rumah kan?”Nevan mengingatkannya.
“Iya, aku hanya ingin menyendiri sebentar di sini.”
“Oke.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari berganti.
Sakti menghela napas setelah sangat terkejut mendengarkan penuturan dari Daffin yang menceritakan tentang permasalahan yang saat ini sedang ia hadapi.
Di hadapannya saat ini sudah ada beberapa bagian kertas surat gugatan cerai yang kemarin Daffin hancurkan di depan Elvira.
Mau menyesal bagaimana pun juga terasa percuma karena semua sudah terjadi, kini Daffin hanya terus berpikir bagaimana ia bisa mempertahankan rumah tangganya.
Sejak kemarin Elvira masih bersikap dingin dan seakan tidak mau lagi bicara dengannya.
Sedangkan Sakti yang kini menjadi pendengar baik juga merasa tidak bisa melakukan apa-apa selain turut menyesalkan yang telah terjadi.
Ia juga tidak berani untuk ikut campur karena ini adalah urusan pribadi sahabatnya, ia hanya bisa mengutarakan bagaimana ia sangat menyayangkan jika keduanya sampai berpisah.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” tanya Sakti.
Daffin menatap ke arahnya seraya masih memikirkan sesuatu di kepalanya, ia sepertinya sudah terpikirkan untuk mengambil sebuah keputusan.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Fatisya
tuh kan bener...
gimana ini?
2023-07-04
1