Cinta Untuk Istri Sang Pewaris
Sebuah mobil melaju kencang, dengan gagahnya menyisir desiran angin yang meniup hamparan rerumputan di kedua sisi jalan.
Dua insan yang berada di dalamnya tampak menebarkan senyum kebahagiaan. Keduanya sesekali saling melempar pandangan, tanpa ingin melepas tangan yang saling bertaut.
“Mas, ada yang ingin ku katakan,” ungkap sang wanita berparas cantik yang duduk di kursi penumpang dengan nada lembut.
“Ada apa, Sayang?” Sang pria langsung tanggap.
Namun tiba-tiba terdengar suara dari sebuah ponsel yang akhirnya mengganggu momen pembicaraan, membuat sang pria melepaskan tangan istrinya tersebut serta mengabaikannya sebentar untuk memeriksa panggilan yang masuk.
Sorot matanya langsung berubah setelah melihat ponselnya, ia terpaku sejenak sembari jarinya mengusap layar sentuh ponsel dan membuat panggilan berakhir.
“Kenapa di reject, Mas?”
“Hanya panggilan yang tidak penting, Sayang,” jawabnya.
Detik berikutnya, bunyi singkat dari ponsel kembali menarik perhatiannya untuk membuka sebuah pesan sembari terus mengemudikan mobilnya.
“Mas, mau aku bantu membacakan pesannya? Lebih kamu fokus nyetir saja,” saran sang istri menawarkan bantuan.
“Tidak apa-apa, Sayang,” tolaknya secara halus, lalu segera mengunci tombol layar dan meletakkan kembali ke dasbor.
Raut wajahnya menampilkan sesuatu yang tak mampu dibaca oleh sang istri, sementara ini sang pria masih terdiam seperti menyimpan banyak pikiran di kepala hingga ia tidak lagi fokus pada sang istri.
“Mas? Kamu baik-baik saja?”
Pertanyaan penuh perhatian itu lenyap begitu saja tanpa ada tanggapan karena sang pria terlalu terikat pada pikirannya sendiri.
“Mas! Awas!” Panggilan terakhir yang terucap itu baru membuatnya segera sadar akan ada sebuah bahaya di depan mereka saat ini.
Tampak di depan sudah ada sebuah truk kontainer bermuatan baru berbelok dari sebuah pertigaan jalan seperti hendak memasuki jalur mobil mereka, akan tetapi sang pengendara mobil pribadi yang sempat tidak fokus berkendara terlanjur tidak sempat lagi melambatkan laju mobilnya.
Ia berusaha dengan segenap kemampuan membanting setir untuk menghindarinya akan tetapi sudah terlambat dan tabrakan keras yang saling menghantam pun tidak terelakkan lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sepasang netra bermanik coklat milik seorang wanita terbuka seketika dan nyaris terlihat terbelalak sempurna di keheningan ruangan yang hanya memperdengarkan bunyi dari monitor pemantau ala-alat medis yang terpasang di tubuhnya.
Sebuah peristiwa nahas itu tergambar jelas dalam memori tak terbatas yang akhirnya membawa respon kesadaran membangunkannya dari mimpi panjang.
“Elvira!” Suara dari wanita tua menyerukan namanya dengan getaran nada penuh rasa kekhawatiran.
Mata indah dengan bulu mata lentik itu langsung mengarah untuk melihat wajah dari orang yang memanggil. Indera penglihatannya berfungsi normal masih bisa mengenali sosok wanita yang selalu memandangnnya penuh cinta dan perhatian itu.
“Oma,” lirihnya dengan suara yang masih agak berat meski napasnya terpantau normal dibalik selang oksigen yang masih menempel di area hidung.
“Nevan! Cepat panggil dokter, kakak ipar kamu sudah bangun,” titah wanita tua itu menyuruh cucunya yang juga sedang berada di ruang rawat tersebut dan langsung dikerjakan oleh pemilik nama.
Tidak berselang lama, seorang dokter yang tampak masih terlihat muda masuk ke ruangan dan segera memeriksa keadaan sang pasien. Rona wajahnya menggambarkan sebuah perasaan turut senang mengetahui betapa pasiennya ini mampu bertahan dengan baik selama beberapa hari setelah melewati masa kritis akibat kejadian itu.
“Dr. Raldy, bagaimana keadaan cucu menantu saya?”
“Ibu Dewanti tenang saja, kondisinya sudah jauh membaik setelah beberapa hari ini. Semua tanda-tanda vital yang dipantau pada tubuhnya dalam keadaan stabil. Setelah ini, kami masih akan terus memantau kondisinya secara berkala. Selama masa pemulihan, tetaplah banyak-banyak istirahat,” ujar dokter tersebut.
Lalu ia membantu melepaskan selang oksigen. “Sekarang kamu bisa bernapas tanpa alat bantu.”
Tiba-tiba pria berjas putih itu menyadari tatapan Elvira kepadanya. Tersiratkan mereka bukanlah orang yang baru pertama kali bertemu, namun menyimpan sebuah cerita sebelumnya.
“Kamu akan baik-baik saja,” ujar Raldy yang saat ini menebar energi semangat untuknya, senyumnya mengambang penuh arti.
Elvira lalu mencoba untuk bangun akan tetapi keadaan tubuhnya masih terasa sangat lemah, seperti ada magnet besar menariknya kembali ke ranjang pembaringan khusus pasien VIP tersebut.
“Sayang, tetaplah berbaring,” pinta Dewanti.
Elvira menahan posisi setengah bangun, lantas merasakan sesuatu terjadi pada salah satu kakinya yang terasa kaku disertai rasa sakit.
“Oma, kaki aku,” lirihnya mulai merasa panik takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya.
“Kaki kanan kamu mengalami luka yang cukup serius karena ada tulang yang retak. Setelah tindakan operasi yang kami lakukan waktu itu, mungkin untuk sementara kaki kamu tidak bisa digunakan untuk berjalan.” Raldy menjelaskan dengan rasa sesal.
“Apa?!” Elvira merasa terkejut sekaligus merasa pilu hingga membuatnya terisak.
“Sayang.” Dewanti yang memahami perasaannya langsung memeluk untuk menenangkannya lalu segera membantunya untuk berbaring lagi.
“Setelah masa pemulihan, kamu pasti akan bisa berjalan lagi. Untuk sementara menjalani masa itu, sebaiknya menggunakan kursi roda dulu,” pungkas Raldy.
“Ini tidak akan lama kan, Dok?” tanya Dewanti mewakili perasaan Elvira.
Pria itu menghela napas lalu berkata, “Tergantung bagaimana masa pemulihannya, Bu.”
Merasa sudah selesai dengan tugasnya, Raldy pun segera pamit untuk meninggalkan ruangan.
“Oma, apa aku tidak akan bisa berjalan?” tanya Elvira yang masih tidak bisa menerima sepenuhnya kondisinya saat ini.
“Oma mengerti perasaan kamu, tapi kamu jangan panik dulu ya. Kata dokter kan ini hanya sementara. Oma akan lakukan apapun untuk percepatan kesembuhan kamu.”
“Oma, mas Daffin! Bagaimana mas Daffin?” tanya Elvira yang seketika mengingat suaminya itu.
“Dia, masih belum sadarkan diri,” jawab Dewanti terdengar lesu.
“Apa?!” Mendengar itu membuat Elvira turut lesu, badannya terasa lunglai.
Tiba-tiba ia merasakan sangat pusing di bagian kepalanya kala kembali mengingat peristiwa nahas itu.
“Oma, aku mau melihat mas Daffin,” pinta Elvira di sela masih menahan rasa di kepalanya, namun saat ini rasa khawatir yang menyeruak mampu mengalahkan rasa sakit itu.
“Lebih baik kamu istirahat dulu ya, Sayang. Kondisi kamu juga masih sangat lemah. Kamu baru sadarkan diri setelah tiga hari, loh. Kamu tenang saja ya, ada Sakti yang akan menjaga Daffin.”
“Iya, Oma.” Elvira melemaskan diri sembari berbaring walau pikirannya masih saja menyimpan kekhawatiran pada keadaan suaminya.
...----------------...
Masih dalam keadaannya yang lemah, Elvira merasa sangat gelisah karena ia merasa harus melihat langsung bagaimana keadaan Daffin. Mengalami kejadian nahas itu bersama membuat perasaan Elvira sedikit melunak untuknya.
Memang, selama menjalani pernikahan dua tahun belakangan ini, tidak ada perasaan cinta yang tercipta dari Elvira untuk suaminya. Namun pikiran tentang kondisi Daffin yang masih belum juga sadar sejak mengalami kejadian itu, membuatnya sulit untuk berbaring tenang di ranjang rawatnya.
Ia juga tidak mengerti apa yang dirasakannya, selama ini ia menutup hati untuk suaminya karena memang merasa sangat sulit untuk bisa mencintai seorang pria.
Pada saat Daffin memintanya untuk menikah dengannya pun, Elvira berkali-kali menolak. Namun kegigihan Daffin yang sangat menginginkannya, akhirnya membuat Elvira sedikit luluh karena kehadiran Daffin yang menawarkan kebahagiaan serta kehidupan penuh kemewahan dan kekuasaan untuknya yang memang sedang mengalami permasalahan pelik dalam hidup kala itu.
...----------------...
Elvira melirik ke arah luar jendela yang hanya menampakkan pekatnya malam, ini sudah beberapa jam sejak ia tiba-tiba sadarkan dari setelah beberapa hanya terpejam diam. Setelah merasa cukup mendapat asupan nutrisi dari cairan infus dan makanan, ia merasa sedikit lebih bertenaga.
Dilihatnya di salah satu sudut ruangan tampak Nevan—yang merupakan adik dari suaminya saat ini sepertinya sudah tertidur lelap di sebuah sofa panjang.
Sejak ditugaskan oleh Dewanti untuk turut menjaga Elvira, pria yang hampir seumuran dengannya itu belum juga meninggalkan ruangan ini.
Elvira tidak terlalu akrab dengannya karena Nevan selama ini memilih tinggal di luar negeri dan baru dalam seminggu ini ia kembali, itu pun atas permintaan Daffin—sang kakak yang sangat ingin bertemu dengannya dan berharap agar Nevan bisa kembali tinggal disini untuk membantu mengurus Arkatama grup yang saat ini dipimpin oleh Daffin.
Pembawaan Nevan yang kerap bersikap dingin dan cuek membuat Elvira terkadang tidak ingin terlibat dengannya, meski sesekali ia dan Nevan pernah berbincang singkat dan mencoba akrab karena terikat hubungan kekerabatan sebagai ipar.
Tanpa pikir lagi, akhirnya Elvira berinisiatif saja untuk bangkit, tetapi ia hanya bisa beralih ke posisi duduk. Ia harus mendapat bantuan seseorang jika hendak pergi kemana-mana mengingat kondisi kakinya.
Dalam situasi seperti ini, Elvira merasa ragu memanggil adik iparnya itu untuk meminta tolong. Apalagi ia sudah dalam keadaan tidur karena banyak menghabiskan waktu untuk menjaganya disini.
Elvira mencoba untuk menggerakkan kakinya, ia merasa sangat kesulitan karena masih ada rasa sakit yang dirasa. Saat perlahan kakinya hampir menyentuh lantai, ia kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh membuatnya mengaduh kesakitan.
Nevan yang terbangun karena mendengar suara Elvira langsung menoleh dan terkejut melihat kakak iparnya sudah tersungkur di lantai.
Nevan yang terlihat khawatir lalu bergegas menghampiri. "Kamu tidak apa-apa? Apa yang terjadi?"
"Aku tidak apa-apa," jawab Elvira.
"Biar aku bantu." Nevan langsung mengangkat tubuh Elvira untuk membaringkan kembali ke ranjang rawat.
“Nevan, aku mohon. Izinkan aku melihat mas Daffin,” pinta Elvira memohon padanya.
Sorot mata dari pria tersebut langsung berubah dan menatapnya dingin. “Ini sudah malam, lebih baik kamu banyak istirahat.”
“Aku tidak bisa tidur, aku ingin melihatnya. Aku sangat mengkhawatirkannya, bagaimana keadaannya sekarang?” Perkataan Elvira terdengar lirih.
“Khawatir? Aku baru tahu kalau kamu juga bisa mengkhawatirkan kak Daffin selain mengabaikan perasaannya," sahut Nevan dengan nada terkesan marah.
“Apa maksud kamu?”
“Berhenti berpura-pura! Berhenti untuk mencari muka apalagi di depan oma, perasaan oma terlalu halus untuk dibohongi.” Nevan rupanya benar-benar menunjukkan kemarahannya yang sejauh ini ia simpan.
“Apa? Beraninya kamu bicara seperti ini di depan kakak ipar kamu, kamu tidak tahu apa-apa.” Elvira jadi merasa kesal karena perkataan Nevan.
“Justru karena aku tahu apa yang kamu lakukan kepada kak Daffin selama ini, aku tidak akan membiarkan kamu sedikit pun menyakitinya,” tegas Nevan, lalu ia segera kembali ke sofa dan merebahkan diri.
“Ada apa dengannya?” Elvira tampak membingung sendiri.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
tia
kak, aku kagum dengan cara kakak merangkai kata-kata, bagus banget!
2023-07-12
1
PORREN46R
gila ceritanya bagus kali ketimbang punya ku
2023-06-26
1
canvie
mencium bau bau perselingkuhan
2023-06-26
1