Sakti masih terus mengatur napasnya, berlari cukup jauh menyusuri lorong rumah sakit membuat dadanya sedikit terasa sesak. Sementara di hadapannya saat ini Nevan sudah menanti jawaban dari pertanyaan yang dilontarkannya.
“Daffin sadarkan diri!” ungkap Sakti bersemangat memecah ketegangan di wajah Nevan.
“Apa? Benar kah?” Nevan terlihat sangat lega mendengarnya. Akhirnya kabar bahagia yang ia nantikan selama ini bisa ia dengar sendiri.
Mereka pun segera bergegas menuju kamar Daffin. Sesampainya di sana ternyata sudah ada seorang dokter ditemani beberapa orang perawat yang menangani Daffin karena Sakti langsung memanggil mereka saat melihat mata Daffin sudah terbuka beberapa saat sebelumnya.
Nevan merasa seperti mendapat sebuah keajaiban karena kini kakaknya telah bangun dari komanya dan terlihat mulai membaik. Air mata rasa haru itu pun mengalir di ujung matanya kala mendapat tatapan mata Daffin yang tersenyum ke arahnya.
Setelah melepas beberapa alat medis dari tubuh Daffin, dokter itu langsung memintanya agar tetap berbaring dan beristirahat.
“Saya permisi dulu,” ucap dokter tersebut berpamitan, kemudian Raldy yang tadi turut berada di sana juga akhirnya pergi bersama dokter senior tersebut.
Nevan segera menghampiri Daffin yang masih terbaring lalu Nevan memegang tangan kakaknya itu dengan erat.
“Terima kasih sudah bertahan, aku tahu Kakak orang yang sangat tangguh.”
“Aku senang kamu masih di sini,” ungkap Daffin dengan suara serak.
“Aku tidak akan bisa pergi melihat Kakak seperti ini.” Nevan melanjutkan pembicaraan mereka.
“Kalau begitu tetap lah di sini,” pinta Daffin. Seperti yang selalu ia ucapkan kepada adik semata wayangnya itu.
“Iya.”
“Bagaimana istriku?” tanya Daffin yang kini terlihat sangat mengkhawatirkannya.
“Kakak ipar baik-baik saja, dia ada di rumah,” jawab Nevan.
“Aku sudah menghubungi anggota keluarga, mereka pasti sekarang sedang bergegas menuju ke sini,” ujar Sakti menyela pembicaraan mereka sebentar.
“Cepat lah sembuh dan bugar lagi. Ada banyak pekerjaan yang sudah menanti Kakak.”Nevan melanjutkan pembicaraan mereka.
“Aku jauh lebih merindukan ingin bertemu istriku. Sakti, kamu bilang tadi mereka akan segera ke sini kan? Cepat bantu aku merapikan penampilanku.” Daffin segera bangun untuk duduk di atas ranjang rawatnya.
“Apa yang kamu pikirkan? Berbaring saja, kamu baru menghadapi masa koma selama dua minggu lebih,” sahut Sakti.
“Aku sudah lama sekali berbaring, aku harus terlihat tampan dan gagah saat bertemu istriku lagi. Syukurlah jika dia baik-baik saja, aku sangat merindukannya.”
...----------------...
Beberapa saat kemudian, Meisya bersama Dewanti dan Elvira sudah masuk ke kamar rawat Daffin.
Daffin menyadari tatapan haru dari mereka yang menyambut kesembuhannya, namun Daffin sangat terkejut saat melihat Elvira yang kini duduk di kursi roda.
Daffin mulai berpikir macam-macam mengenai sesuatu yang buruk mungkin saja sudah terjadi menimpa istrinya itu.
“Daffin.” Suara Meisya yang kini memeluknya menahan Daffin untuk menyapa istrinya.
Meisya tak hentinya membelai wajah putranya itu memastikan jika Daffin kini benar-benar sudah bangun dari komanya dan kini ia bisa melepaskan segala kekhawatirannya terkait kondisi Daffin.
“Syukurlah, kamu sudah bangun. Mama sangat khawatir sama kamu, Daffin,” ungkap Meisya penuh dengan kasih sayang.
“Iya, Ma.” Daffin menyahut sembari memberinya seutas senyuman.
Meski selama ini mereka sering bertentangan, namun Daffin tetaplah menyayangi mamanya dan ia sangat senang karena Meisya juga menunjukkan kasih sayangnya yang tak terhingga kepadanya.
“Sayang, apa yang terjadi dengan kamu?” tanya Daffin yang lebih mengkhawatirkan Elvira dibanding dirinya sendiri.
Ia lalu memegang tangan Elvira yang salah satunya masih terbalut perban.
“Tangan kamu kenapa?”
“Hanya luka sedikit, Mas. Aku senang banget kamu sudah sadar kembali,” jawab Elvira dengan tuturnya yang lembut.
“Oma juga tadi baru pertama melihatnya sama terkejutnya seperti kamu, Daffin. Katanya dia jatuh saat berlatih jalan. Setelah mengalami kecelakaan itu, kaki Elvira mengalami luka yang cukup parah sehingga mengharuskannya untuk memakai kursi roda dulu, tapi sekarang Elvira sudah dalam masa pemulihannya untuk bisa berjalan kembali.” Dewanti membantu menjelaskan kepadanya.
“Ya ampun. Sayang, maafkan aku ya. Gara-gara aku, kamu harus mengalami hal seperti ini,” tutur Daffin merasa bersalah.
“Daffin, kamu tidak perlu minta maaf. Ini bukan salah kamu,” sanggah Meisya.
“Tidak apa-apa, Mas. Ini tidak ada apa-apanya dibanding melihat kamu sudah pulih kembali. Terima kasih sudah bertahan dengan baik,” sahut Elvira.
“Daffin, Oma sangat bersyukur kamu bisa melalui semua ini.” Dewanti langsung memeluknya untuk melepas rindunya.
“Aku tidak kalah bersyukurnya karena saat ini bisa kembali berkumpul dengan keluargaku,” ungkap Daffin.
Suasana haru itu pun tercipta begitu saja dan sangat terasa kehangatan di antara mereka karena kali ini tidak ada bising dari perdebatan maupun pertengkaran seperti yang kadang tercipta di rumah mereka.
...----------------...
Saat Dewanti dan Meisya memutuskan untuk kembali ke rumah, Elvira meminta izin untuk tetap tinggal karena ia ingin di sini untuk menemani Daffin.
Sedangkan Nevan dan Sakti juga turut keluar untuk mengantar Dewanti dan Meisya sekaligus memberi ruang untuk Daffin dan Elvira menikmati waktu berdua melepas rindu mereka.
“Aku sangat merindukan kamu,” ungkap Daffin seraya membelai pipi istrinya itu dengan penuh kasih.
“Aku juga sangat merindukan kamu, Mas. Aku senang banget bisa kembali bersama kamu seperti ini.”
“Aku pasti akan selalu kembali untuk kamu, Sayang.”
“Iya Mas, aku tahu. Terima kasih sudah bertahan dengan baik."
Melihat tatapan penuh cinta dan perhatian dari suaminya itu membuat Elvira terharu, ia sempat merasa takut akan kehilangan kasih sayang dari Daffin setelah mengetahui rahasia suaminya.
Namun saat ini Elvira tetap berusaha menahan diri agar tidak mengungkitnya karena ia hanya ingin melihat suaminya pulih kembali dan segera bisa beraktivitas seperti biasa.
“Kamu istirahat sekarang ya. Kamu harus cepat sehat dan bugar kembali, ada banyak hal yang ingin aku bahas dengan kamu,” ujar Elvira.
“Oh ya? Kamu mau membahas tentang apa?”
“Tentang kita.”
Perkataan Elvira tersebut membuat Daffin mengangkat alis, ia tiba-tiba merasa Elvira seperti hendak membahas sesuatu yang penting dengannya. Namun Daffin tidak ingin berpikir yang macam-macam, ia pun hanya fokus tentang mereka berdua saat ini.
“Aku juga ingin mengobrol banyak dengan kamu,” ungkap Daffin.
“Ya sudah, kamu istirahat dulu sekarang.”
“Iya Sayang.”
...☘️☘️☘️...
Beberapa hari kemudian, Daffin sudah dalam keadaan pulih total dan sudah kembali ke rumah. Ia sangat merindukan suasana rumah ini setelah tidur panjang, ia sangat bersyukur karena Tuhan memberinya lagi kesempatan untuk bisa kembali ke sisi keluarganya terutama ke pelukan istrinya yang sangat ia cintai.
Seperti mendapatkan hidupnya kembali, kali ini Daffin berusaha untuk tetap menjadi suami yang baik untuk istrinya. Ia dengan setia menemani Elvira yang setiap hari berlatih agar kembali bisa berjalan, bahkan sesekali Daffin sendiri yang mengantarkan Elvira menemui dokter untuk memeriksa kembali kondisi pada kakinya yang kini mulai membaik.
Daffin yang kini sudah kembali bisa mengurus perusahaan pun disambut penuh suka cita oleh para karyawannya yang selama ini mengkhawatirkan keadaannya, tidak terkecuali Anya yang merupakan pernah menjadi salah satu orang terdekat dengannya.
Saat diminta mengantarkan berkas yang diperlukan, Anya tidak akan menyia-nyia kan kesempatannya kali ini.
“Aku sangat senang bisa melihat keadaan kamu sekarang, syukurlah kamu baik-baik saja,” ungkap Anya yang untuk sesaat melupakan batasan di antara status mereka dalam pekerjaan.
Namun sepertinya Daffin tidak ingin menanggapinya melainkan hanya terus fokus memeriksa beberapa berkas dokumen yang sudah diserahkan Anya kepadanya.
“Harus kah kamu tetap bersikap seperti ini?” Anya mencoba terus memancingnya agar angkat bicara.
Baginya lebih baik Daffin bicara padanya meski sebatas marah daripada melihatnya hanya berdiam diri seperti ini seolah menganggap Anya adalah patung yang tidak pantas untuk di ajak bicara.
“Kalau sudah selesai, kamu bisa keluar.” Daffin akhirnya mengeluarkan suara dengan masih bersikap acuh tak acuh sembari sibuk dengan dokumennya.
“Apa kamu tidak pernah memikirkan bagaimana aku mengkhawatirkan keadaan kamu? Tidak bisakah kamu melihatku sebentar saja? Kenapa kamu jadi berubah secepat ini setelah banyak hal yang telah kita lakukan bersama? Semudah itu kah kamu ingin mengakhirinya?”
Daffin segera menutup lembaran dokumen yang diperiksanya dengan kasar, detik berikutnya ia melihat ke arah Anya yang memasang raut kekecewaan di wajahnya atas apa yang sudah Daffin lakukan kepadanya.
“Dengar, aku minta maaf jika telah membuat kamu kecewa. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan yang salah ini, aku sudah memulai sebuah kesalahan besar dan aku hanya ingin mengakhirinya. Aku tidak bisa lagi mengkhianati istriku,” tutur Daffin.
“Kesalahan besar kamu bilang? Lalu bagaimana dengan aku?”
“Anya, tolong mengertilah. Aku sangat mencintai istriku dan aku tidak ingin melakukan kesalahan lagi kepadanya. Hubungan kita memang sudah salah sejak awal, mengakhirinya adalah keputusan terbaik.”
“Aku tidak bisa terima ini, bukan kah kamu yang menginginkan cinta? Aku sudah memberikan cintaku untuk kamu, aku bahkan telah memberikan diriku kepada kamu. Tidak kah kamu tahu kalau aku sangat mencintai kamu, Daffin.”
“Lupakan mengenai perasaan kamu, Anya. Kamu masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan cinta yang lain, tidak ada yang bisa kamu harapkan dariku. Aku sudah mulai mendapatkan cinta dari istriku dan aku tidak ingin kehilangannya. Tolong maafkan aku, aku juga tidak ingin terlihat jahat seperti ini,” ucap Daffin yang menyadari ada genangan air mata di pelupuk mata Anya.
“Aku harap kamu bisa mengerti. Satu lagi, tolong jangan pernah mendekati keluargaku terutama istriku. Hatinya pasti akan sangat hancur jika mengetahui aku pernah mengkhianatinya seperti ini.”
Puas berucap, Daffin lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.
“Sakti, siapkan mobil. Aku akan pulang ke rumah sekarang,” titah Daffin.
Lalu ia segera berlalu meninggalkan ruangannya tanpa ingin peduli lagi pada Anya yang masih terdiam penuh dengan rasa kekecewaan.
“Aku sudah memastikan hatinya hancur berkeping-keping,” gumam Anya sembari mengepal tangannya dengan kuat melampiaskan hasrat kemarahannya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
kimraina
Ternyata oh ternyata . . Gayung pernah bersambut jg 😭
2023-07-04
1
Fatisya
emang bener bener minta di gampar si anya ini..
🤬🤬🤬
2023-06-30
1
😺 Aning 😾
Anya... km smkin tidak tahu diri.
2023-06-17
1