Raldy tiba-tiba mendapat sebuah panggilan telepon dan ia terlihat langsung menjawab panggilan tersebut. Selanjutnya Nevan mendatangi Elvira dan Raldy, kehadirannya langsung disambut hangat oleh senyum Raldy di sela pembicaraannya dengan seseorang via telepon.
Sedangkan Elvira terlihat membuang muka saat menyadari kehadiran Nevan. Ia masih marah karena kelakuan Nevan yang sudah berani mengizinkan Anya menjaga Daffin waktu itu.
“Iya, saya segera ke sana.” Raldy segera menutup sambungan telepon.
“Bagaimana Dok, perkembangan kondisi pada kaki kakak ipar saya?” tanya Nevan basa basi, lebih tepatnya menegaskan jika Elvira adalah seorang yang telah bersuami.
“Sepertinya masih terlalu sulit untuk melatihnya berjalan. Oh ya, beruntung sekali kamu datang,“ jawab Raldy. Lalu ia mengarahkan diri kepada Elvira.
“Saya harus pergi sekarang, ada hal mendesak. Saya permisi dulu.” Raldy segera berpamitan.
“Sepertinya kamu sudah cukup mendapat angin segar,” ujar Nevan.
Lalu ia langsung saja mendorongkan kursi roda Elvira dan membawanya segera meninggalkan area tersebut.
“Sudah merasa cukup kan kencannya?” sindir Nevan membuat Elvira mendelik heran.
“Apaan sih, sudah ku bilang jangan bicara denganku lagi!” ketus Elvira.
“Hati-hati jika hendak berkencan di tempat umum, orang-orang yang mengenal kamu mungkin akan berpikiran jika kamu sedang berselingkuh,” kata Nevan terdengar menyebalkan di telinga Elvira.
“Selingkuh? Siapa yang selingkuh? Apa aku terlihat seperti orang yang sedang selingkuh? Siapa yang sebenarnya berselingkuh?!” tanya Elvira heran dengan meninggikan nada bicaranya karena terbawa emosi juga terbawa perasaan.
Kerasnya suara Elvira tersebut ternyata mampu memancing pendengar yang berada tidak jauh darinya. Menyadari itu Elvira malu sendiri dan bersumpah akan menutup mulutnya.
Sementara Nevan hanya terheran melihat emosi Elvira yang menggebu-gebu. Hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah lift, Elvira tidak tahan lagi untuk berucap.
...----------------...
Tidak lama kemudian, Elvira dengan ditemani oleh Nevan sudah tiba di ruangan tempat suaminya dirawat. Sebelumnya ia meminta kepada Nevan untuk terlebih dahulu menenaminya menjenguk Daffin.
“Sudah berapa hari kenapa dia belum sadar juga? Mas, aku benar-benar berharap kamu segera sadar. Tolong bangunlah,” lirih Elvira yang menatap Daffin dengan nanar.
Ia segera memegangi tangan suaminya itu, tangan yang bahkan selama ini jarang ia pegang saat berada di sisi Daffin.
Tiba-tiba terlintas dalam ingatannya tentang sebuah foto yang diperlihatkan oleh Anya waktu itu, kini membuat matanya kembali berair. Ditambah lagi teringat perkataan Anya saat itu.
“... jangan marah kepadanya, salahkan diri kamu sendiri ...”
“Maafkan aku,” ucap Elvira sembari mencium tangan Daffin dengan rasa penyesalan yang mendalam.
“Aku ingin kamu tetap berada di sisiku, cepatlah bangun. Setelah kamu bangun nanti,mari kita duduk bersama dan bicara, ya? Ada banyak hal harus kita bicarakan.” Elvira berbicara seolah Daffin sedang mendengarnya.
“Kak Daffin pasti akan segera bangun, aku yakin dia akan bangun,” ujar Nevan berkeyakinan.
“Ya, dia harus bangun, aku pasti akan menantikannya. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, banyak hal yang ingin kuperiksa kebenarannya.” Elvira lalu melepas kembali tangan Daffin.
“Saat nanti aku sudah kembali ke rumah, tolong jaga mas Daffin dengan baik,” pinta Elvira kepada Nevan.
“Tentu.”
“Nevan, terima kasih ya, dan maaf karena aku suka marah-marah sama kamu,” ucap Elvira, sedangkan Nevan hanya terdiam sembari menatapnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Elvira tersenyum bahagia saat melihat Dewanti datang menemuinya.
“Sayang, bagaimana kabar kamu? Sudah jauh lebih baik kan?” tanya Dewanti penuh perhatian.
“Iya Oma, aku sudah merasa jauh lebih baik,” jawab Elvira melempar senyum.
“Oma ada kabar gembira buat kamu. Tadi Oma sudah mengobrol dengan dr. Raldy, katanya kamu sudah boleh pulang, Oma kesini mau jemput kamu.”
“Iya, Oma.”
Elvira terlihat bingung harus senang atau tidak, ia memang bosan berada disini tapi disisi lain ia juga masih mengkhawatirkan kondisi Daffin, ia juga khawatir jika Anya akan terus datang untuk menjenguk suaminya itu.
“Oma akan fokuskan perawatan untuk kamu di rumah saja. Nanti kamu bisa kesini lagi untuk menjenguk Daffin.”
Elvira mengiyakan saja perkataan Dewanti.
Sementara itu di ruang rawat Daffin. Perhatian Nevan teralihkan kepada Meisya yang masuk ke ruangan. Meisya yang merasa khawatir langsung saja mendekat ke arah Daffin.
“Apa dia masih belum sadar juga?’ tanya Meisya.
“Iya, Ma. Sebenarnya ada berita buruk, dokter menyatakan kak Daffin koma,” ungkap Nevan.
“Apa? Koma?”
“Dokter belum bisa memastikan kapan dia akan bangun dari komanya.”
“Daffin, bagaimana bisa? Kenapa kamu harus mengalami hal ini?” lirih Meisya yang kini terisak.
“Oma sudah tahu?” tanya Meisya di tengah isak tangisnya.
“Aku belum memberitahu siapapun. Ma, Kak Daffin pasti bertahan, aku yakin dia orang yang kuat,” kata Nevan mencoba menenangkan Meisya.
“Iya, semoga kakak kamu cepat bangun ya,” harap Meisya.
“Mama sendiri aja kesini?”
“Mama tadi sama oma, oma ada di kamar Elvira katanya mau membawanya pulang hari ini.” Meisya bercerita dengan raut wajah sedih.
“Oh gitu.”
“Mama berharapnya Daffin yang bisa cepat bangun dan pulang ke rumah, bukannya dia.”
“Mama jangan ngomong gitu, kak Elvira kan menantu mama.”
Meisya hanya terdiam kesal saat mengingat tentang menantu yang tidak pernah disukainya itu, ia pun memilih lebih fokus menatap Daffin yang masih koma.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Elvira yang kini sudah kembali ke rumah sedang berada di kamarnya dan Daffin. Ia memandang menghadap ke sebuah dinding salah satu sisi kamar dimana terpajang rapi sebuah fotonya bersama Daffin yang diambil pada saat hari pernikahan mereka.
Ia teringat memang saat itu ia menikah dengan suaminya tanpa ada perasaan cinta sedikit pun namun kini ia hanya bisa merindukan kembali masa itu, rasanya ia ingin memperbaiki semuanya.
Tetapi saat teringat kembali penuturan dari Anya, membuatnya sangat kecewa. Meski sudah tidak harus berada di ranjang rumah sakit, Elvira tetap saja merasa gelisah.
Sebuah ketukan pintu dari luar mengejutkannya, dari arah pintu yang terbuka ada seorang asisten rumah tangga.
“Nyonya Elvira, makanan sudah siap di meja makan,” kata Mirah, seorang wanita paruh baya yang sudah setia puluhan tahun melayani dan menjadi seorang yang dipercaya di keluarga ini.
“Iya, Bi.”
Lalu Mirah masuk untuk menjemput dan membantu mendorongkan kursi roda Elvira.
Hingga sampai meja makan, Elvira masih belum melihat keberadaan Dewanti padahal makanan sudah tersaji di atas meja.
“Oma belum keluar ya?” tanya Elvira.
“Mungkin sebentar lagi,” jawab Bi Mirah, lalu ia segera permisi.
Derap langkah bunyi hentakan sepatu yang berjalan mendekat ke arahnya membuat Elvira menengok, ternyata Meisya yang baru saja pulang ke rumah dan ia menghampiri Elvira saat melihatnya dari kejauhan.
“Mama, ayo kita makan malam bareng,” ajak Elvira.
“Masih bisa kamu enak-enak makan disini? Sementara putraku masih saja tak sadarkan diri. Istri macam apa kamu?” ketus Meisya yang hampir selalu saja tersulut emosi saat melihat Elvira.
“Meisya, kamu ini apa-apaan? Kita juga disini turut sedih,” bela Dewanti yang baru saja bergabung dengan mereka.
Merasa malas berdebat dengan mama mertuanya, Meisya memilih pergi saja menuju kamarnya. Sementara Elvira masih terdiam diri karena perkataan yang tidak mengenakan dari Meisya.
Meski mama mertuanya itu sering melakukan hal seperti ini; bersikap ketus kepadanya, Elvira selalu berusaha menahan diri karena masih menghormati Meisya, walaupun ia juga punya batas kesabaran.
“Elvira, ayo kita makan,” ajak Dewanti.
“Iya, Oma.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari berganti.
Hari ini Sakti menemui Elvira di kediaman keluarga Arkatama karena Elvira yang memintanya. Selain berhubungan baik sebagai atasan dan bawahan, bagi Elvira, Sakti sudah sangat ia percaya dan bisa dijadikan teman untuk sekedar bercerita.
Elvira pun menceritakan apa yang baru ia ketahui dari Anya kepada Sakti. Sakti tampak sangat terkejut setelah mendengar penuturan dari Elvira.
“Saya benar-benar tidak mengetahuinya, kenapa dia bisa melakukan itu terhadap Bu Elvira,” ujar Sakti tidak habis pikir.
“Sakti, aku mohon jangan sampai ada yang tahu mengenai masalah ini ya. Aku percaya sama kamu, aku berpikir akan mengatasinya sendiri.Terima kasih sudah mau mendengarkanku.”
“Meski dia melakukan kesalahan besar seperti itu, saya yakin cintanya kepada Bu Elvira tidak akan pernah berubah. Saya juga tidak bisa membenarkan perbuatannya yang jelas menyakiti hati Bu Elvira. Saya tidak memiliki kapasitas apapun dalam masalah hubungan kalian, tapi percayalah, pak Daffin sangat mencintai dan selalu mengutamakan Bu Elvira. Setidaknya itu yang saya ketahui, tolong maafkan dia.”
Elvira mengangguk mengiyakan.
...----------------...
Beberapa saat kemudian, Sakti sudah tiba di kantor Arkatama grup dan menemui Anya di sebuah ruangan.
“Anya,” panggilnya. Segera perempuan itu menghampiri.
“Iya, ada apa ya Pak?” tanya Anya yang bersikap seperti biasanya.
“Kenapa kamu melakukan itu?” tanya Sakti dengan raut wajah terlihat marah kepadanya.
“Maksudnya, melakukan apa ya?”
“Kenapa kamu mengganggu pak Daffin? Anya, kamu tahu kan yang kamu lakukan itu salah. Apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian?!”
“Saya tidak pernah mengganggu pak Daffin, dia sendiri yang menginginkan saya,” jawab Anya yang sudah mengerti maksud dari pertanyaan Sakti tersebut.
“Tapi tetap saja kamu tidak boleh mengusik rumah tangga mereka, kamu kan tahu jika pak Daffin sudah memiliki istri yang sangat dia cintai.”
Anya hanya menyeringai mendengarnya, ia tak terima saja rasanya selalu disalahkan karena hadir di tengah hubungan pasangan suami istri itu.
Padahal ia berkeyakinan dalam hatinya jika Daffinlah yang lebih dulu menggodanya hingga ia terpikat dan seakan tidak bisa lagi untuk melepaskan Daffin.
“Apapun yang terjadi di antara kalian berdua, jangan pernah mengharap lebih. Kamu harus tahu batasan kamu di mana dan kamu tidak akan pernah bisa mendapatkannya sampai kapanpun.” Sakti melanjutkan perkataannya sebelum akhirnya pergi.
Tiba-tiba Anya mendapati ponselnya berbunyi, sebuah panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenalinya.
“Halo,” jawab Anya, lalu ia mendengarkan perkataan yang diucapkan oleh seseorang di seberang telepon yang membuatnya tertegun.
“Iya, saya mengerti. Saya akan segera ke sana.”
Setelah menutup teleponnya, terlihat jelas dari raut wajahnya yang sangat cemas sembari memikirkan sesuatu yang akan dihadapinya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
kimraina
Hmm 🤔 sapa ya kira2
2023-07-04
1
😺 Aning 😾
Semngat Elvira... smga cpat smbuh.
2023-06-17
1
ᴏᴋᴋʏʀᴀ ᴅʜɪᴛᴏᴍᴀ
siap Kak👌😚
2023-05-12
1