Daffin langsung bangkit dari duduknya dan Elvira yang masih tertegun menatapnya menyorot selembar kertas yang masih dipegang oleh Daffin.
Sedangkan Sakti yang tidak menduga pertemuan Anya dan Daffin di dalam ruangan turut mematung melihatnya.
“Sayang,” sapa Daffin kepada istrinya.
Masih dengan menatap suaminya, Elvira lalu sedikit menambah langkah untuk menghampiri Daffin.
“Mas Daffin, kamu lagi ada tamu?” Elvira pura-pura bertanya meski ia langsung melayangkan pandangan tidak suka melihat Anya.
“Sayang, ini ...”
Daffin menahan ucapannya tiba-tiba karena baru menyadari sebuah kertas yang masih dipegangnya, akan tetapi Elvira sudah berada di dekatnya dan mendapati tatapan kecemasan dari suaminya itu.
“Bu Elvira,” sapa Anya dengan penuh hormat kepadanya.
“Sayang, kamu disini? Kenapa tidak memberitahuku?” tanya Daffin yang sedang berusaha menghilangkan rasa cemasnya di hadapan Elvira.
Daffin pun segera melipat kertas tersebut dan bersikap seolah-olah tidak ada sesuatu yang penting pada isinya.
“Apa aku harus memberitahu suamiku dahulu kalau aku ingin bertemu?” tanya Elvira balik.
“Tentu saja tidak, Sayang. Kamu boleh menemuiku kapan saja kamu mau. Maksud aku kalau kamu memberitahu akan datang, aku akan menyuruh orangku untuk menjemput kamu.”
“Tidak perlu, tadi aku bawa mobil sendiri. Ngomong-ngomong, apa ada hal penting yang sedang kalian bicarakan? Apa aku harus keluar dulu?”
“Sayang, tidak ada hal yang penting. Anya hanya melaporkan mengenai pekerjaan.”
“Oh ya?”
“Iya Sayang. Anya, kamu boleh keluar sekarang,” titah Daffin.
Anya langsung mengiyakan dan segera meninggalkan ruangan diikuti oleh Sakti yang turut keluar dengan menutupkan kembali pintu ruangan.
“Mas, kamu kenapa?” selidik Elvira yang mendapati raut wajah Daffin tampak tidak biasanya.
“Aku? Aku tidak kenapa-kenapa.” Daffin berlagak biasa saja.
“Sayangnya kamu tidak pandai berbohong seperti ini, Mas.”
Elvira langsung merebut kertas yang ada di tangan Daffin, rupanya dari tadi sembari Elvira basa basi menyapa mereka, ia sudah memperhatikan raut wajah keduanya yang tampak gugup seperti menyembunyikan sesuatu yang sangat penting.
Elvira selalu berharap kecurigaannya salah, namun baginya tidak ada salahnya jika ia memeriksa isi kertas tersebut.
“Apa isinya?” tanya Elvira.
“Bukan apa-apa, Sayang. Hanya laporan biasa. Sini, lebih baik kita pergi keluar sekarang, bagaimana?” ajak Daffin sembari mengambil kembali kertas tersebut dari tangan Elvira.
“Kamu menyembunyikan sesuatu dariku, Mas?”
“Tidak ada, Sayang,” elak Daffin.
“Kembalikan kertas itu, aku ingin melihatnya,” pinta Elvira menadahkan tangannya.
“Sayang, ini bukan apa-apa.”
“Biarkan aku melihatnya.” Elvira menyadari ada sesuatu yang mengganjal, makin ia memaksa Daffin untuk memperlihatkan isi kertas tersebut, Daffin malah semakin panik.
“Sayang,” tahan Daffin.
“Berikan padaku!” pinta Elvira dengan tegas, Daffin akhirnya mau menyerahkannya dengan pasrah.
Elvira membuka dan melihat isinya, detik berikutnya ia menarik napas berat seraya memejamkan mata sebentar. Tetap berusaha menahan gejolak api amarah yang mulai membara karena kemungkinan mendapati kebohongan Daffin lagi yang kali ini sungguh sangat mampu membuat hatinya hancur berkeping-keping.
“Sayang,” lirih Daffin yang langsung bersimpuh di kakinya karena Elvira mengetahui kebohongannya kali ini.
“Mas, Anya sedang hamil? Usia kandungannya dua bulan lebih. Untuk apa seorang sekretaris memberikan surat hasil pemeriksaan ini kepada atasannya? Apa itu anak kamu?” tanya Elvira.
Daffin bahkan tidak sanggup mendengar lemparan pertanyaan dari istrinya itu melainkan ia hanya bisa terdiam penuh penyesalan.
“Katakan saja. Mas, aku sedang bertanya!”
Elvira mulai menekankan kata-katanya karena Daffin hanya terdiam saja, semakin melihat Daffin bungkam semakin Elvira mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan pahit lagi dalam hidupnya.
“Aku bertanya sekali lagi, apa itu anak kamu?”
“Iya, Sayang. Maafkan aku,” sesal Daffin.
“Mas! Selama ini kamu masih membohongiku?”
Elvira merasa tidak bisa lagi menahan rasa kekecewaannya, apa yang baru ia ketahui ini membuatnya sangat terpukul apalagi ternyata selama ini Daffin masih saja membohonginya.
“Sayang, maafkan aku. Aku tidak tahu harus bagaimana mengatakan ini kepada kamu, aku sangat takut kamu akan meninggalkanku.”
“Kenapa kamu melakukan ini kepadaku, Mas? Kamu memberikanku semua kebahagiaan selama ini apa hanya karena untuk menutupi kebohongan kamu ini?!”
“Bukan seperti itu, Sayang.”
Elvira terburu melempar kertas tersebut dan bergegas untuk segera pergi meninggalkannya akan tetapi Daffin langsung menahannya dengan memeluknya dari belakang.
“Sayang, aku mohon dengarkan semua penjelasan ku,” tahan Daffin.
“Lepaskan aku, Mas.”
“Tidak, aku tidak akan melepaskan kamu sebelum kamu mendengarkan penjelasan dariku.”
“Kalau kamu tidak mau melepaskan ku sekarang, aku tidak akan pernah mau bicara lagi dengan kamu,” ancam Elvira yang membuat Daffin dengan terpaksa melonggarkan tangannya dari tubuh istrinya itu sehingga Elvira bisa leluasa untuk pergi darinya.
Sementara melihat dari cara Elvira pergi meninggalkannya membuat Daffin merasa jika istrinya itu kini memiliki kekecewaan yang teramat sangat kepadanya.
Rasanya ia tidak sanggup lagi untuk mengejar Elvira melainkan hanya bisa tertegun memandang punggung Elvira yang sudah menjauh dan menghilang di balik pintu ruangannya.
---
Elvira yang berjalan dengan tergesa sambil menahan amarah yang seakan memuncak membuatnya tidak bisa lagi memedulikan sapaan dari beberapa orang karyawan yang mengenalnya.
Begitu pun Sakti yang turut menyapanya, namun Elvira tidak menggubrisnya sehingga meninggalkan pertanyaan di benak Sakti apa mungkin terjadi sesuatu pada mereka.
Elvira yang kini sudah memasuki lift lalu mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang, ia menunggu beberapa saat sampai panggilannya tersambung.
“Mengenai tempat yang sudah saya pesan untuk hari ini, tolong batalkan saja,” pinta Elvira.
“Baik, Bu Elvira,” sahut seseorang di seberang telepon.
...----------------...
Malam harinya saat Elvira baru pulang dari tempat kerjanya, ia mendapati anggota keluarganya termasuk Daffin sudah tampak berkumpul di sebuah ruang keluarga yang berdekatan dengan jalan menuju kamarnya.
Terlihat mereka sedang mengobrol biasa membahas sesuatu layaknya sebuah keluarga pada umumnya.
Elvira tidak berfokus memperhatikan sehingga ia tidak tahu inti dari pembahasan mereka, dan hal itu juga sedang tidak menarik perhatiannya.
“Elvira, kamu baru pulang? Kamu sudah makan malam?” tanya Dewanti penuh perhatian.
“Iya, Oma. Aku sudah makan karena ada kegiatan dari di luar,” jawab Elvira.
“Cepat mandi dulu sana, nanti ikut mengobrol di sini ya,” ajak Dewanti.
“Mm, maaf ya Oma, aku merasa agak lelah dan pusing. Aku akan langsung istirahat saja,” tolak Elvira dengan halus.
“Sayang, apa kamu sakit? Aku antar ke dokter ya?” Daffin terlihat mengkhawatirkannya.
“Tidak perlu, Mas. Aku hanya perlu untuk istirahat, kalian lanjutkan saja mengobrolnya.”
Elvira pun segera permisi untuk terus berjalan menuju kamarnya.
“Sudah lah Daffin, biarkan saja dia. Dia juga kan yang memilih mau mengurus yayasan, kalau lelah dalam pekerjaan, itu sudah jadi resikonya.” Meisya ikut menyahut menahan Daffin yang hendak menyusul Elvira.
“Iya, Ma.”
“Oh ya, Nevan. Kamu akhir-akhir ini jarang tidur di rumah, apa kamu tidur di apartemen kamu?” tanya Dewanti kepada Nevan yang turut duduk bersama mereka.
“Iya, Oma. Aku sangat menyukai kamarku yang di sana. Pemberian kak Daffin memang tiada duanya,” sahut Nevan memuji kebaikan kakaknya.
“Hmm, tapi tetap saja jauh lebih nyaman tinggal di sini kan? Karena kita bisa berkumpul seperti ini, daripada kamu tinggal di sana sendirian,” ujar Meisya.
“Iya, Mama.” Nevan mengiyakan saja.
“Daffin, bagaimana pekerjaan di kantor? Kamu kan akan ada proyek besar lagi?” tanya Dewanti.
“Iya, Oma. Sejauh ini semuanya berjalan baik tanpa ada kendala,” jawab Daffin.
“Hebat kamu,” puji Dewanti.
“Mama kalau mau memuji putraku, sesekali juga harusnya memuji mamanya dong,” saran Meisya.
“Kamu masih mau mendapat pujian dari Mama? Kamu sudah banyak mendapatkan pujian dari orang-orang di luar sana. Mama berharap sebagaimana kamu menunjukkan martabat diri kamu yang baik di depan orang-orang, sebaiknya juga bisa kamu terapkan di rumah ini,” sindir Dewanti yang kerap mendapati perkataan tidak menyenangkan Meisya kepada Elvira.
“Iya, Ma.” Meisya merasa malas mendebatnya memilih mengiyakannya saja.
Tanpa mereka semua ketahui, saat ini Daffin masih saja tidak bisa berhenti memikirkan tentang masalahnya dengan Elvira.
Tubuhnya memang berada di sini bersama keluarganya, akan tetapi pikirannya masih terus mengingat Elvira entah apa yang sedang Elvira lakukan di kamar.
...----------------...
Setelah beberapa saat Daffin bersama mereka, ia pun lalu memutuskan untuk segera meninggalkan mereka untuk pergi ke kamar. Setibanya di kamar, ia sudah mendapati Elvira yang tampak termenung sendiri duduk bersandar di atas tempat tidur.
“Sayang.” Daffin menghampirinya, namun seperti mendapat penolakan dari Elvira yang langsung membuang muka.
Kalau saja tidak memikirkan dan menjaga perasaan anggota keluarga lainnya di rumah ini, Elvira bersumpah ia sudah pasti tidak akan pulang ke rumah malam ini.
Ia tetap berprinsip, bagaimanapun permasalahan yang sedang ia hadapi bersama suaminya, sedikit pun ia tidak ingin yang lain turut mengetahuinya.
“Aku ingin bicara,” ujar Daffin.
“Aku mau istirahat,” sahut Elvira yang bersikap dingin terhadapnya.
Tanpa memedulikan lagi tentang suaminya, Elvira pun menarik selimut dan berbaring membelakanginya meski ia tahu hal ini akan terasa sangat tidak nyaman karena harus tidur satu ranjang dengan orang yang saat ini paling ingin ia hindari untuk sementara waktu.
“Sayang, aku mohon maafkan aku. Aku akan menjelaskan semuanya.” Daffin masih berusaha mengajaknya bicara namun tetap tidak mendapatkan tanggapan.
“Aku benar-benar minta maaf, aku tidak pernah bermaksud untuk membohongi kamu seperti ini. Aku juga baru tahu kalau ternyata dia hamil, aku juga sangat frustasi saat mengetahuinya sedangkan kamu sudah memaafkan ku atas kesalahanku yang lalu.
Daffin menghela napas sejenak sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “Aku hanya terlalu takut kehilangan kasih sayang dari kamu hingga aku tidak berani untuk membuat kamu kecewa lagi, kamu tahu kan betapa selama ini aku sangat mendambakan cinta dari kamu.”
Daffin menuturkan dengan nada terdengar lirih, dalam benaknya entah Elvira mau mendengarkannya atau tidak.
Sementara Elvira hanya bisa menitikkan air matanya dalam diamnya yang mendengarkan penuturan dari Daffin. Segala rasa marah, kecewa dan penyesalan kini berkecamuk menjadi satu di dadanya.
Terlepas dari semua kesalahan Daffin kepadanya, Elvira juga merasa sangat membenci dirinya sendiri karena menurutnya semuanya juga berawal dari kesalahannya.
Keadaan hubungan mereka yang runyam seperti ini mampu menciptakan jarak di antara mereka hingga mereka harus menjalani hari-hari yang terasa tidak bisa sehangat dulu lagi.
Meskipun Daffin tetap berusaha meraih maaf sekaligus cintanya lagi, tak lantas membuat Elvira bisa meredamkan kekecewaannya.
Semua senyum serta bentuk perhatian yang ditunjukkan di depan anggota keluarga lainnya terutama kepada Dewanti nyatanya hanyalah menjadi pelengkap sandiwara saja dari hati yang kini sudah retak.
Bagaimanapun Elvira memikirkan, ia masih belum bisa menemukan jalan keluar dari permasalahan ini. Ia bisa saja mendapatkan Daffin kembali, namun ia juga tidak bisa membiarkan Daffin melepas tanggung jawabnya terhadap anak biologisnya itu.
Akan tetapi, Elvira juga merasa tidak sanggup menerima Daffin lagi karena mengetahui kenyataan suaminya memiliki anak dengan perempuan lain sangatlah menyakitkan baginya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Fatisya
🎶Sakit tak sanggup
Sadarkah kita terlalu hancur
Hilang habis tak bersisa
Tapi tak mampu kumenyerah
Tertawan hati ho🎶
langsunglah ku nyanyi lagu itu abis baca part ini...
biar lebih mendramatisir
2023-07-03
1
😺 Aning 😾
haduhhh mkin runyam...cinta yg serba salah ini.
2023-06-25
1
😺 Aning 😾
pandainya kau daffin 👊👊👊
2023-06-25
1