Bubur susu buatan Bibbi enak sekali, mungkin karena lapar, aku jadi rakus. Kuseruput pelan bubur hangat ini sambil melatih indera perasaku supaya pulih. Memang benar enak!
"Sudah berapa lama aku di sini?" Tanyaku pada Bibbi. Gadis itu mengacungkan tiga jari sambil tersenyum. Ia terlihat sedang memilah-milah tanaman dan beberapa kantong tanah, lalu mengkategorikan sesuai namanya, dan menyimpan mereka ke dalam wadah kaca. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Bibbi mendekat ke arahku dan memeriksa suhu tubuhku. Aku yang masih berbaring, tentu saja merasa pusing. Bibbi menyuruhku untuk tetap beristirahat, selagi ia menumbuk beberapa tanaman obat untuk meredakan gejala pusingku.
Tangan kecilnya begitu lihai menghaluskan tumbuh-tumbuhan dan beberapa daun dengan alu. Tidak ada yang menyangka gadks bertubuh kecil itu memiliki lengan yang kuat. Aku mengamatinya dengan setengah terpejam karena masih tak enak badan. Bibbi lalu membalurkan ramuan obat itu ke dahi, leher dan meminumkannya padaku. Rasanya pahit. Sangat tidak enak. Ia membuat gerakan 'meminum dan mengelus-elus perut di udara' yang kutaksir artinya adalah 'minumlah, supaya perutmu enak'. Bibbi kemudian duduk di sebelahku dan memegangi tanganku, memastikan aku nyaman dalam perawatannya.
Aku pun tertidur. Perutku menjadi enak, tidak begah, dan sakit kepalaku berkurang. Sungguh ramuan yang ajaib.
*
'Pukul berapa ini?' aku terbangun kembali setelah beristirahat. Badanku masih sakit semua, namun, pusingku berkurang. Dadaku juga sudah tak terasa nyeri. Aliran nafasku normal kembali. Kuamati sekeliling, hanya dinding bebatuan, dengan beberapa tanaman herbal, alu, lesung, dan barang bawaan Bibbi. Ada api unggun kecil yang menghangatkan ruangan, ia juga berfungsi sebagai alat masak untuk membuat makanan dan minuman hangat selama tinggal disini. Aroma kayu dan tanah lembab tercium dari sini, sepertinya ini adalah pondok tua atau semacamnya yang memiliki gaya bangunan bebatuan.
Aku mencoba bangkit dari tidur dengan posisi duduk. Ketika hendak berdiri, kakiku kram.
Brugg!!
Aku terjatuh. Rupanya cukup lama aku terbaring di sini, sampai respon tubuhku begitu payah. Kuregangkan otot kaki dan tanganku seperti hendak berolahraga. Aku jadi teringat sesi latihan pedang bersama Razan sebelum ia resmi menjadi ajudan kakak. Ilmu bela diri pemula memang wajib dipelajari anggota kerajaan sebagai bentuk pertahanan diri. Karena, tak selamanya kami bisa mengandalkan para ksatria. Yah, seperti saat ini. Sisa penculikan yang menyebalkan!
"Huahhhh!!!"
Kini aku merasa agak bugar. Aku mencoba melatih kakiku untuk berjalan. Satu, dua, tiga langkah. Lumayan. Aku duduk kembali. Begitu terus, hingga beberapa menit lamanya. Lalu menghidrasi tubuh dengan air yang tersedia di samping alas tidur. Baru kali ini aku tidur beralaskan jubah tebal. Dan pakaianku berasal dari selimut tipis.
Bibbi bilang, pakaianku basah ketika pertama kali ditemukan. Namun, demi efisiensi pengobatan, selimut ini akhirnya yang kupakai terus-terusan karena gaun bagus hanya akan memperlambat sirkulasi darah. Sepertinya Bibbi belum sadar jika aku adalah tuan putri sebuah negara. Baguslah. Aku masih belum bisa sepenuhnya percaya dengan siapapun di tanah asing ini.
"Segarnya,"
Akhirnya aku bisa melangkah hingga ke luar pondok. Udara begitu segar menerpa wajahku. Oh! Rupanya aku tidak keluar dari pondok. Itu adalah gua! Rupanya, selama ini Bibbi dan aku berada di dalam gua! Whoa! Siapa yang mengira? Kupikir bebatuan itu hanya hiasan. Rupanya batu alam. Dalam hati aku tergelitik, bisa juga aku tinggal di sebuah gua. Sesampainya dari sini. Aku akan menceritakannya pada Moti.
'Moti. Oh. Dimana gerangan dia? Dan Mark. Tidakkah kau mencariku?'
*
Tiba-tiba ada yang menyentuh bahuku.
"Bibbi!"
Ia tersenyum dan menunjukkan burung yang sudah mati.
"Apa itu??????" Aku terkejut. Ia tertawa. Lalu mengayunkan dua tangannya ke atas ke bawah sambil mengunyah.
"Itu buat dimakan???" tanyaku terheran. Bibbi mengangguk. Aku agak ngeri membayangkannya. Selama ini, yang kutahu makanan sudah dalam bentuk matang.
Bibbi kemudian menyiramkan air panas, mencabuti bulu-bulunya, dan melumuri daging burung itu dengan minyak mentega, garam dan lada.
'Kita tunggu dulu selama satu jam, baru kita bakar untuk makan malam,'
Aku menyuruhnya menempelkan tangannya pada liontinku karena malas menerjemahkan bahasa isyarat. Capek juga rasanya. Begini lebih praktis.
"Baiklah, Bibbi. Sekarang. Ayo kita bicara,"
Kami masuk ke dalam gua, karena hari akan gelap. Langit terlihat kemerahan. Cahaya matahari telah memudar. Burung-burung camar tampak beterbangan kembali ke sarang mereka. Suasananya cukup indah, sebenarnya. Namun, jika melihat sekeliling, keindahannya menjadi sirna. Pulau ini tidak indah seperti pulau-pulau yang pernah kukunjungi. Banyak pohon yang telah mati. Rumput-rumput juga mengering. Sumber air pun minim, terlihat ada danau tak jauh dari sini yang berubah menjadi cekungan tanah gersang. Mungkin pulau ini sudah tak berpenghuni. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan dari warga sekitar, satwa-satwa pun tak ada. Hanya ada serangga dan burung-burung. Sunyi sepi. Jika tidak terdampar, mungkin seumur hidup aku tak mau berada di pulau ini.
*
"Oke, Bibbi. Sekarang ceritakan padaku, bagaimana kita bisa jadi keturunan penyihir?"
'Baiklah, pertama aku ingin menceritakan kisah pulau ini terlebih dahulu'
'Seribu tahun yang lalu terjadi kekacauan di Benua Britani. Para penyihir dibantai habis-habisan oleh Panglima suci karena telah membunuh kaisar. Sebetulnya kita bukan orang jahat. Yang membunuh kaisar adalah oknum. Dia berkeinginan untuk menguasai benua. Namun, rencananya gagal. Ia dibunuh oleh Panglima Suci. Jantungnya terbelah. Lalu, Penyihir hebat itu tertidur selama ratusan tahun lamanya di pulau ini, Gene Island. Menurut nenek buyut, Gene Island dulu adalah pulau yang sangat asri dan sejuk juga memiliki biosfer mana yang kuat. Ketika sekarat, penyihir hebat dievakuasi ke sini. Ia pun menjadi pohon besar yang menyerap seluruh energi mana pulau ini. Meski tak semua menjadi gersang. Namun, karena tidak bisa memulihkan diri, selatan pulau menjadi kering tak tersisa, karena pohon besar berada di selatan, tempat kita saat ini,'
Aku tertegun menyimak penjelasannya. Bibbi seperti ensiklopedia berjalan. Aku memberinya isyarat untuk melanjutkan.
'Nah, para penyihir yang selamat dari Perang Blood Moon, tersebar di berbagai penjuru. Kami tidak bisa hidup berkelompok karena takut ketahuan. Kami biasa berkomunikasi secara rahasia melalui liontin sihir. Jika disentuh, kita bisa berbicara tanpa bersuara,'
Aku terperangah tak menyangka. Lalu kujelaskan bahwa, liontin ini bukan milikku. Ini milik ibuku. Bibbi terkejut.
'Berarti ibumu seorang penyihir?'
"Entahlah... Ibuku meninggal sesaat setelah aku lahir. Aku juga baru mendapatkan liontin ini sebagai hadiah pernikahan,"
Bibbi mengernyitkan dahi mencoba berfikir. Lalu menanyakan apakah ada semacam petunjuk seperti kartu atau buku? Karena nenek buyutnya meninggalkan Bibbi liontin, buku, dan beberapa keping emas. Aku mengangguk keras. Kok sama banget! Ibuku juga meninggalkan perhiasan. Tapi barang-barangku ada di kereta. Kami menghela nafas panjang. Bibbi menepuk pundakku supaya tak bersedih.
'Tenang, mereka pasti akan menemukanmu. Aku akan coba cari info ke warga besok,' ujarnya menenangkanku. Kami berpelukan. Seperti bertemu saudara jauh yang hilang.
Bibbi lalu menceritakan tentang dirinya dan pekerjaan yang ia lakoni. Rupanya, Bibbi terlahir di Porthsmont. Malang, ayahnya lari bersama wanita lain dan meninggalkan keluarga tanpa tanggung jawab. Bibbi kecil hidup dalam kemiskinan bersama ibu dan seorang kakak. Ketika berusia 10 tahun, kakak Bibbi meninggal tertabrak kereta bangsawan yang sedang berlibur. Kala itu, kakak Bibbi sedang berjualan kue buatan ibunya. Ibu Bibbi terpukul dan bersedih lalu jadi sakit-sakitan. Setahun kemudian, Ibunya meninggal. Sebelum meninggal, Ibunya menyerahkan warisan nenek buyut Bibbi yang ada di dalam kotak. Bibbi terkejut, karena ada beberapa koin emas di sana. Ibunya tidak melihat apapun. Katanya, itu hanya sebuah buku dan rantai. Yang terlihat oleh Bibbi, itu adalah buku, kalung liontin biru dan sekantong koin emas. Rupanya, hanya keturunan terakhir dari seorang penyihir yang bisa mengenali benda-benda berkekuatan sihir. Ini karena mana penyihir hanya diwariskan pada perempuan terakhir di keluarga. Bermodalkan koin emas warisan nenek buyut, Bibbi belajar pengobatan tradisional di negri sebrang dan berhasil membuka kliniknya sendiri ketika berusia 15 tahun.
Aku takjub dengan perjuangan Bibbi. Meski tuna wicara dan mengalami trauma masa kecil, ia begitu tangguh dalam mempertahankan hidupnya. Bibbi juga tak segan menolong orang lain yang membutuhkan bantuan, sepertiku. Padahal kami tak saking kenal. Ingin sekali aku membawanya ke Cordovan dan menjadikannya tabib pribadiku. Aku akan menanyainya jika waktunya sudah tepat. Sekarang, aku harus berpikir bagaimana keluar dari pulau menyeramkan ini.
...****************...
(bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments