Raja Markian dan Putri Isyana tengah bersiap untuk bertolak ke Kerajaan Cordovan. Perjalanan mereka akan memakan waktu sekitar satu minggu menggunakan kereta kuda. Pelepasan sederhana dari pihak Kerajaan Puth membuat skenario perjalanan mulus dan lancar.
Rombongan Raja dan Putri terdiri atas empat buah kereta kuda, lima belas ksatria, serta dua panglima kerajaan untuk mengawal. Empat buah kereta rombongan itu antara lain: satu buah kereta kencana untuk Raja dan Putri, satu buah kereta untuk pelayan-pelayan putri, dan dua buah kereta barang.
Rombongan Raja dan Putri berangkat pada pagi hari. Jika rencana berjalan lancar, rombongan diperkirakan sampai di Desa Bhagya nanti malam. Desa Bhagya adalah desa perbatasan. Letaknya di timur ibu kota. Rombongan akan menginap di salah satu penginapan desa dan melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya.
"Putri, apa tidak lelah?" Raja Markian memandang calon istrinya yang terlihat pucat.
"Tidak, hanya sedikit mabok," jawabnya jujur. Raja Markian tersenyum.
Posisi duduk yang awalnya berhadapan, menjadi berubah. Sang raja berpindah ke sisi putri dan meletakkan kepala tunangannya itu di bahunya.
"Istirahatlah, maaf kalau aku tidak sopan,"
Putri terkejut namun tidak menolak bantuannya. Ia malah bersyukur karena sedari tadi memang bingung bagaimana cara terbaik untuk memejamkan matanya yang sudah tak kuat melek.
"Aku akan membalas budi lain kali," desisnya kemudian tak bersuara. Putri Isyana yang terkenal *****-- nempel lalu molor, tampak sangat menikmati perjalanan bersama Raja Markian.
Raja Markian tentu hanya tersenyum simpul dan mengelus kepala kecil Sang Putri. Ia tidak pernah mengira akan mengalami momen intim seperti ini. Hari-hari yang dilaluinya hanya memikirkan perburuan, intrik politik dan bagaimana menstabilkan pemerintah di Cordovan. Markian sama sekali tidak pernah mengharap romansa apapun dalam kehidupannya.
*
Di belahan dunia lain tepatnya di tenggara Kerajaan Cordovan, tampak sesosok wanita paruh baya sedang mengaduk-aduk ramuan di periuk besar. Perawakannya yang tidak begitu tinggi dengan wajah keriput dan murung, menjadikan auranya sangat suram. Jubah hitam dengan topi kerucut mengingatkan kita tentang gambaran penyihir di dongeng-dongeng kebanyakan. Sesekali ia menghirup ramuan dan meludahkannya diam-diam.
"Kurang terasa," gumamnya sambil menjilat-jilat centong kayu besar yang dibuatnya untuk mengaduk ramuan di periuk baja.
Wanita tua itu kemudian mencampur bahan lain dan mengaduk-aduknya kembali. Api biru besar menyembur dari dasar periuk baja. Bunyi klatak-klatak memekakkan telinga. Kayu bakar yang dipakai pun banyak sekali, sehingga ramuan itu nampak seperti akan hangus tak bersisa.
Asap mengepul pekat, bunyi klatak-klatak dari perapian masih terdengar. Ramuan bernuansa ungu itu terus mendidih. Terkadang sampai meluber-luber dan membasahi sekitarnya.
Tiba-tiba, terdengar ketukan dari balik gerbang menara tua.
Tok Tok.
"Masuklah,"
Terlihat seorang wanita muda dengan tas blacu di gendongannya, menyodorkan beberapa herba.
"Yha, letakkan di situ," Perintah wanita tua itu.
Wanita muda penjaja herba mengambil koin perak di atas meja, dan pamit pulang dengan menganggukkan kepalanya. Wanita itu tunawicara, dan mereka hanya berkomunikasi lewat bahasa tubuh.
Wanita tua yang seperti penyihir itu pun mencampurkan herba yang baru datang.
"Nah, selesai. Ramuan pembangkit jiwa, sudah selesai!" Soraknya gembira. Ia menari-nari bersama kucing hitamnya. Kucing itu tampak tak nyaman, sehingga malah mencakari majikannya.
"Dasar pus sialan!" umpat wanita itu sambil meringis kesakitan.
Tak lama, wanita itu menatap lekat-lekat lukisan tua yang tergantung di pojok ruangan lusuh. Lukisan bertuliskan "Penyihir Agung Maxi, 1765" itu tergantung gagah, meski bingkainya tampak lapuk dimakan usia.
Wanita itu sehari-hari hanya membuat ramuan, berbicara sendiri, dan menandai kalender bulan. Kalender bulan yang dibelinya dari wanita tunawicara selama sepuluh tahun terakhir, pada akhirnya memiliki tanda lingkaran. Tanda itu bertuliskan "Hari H".
Jika diamati, Hari-H pada kalender tersebut bertepatan dengan hari perayaan pernikahan Raja & Ratu Cordovan III.
"Master... Kali ini, aku pasti berhasil membangkitkanmu. Tunggulah. Bulan merah akan segera muncul,"
Monolognya dengan lukisan tua itu terdengar menyeramkan. Betapa tidak, seorang wanita tua tinggal di sebuah bangunan yang sudah lama kosong.
Bangunan Menara itu sebenarnya adalah sebuah menara Mercusuar. Menara itu terletak di Pulau Kecil Gene Island yang dibangun oleh Raja George V, penguasa Kerajaan Victor.
Kerajaan Victor yang terletak di tenggara Benua Britani itu juga telah runtuh. Sehingga, Gene Island tampak seperti Pulau Berhantu karena tidak ada yang menghuni sama sekali, kecuali wanita tua tadi, dan beberapa pelancong serta pemetik herba keliling yang mencari tanaman obat. Seperti halnya wanita tunawicara tadi, meski tidak tinggal di Gene Island, wanita itu rutin pergi ke sana untuk berburu herba segar.
Gene Island.
Pulau hantu.
Rupanya, benar ada misteri yang terkandung di dalamnya.
...****************...
...(bersambung)...
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments