Butterflies In My Stomach (POV MARKIAN)

Aku lelah setelah pesta semalam. Di Cordovan, pesta sangatlah jarang, dalam setahun, bisa dihitung jari pesta-pesta yang diselenggarakan di Istana Kerajaan.

Berbeda ketika Ratu Agung masih ada, pesta di Istana menjadi hal yang lumrah dan para bangsawan sangat menyukainya. Pesta di Istana biasa diadakan dua bulan sekali, termasuk upacara kedewasaan putra-putri bangsaaan, dan festival rakyat dengan membuka akses istana untuk umum. Biasanya, festival rakyat terjadi ketika ada perayaan ulang tahun anggota kerajaan atau pesta pernikahan. Selebrasi-selebrasi akbar seperti itu memakan waktu dan biaya dan menurutku tidak praktis.

Pesta terakhir yang diselenggarakan di Kerajaan Cordovan adalah pesta pertunangan ketika usiaku 15 tahun. Tunangan pertama dan terakhirku, Lady Lilibeth, mengalami kematian mendadak seminggu setelah kami bertunangan. Ini menjadi isu serangan faksi oposisi Duke Gonovan terhadapku yang disebut membawa kutukan maut penyihir bulan merah. Tentu saja aku tidak bisa menghukum mereka karena menghormati keluarga Duke Zenath yang kehilangan putri mereka. Tuduhan itu pun kubiarkan begitu saja karena tak ingin memperkeruh keadaan. Namun, sejak saat itu, tidak ada satu bangsawan pun yang ingin menikahkanku dengan anak perempuan mereka. Sehingga, pada akhirnya, terjadi kekosongan posisi Ratu selama 5 tahun terakhir.

Aku bukan orang yang mudah menyerah dengan keadaan, dan tetap menjalankan pemerintahan dengan semestinya. Hanya saja, tak bisa dipungkiri, urusan dalam istana menjadi agak berantakan. Tentu hal ini terjadi karena tak ada nyonya rumah yang mengatur. Untunglah, masih ada Luzelle, Kepala Pelayan Istana Ratu yang sedikit membantu perawatan dalam istana, dan juga Louis yang membantu manajemen Istana Utama, juga Helena dan beberapa pelayan lain. Untuk pemerintah dalam negri, Tuan Kewhin dapat menjalankannya dengan baik. Sedangkan, untuk pengamanan posisi dewan, Paman Rhonda dan sekutunya sudah cukup memiliki peran yang berarti. Aku sungguh beruntung, masih ada orang-orang yang bisa dipercaya, sepeninggalan pemerintahan Ratu Agung. Mereka adalah aset berharga kerajaan.

Peliknya masalah politik di Cordovan membuatku sesaat melupakan soal percintaan. Sampai-sampai Helena sangat cemas. Mengira diriku memiliki masalah hormon. Untung saja, tak lama, datanglah undangan dari Kerajaan Puth. Undangan resmi ini ditujukan untuk ikut serta dalam Festival Bunga Mekar yang diadakan sebagai seleksi calon pasangan putri.

Tok Tok

“Permisi, Yang Mulia, saatnya sarapan,” Seorang pelayan pria mengetuk pintu kamar dan mengantarkan sarapan ke kamarku.

Rupanya, di sini sarapan diantar ke kamar?

Agak berbeda dengan kebiasaan di Kerajaan Cordovan yang memulai sarapan di ruang makan.

“Apakah tidak ada makan bersama?” tanyaku pada pelayan pria yang mengaku bernama Khamim itu.

“Sarapan bersama hanya diadakan untuk anggota (keluarga) kerajaan, Yang Mulia,”

Oooh..jadi aku belum jadi anggota keluarga mereka?

“Baiklah, kau boleh pergi,”

Sarapan yang disajikan terlihat menggugah selera. Dua tangkup roti isi dengan selai buah, secangkir sirup madu, kopi, juga kentang dan daging asap. Ada lonceng juga yang diberikan untuk memanggil pelayan jika ingin menambah atau menginginkan menu lain selain yang disiapkan. Sepertinya, aku cukup kenyang dengan makanan ini. Sarapanku di Cordovan hanya secangkir kopi dan dua roti isi saja.

*

Tak terasa, hari sudah malam.

Setelah puas berkeliling Istana Langit dan mencoba mengamati, Aku mencoba menyimpulkan bahwa situasi di kerajaan ini memang sangat damai.

Pantas saja putri mereka begitu ceroboh dan naif, tidak memiliki tingkat kewaspadaan maksimum seperti penduduk Cordovan.

Tadu sore, ketika melintasi jalan setapak ke Taman Bunga, tak sengaja aku melihat Putri Isyana yang sedang berjalan-jalan. Tentu saja tidak kusapa, malas diajak ribut lagi. Tak kusangka, aku menyaksikan adegan tak terduga: Putri terjungkal.

Seorang pelayan tak sengaja menginjak gaun putri yang terjuntai, sehingga menyebabkan putri terjatuh, namun pelayan itu tidak dihukum.

Padahal, pelayan setianya, siapa namanya, Moti, kalau tak salah, sudah akan menampar si pelayan ceroboh tadi, namun dicegah oleh Putri. Samar-samar, kidengar, bahwa kejadian itu juga kesalahannya sendiri karena tak bijak memilih baju. Siapa suruh pakai gaun buat lari-larian? Begitulah yang ia katakan.

Aku menahan tawa, berapa umurnya? Kenapa dia berlari seperti anak kecil di Taman? Sungguh aneh.

Hal-hal yang jarang kulakukan di Cordovan, menjadi lebih sering kulakukan di sini. Kewaspadaanku menurun, bibirku jadi sering tersenyum, ekspresiku juga berubah-ubah. Sir Albert yang terbiasa menemaniku saja sampai terheran-heran. Bagaimana bisa seorang Raja Tiran menjadi ramah begini?

*

“…...............”

Wah siapa ini? Putri Isyana, kebetulan sekali ketemu di sini.

Sesosok wanita tampak berdiri di depanku, seolah terwujud dari khayalan, padahal aku sudah mencoba berhenti memikirkannya seharian.

Karena tak bisa tidur, aku mencoba mencari angin segar dengan berjalan-jalan ke luar Istana. Tak kusangka, rupanya bertemu Putri Isyana.

Putri Isyana tampak manis dengan jubah putih dan gaun tipis yang membungkus tubuhnya. Saking tipisnya, aku bisa melihat lekukan tubuhnya yang berbentuk dua bola besar….eh, tunggu…. Ini namanya pelecehan seksual! Astaga apa yang kupikirkan!

“Mau minggat lagi?”

Sial, kenapa sih ngga ada kalimat baik yang kuucapkan, kali ini dia pasti marah lagi.

Sudah jadi kebiasaan counter-attack ketika aku gugup dan berdebar-debar. Aku mendadak berubah menjadi pria brengsek. Kata-kataku tak karuan, inilah yang jadi alasan para lady kabur karena tak tahan padaku.

“Mohon maaf apa urusan anda nanyeak-nanyeak?” Jawabnya sambil berlalu.

Rambut hitamnya yang panjang dan ikal melambai tertiup angin. Aromanya yang pekat menerobos indera penciumanku. Wangi mawar yang menguar dari balik kibasannya mengingatkanku pada bunga kesayangan ibu. Putri Isyana berlalu begitu saja melewati seorang pria di tengah malam gelap. Memang ya, putri satu ini tidak ada bedanya dengan anak TK. Apakah karena ia selalu ceroboh seperti itu? Mengapa tidak pernah berfikir untuk hal terburuk yang bisa menimpanya? Dasar! Mau tak mau, sebagai calon suami, aku harus mengawalnya hingga ke tempat tujuan yang aman.

“Ngapain ngikutin saya? Anda bukannya mau ke arah lain?” tanyanya keheranan sambil terus berlalu tanpa memedulikan sekitar.

“Tidak, aku hanya mencari angin sebentar,”

Kali ini responku cukup lumayan, aku tidak ingin semakin dibenci. Tubuh mungil putri terlihat seperti sedang terbang. Juntaian gaun tidur yang ditutup jubah tebal berwarna gelap, tidak membuatnya terlihat menyeramkan, malah, ia tampak menggemaskan.

Aku tidak pernah melihat wanita yang begitu menyebalkan sekaligus cantik dan menawan sepertinya. Mungkin itulah yang menyebabkan ia berbeda dengan wanita lain. Emosinya yang seperti roller coaster namun tidak suka menindas bawahannya, menjadikan putri cocok dengan predikat penguasa. Belum ada Lady di Cordovan yang bisa mengajakku berantem selain Connelly, karena ia adalah teman masa kecilku. Lady lain tentu ingin menjaga martabatnya di depan Raja mereka dan berharap mendapatkan imbalan sepantasnya.

“Apakah anda akan ikut masuk ke sini?” tanya Putri melongok dari balik pintu betuliskan ‘Perpustakaan’.

“Ah, ya, boleh juga,” jawabku mengikutinya.

Putri berjalan pelan melewati koridor rak- rak buku di perpustakaan dan mengambil sebuah buku dari area Novel/Sastra. Ia kemudian membuka jendela besar di ujung ruangan, rupanya ada sebuah balkon! Tampak pemandangan malam yang indah terhampar di hadapannya. Suasana yang menenangkan dan menakjubkan.

“Boleh aku bergabung,” tanyaku.

“Nggak…..” jawabnya pasti.

Aku mengerti ia terganggu dengan kehadiran tamu tak diundang, tapi, aku juga sedang bosan. Apa aku harus minta maaf dulu ya atas kejadian kemarin? Akankah ia memaafkanku?

“Putri…Begini… Aku minta maaf,” ujarku memecah kesunyian.

Putri Isyana tampak memandangku sekilas, kemudian mengeluarkan peralatan merajut dan sebuah syal yang hampir jadi, lalu melanjutkannya.

“Oya, maaf untuk apa?”

“Sudah menyebut anda barang sisa,”

Ia kemudian menghentkan aktivitasya.

Ah, aku jadi mengerti perasaan Sir Albert yang selalu diam saja ketika Nyonya Dwayni mengomel. Seorang ahli pedang yang dijuluki monster di medan perang tiba-tiba berubah menjadi kucing di rumahnya. Pasti ini karena Sir Albert sangat menyayangi istrinya. Omelan dan kemarahan Nyonya Dwayni adalah kiamat rumah tangga bila tak segera selesai. Begitu pun situasi yang akan kualami beberapa bulan ke depan jika sudah resmi memilki makhluk yang bernama ISTRI.

“Baiklah, dimaafkan. Maaf juga juga sudah merusak potret anda, Yang Mulia,”

Akhirnya ia tersenyum, dan menyuruhku mendekat. Lehernya yang jenjang dan indah menjulur ke arahku, "Maukah anda ngemil bersama?”

Sesaat, jantungku serasa berhenti. Aroma mawar dari rambutnya, bercampur manis kekayuan yang menyeruak dari balik gaunnya membuatku sempoyongan. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Darahku serasa mendidih. Pipiku panas. Jantungku berdebar kencang.

“Baik…..” jawabku cepat dan menepuki pipiku supaya tidak hilang kesadaran. Putri tersenyum dengan sangat cantik. Ia mengeluarkan kantong kecil berisi biskuit dan kami memakannya bersama.

“Bolehkan kita bicara santai saja, Yang Mulia?”

“Kalau begitu, panggil aku Mark,”

“Panggil aku Izz. Terima kasih, Mark,”

Perasaan familiar yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

MARK.

Akhirnya ada yang memanggilku seperti itu.

Ah, aku rindu ibu.

“Syalnya bagus,” kulihat hasil rajutannya yang rapi dan penuh cinta. Apakah ia akan memberikan syal ini padaku?

“Makasih… Ini untuk hadiah,”

Benarkah? Dia akan memberikan ini padaku?

“Terima kasih,” sahutku.

Izz melongo.

“Y....Ya? Untuk apa?” tanyanya bingung.

“Apakah ini untukku?” tanyaku tak tahu malu. Ia tertawa.

“Maaf, bukan. Ini untuk seseorang yang akan berulang-tahun,” jawabannya membuatku berkecil hati. Padahal aku sudah mengharapkan syal itu menjadi milikku. Apakah harus kupenggal dulu leher orang yang akan berulang-tahun itu dan merebutnya?

“Jangan khawatir, aku akan membuatkanmu juga nanti,”

Rupanya batal, tak jadi kupenggal.

Kami menghabiskan malam dengan hati senang. Baru kali ini aku mengantuk. Tak sadar, aku tertidur di balkon perpustakaan. Samar-samar, wangi mawar berlalu, dan sebuah jubah besar nan hangat sudah menyelimuti tubuhku.

...****************...

(bersambung)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!