Bagian 15

"Kau selalu tidak becus mengurus hal seperti ini." Lena menghela nafas panjang mendengar tanggapan Prapto soal laporannya

"Saya sudah membantu banyak sampai anda berhasil mencapai titik ini."

"Tapi anak itu semakin hari semakin memberontak. Seharusnya kamu menjinakkan dia dengan cara lembut, bukan malah menyiksa nya." Prapto tidak membela dan malah menyalahkan sikap Lena terhadap Ella.

"Saya bukan Ibunya. Saya muak melihat anak itu."

Persekutuan sudah terjalin jauh sebelum Ibu Ella meninggal dunia. Prapto memang sengaja menghadirkan Lena untuk memuluskan rencana agar keinginannya seakan-akan terjadi begitu alami.

Kalau suatu hari terjadi sesuatu yang tidak di inginkan. Prapto bisa mengunakan Lena sebagai tameng untuk terlepas dari jeratan hukum.

"Percepat pernikahan. Mumpung ada kesempatan, sebab dia ingin saya pergi dari rumahnya."

Prapto mengangguk seraya menghisap rokok di tangannya. Dia tidak mau rencana kali ini gagal. Prapto sudah banyak mengeluarkan uang hanya untuk menjerat satu nama. Dia juga rela melakukan perencanaan pembunuhan terhadap kedua orang tua Ella agar tidak lagi ada penghalang.

"Aku akan menikahinya tiga hari lagi." Gumam Prapto tersenyum simpul. Membayangkan bagaimana keseruan saat melakukan malam pertama dengan gadis yang tidak hanya cantik namun cenderung melawan.

🌹🌹🌹

Ano sengaja berpura-pura ulang tahun agar Darrel bisa mempunyai alasan untuk memberikan makanan pada Ella. Mereka tahu kalau sejak pagi Ella belum mengisi perut meski wajah datar berusaha di perlihatkan.

Ella sendiri terbiasa membiarkan perutnya kosong. Bukan hanya sajian tidak manusiawi sebab Lena memang jarang memberikan makan.

"Makan dulu. Ini dari Ano, dia berulang tahun hari ini." Darrel meletakan satu kotak makanan ke meja. Jemari Ella berhenti mengetik, dia mendongak ke Darrel lalu mengedarkan pandangannya.

Sejak beberapa menit lalu dia terlalu fokus mengerjakan tugas dari Pak Ikhsan. Seharusnya tugas tersebut sudah di kumpulkan, tapi karena kemarin Ella tidak menyimak sehingga dia tidak mengerjakannya. Beruntung karena Ano berkata sudah merusak laptop Ella. Sampai akhirnya Pak Ikhsan memberikan kelonggaran waktu sampai siang ini.

"Letakkan di situ Kak, terimakasih." Agatha yang memperhatikan dari tempatnya duduk tentu merasa geram akan pemandangan di hadapannya. Dia memutuskan berdiri untuk berprotes pada Darrel.

"Biar ku bantu. Kamu makan dulu." Saat Darrel akan mengambil laptop Ella, dengan kasar Agatha meraih lengannya.

"Coba jelaskan padaku." Tanya Agatha setengah berteriak. Kenyataan soal paras Ella semakin membuatnya muak. Bagaimana tidak. Agatha memang tipe gadis yang ingin selalu unggul terutama untuk hal kecantikan.

"Jelaskan apa?"

"Bukankah kamu bilang Mamamu melarang berpacaran, terus ini apa? Kamu mendekatinya." Menunjuk kasar ke arah Ella.

"Dekat bukan berarti berpacaran." Ella menghela nafas panjang. Konsentrasinya buyar karena perdebatan.

"Kita dekat lagi saja." Darrel menyingkirkan tangan Agatha sedikit kasar.

"Sudah ku katakan aku hanya bermain-main denganmu."

"Tidak bisa begini Rel. Aku serius menyukai mu walaupun kau tidak jelas asal usulnya. Tidak masalah bagiku, keluargaku kaya."

Darrel tersenyum simpul. Kepala Dosen menutup rapat identitasnya sehingga sudah bisa di pastikan jika para penghuni kampus tidak tahu menahu soal siapa Darrel sebenarnya.

Ella bergegas berdiri tanpa berkomentar. Dia tidak ingin terlibat masalah dengan Agatha untuk kedua kali. Ella memutuskan untuk pergi saja agar tugas kuliah dari Pak Ikhsan cepat selesai.

Tanpa membawa kontak makannya, Ella mengemasi buku dan laptopnya dan berjalan keluar. Darrel yang melihat itu segera mengambil kotak makan lalu mengikuti kemana Ella melangkah.

"Hei Ella." Sapa seorang mahasiswa yang sempat mengolok-oloknya." Maaf. Aku kemarin hanya bercanda." Ella tidak bergeming dan terus berjalan sambil mencari tempat yang cocok untuk mengerjakan tugas." Dengarkan aku dulu." Si mahasiswa meraih pergelangan tangan yang langsung di tolak kasar.

"Apa." Tanya Ella dengan wajah datar." Jangan menyentuh sembarangan. Saya tidak suka." Imbuhnya pelan.

"Aku minta maaf untuk kejadian kemarin."

"Kejadian kapan?" Ujar Ella balik bertanya.

"Ketika aku menuduh mu menghajar Agatha. Aku menyesal, aku bersalah."

"Oh. Em saya lupa." Si mahasiswa sontak tersenyum aneh. Dia merasa cukup tampan untuk mendekati Ella. Tapi tanggapan yang di berikan selayaknya robot.

"Kejadian buruk memang seharusnya di lupakan. Kamu mau kemana."

"Mengerjakan tugas. Di kelas sangat berisik."

"Akan ku bantu."

"Terimakasih Kak. Saya permisi."

"Hei tunggu." Si mahasiswa tidak juga berhenti menganggu. Kecantikan Ella membuat sebagian besar mahasiswa berusaha mendekat. Mereka mencari kesempatan ketika Darrel tidak ada.

"Kamu lupa makanannya." Sahut Darrel seraya menatap tajam ke arah si mahasiswa yang nyalinya seketika menciut. Dia tersenyum tipis kemudian pergi begitu saja.

"Nanti saja Kak. Tugasnya masih banyak, saya takut tidak selesai siang ini."

"Biar ku bantu." Dengan gerakan cepat Darrel mengambil tas Ella lalu menyodorkan kotak makan.

"Itu sama halnya berbuat curang."

"Hanya sampai kamu selesai makan. Kita duduk di sana."

Tidak dapat di pungkiri jika Ella merasa lapar. Tapi mau bagaimana lagi, untuk membeli makan saja dia tidak punya. Bukankah seharusnya Ella mengunakan uang dari Pak Kirman. Mungkin karena terbiasa sampai-sampai membuatnya lupa ada beberapa lembar uang di kantongnya.

Terpaksa Ella mengikuti Darrel. Dia sadar jika keberadaan Darrel di dekatnya membuat para mahasiswa lain enggan mendekat. Entah apa alasannya, Ella tidak ingin ambil pusing memikirkan itu.

"Tidak kamu berikan password?" Ella menggeleng sambil membuka kotak makan." Kenapa?" Tanya Darrel ingin tahu.

"Setiap Minggu wanita itu memeriksanya."

Berarti dia benar-benar tidak memiliki ponsel.

Enak sekali. Puji Ella di dalam hati. Sudah lama dia tidak merasakan makanan layak.

Darrel tersenyum, menatap Ella dari samping sejenak. Mimik wajah Ella menandakan jika makanan pemberiannya sangat di nikmati.

"Apa dia selalu menyiksa mu." Ella menoleh, kunyahannya terlihat melambat." Ku berikan ponselku. Kalau ada sesuatu kamu bisa menghubungi ku." Imbuh Darrel sambil merogoh kantong kemeja dan memberikan Ella sebuah ponsel dengan sistem pelacak.

"Tidak perlu Kak. Saya akan segera mengusir wanita itu."

"Terima saja." Pinta Darrel sedikit memaksa. Entah kenapa dia ingin selalu mengetahui keadaan Ella. Kamera CCTV yang terpasang tidak seberapa jelas dan tanpa suara.

"Dan lagi.. Em saya tidak bisa mengoperasikannya."

"Ini lebih mudah daripada mengoperasikan laptop." Darrel tidak juga menarik tangannya sehingga Ella meletakkan sendok dan terpaksa mengambil ponsel.

"Saya takut ketahuan dan ponsel ini rusak." Gumamnya pelan.

"Nanti ku berikan lagi kalau rusak. Yang terpenting bawa ponsel itu bersama mu. Sebisa mungkin jangan sampai wanita itu tahu. Aku sudah mematikan nada dering nya."

Dengan gerakan kaku Ella memperhatikan benda berkilap tersebut. Sudah lama dia menginginkannya ketika teman-teman sebaya memamerkan ponsel canggih mereka. Bukan untuk niat buruk, tapi Ella lebih cenderung menyukai game yang mungkin bisa menepis rasa sepi.

Ella sedikit kaget ketika tiba-tiba ponsel menyala dan memperlihatkan sebuah panggilan. Ternyata Darrel melakukan panggilan telepon.

"Tekan warna hijau untuk menerima dan warna merah untuk menolak panggilan." Ucap Darrel menerangkan namun Ella tidak juga mencoba." Sentuh bagian ini." Darrel mengulang pembicaraan sambil menunjuk gambar telepon berwarna hijau.

"Oh ya Kak." Ella menyentuh tombol hijau dan otomatis panggilan berlangsung.

"Lihat. Kalau layarnya sudah seperti ini berarti kamu sudah bisa berbicara." Senyum mengembang yang Ella perlihatkan membuat Darrel cukup gugup padahal sebelumnya dia tidak pernah merasa hal semacam itu.

Mungkin terlalu cantik. Begitulah tebakannya. Oh Tuhan. Gadis ini sangat lugu. Kenapa dia harus terjebak dalam hal berat seperti ini.

Tanpa sengaja Darrel menatap Ella berlama-lama ketika sosok di sampingnya tengah memperhatikan layar ponsel. Dari jauh Ano memotret kebersamaan mereka lalu mengirimkan beberapa foto pada Alan.

"Lihatlah Mas." Nay menunjukkan foto kiriman Alan pada Kai yang hanya melirik sebentar.

"Aku yakin dia sedang bermain-main seperti sebelumnya."

"Tapi aku ingin Ella jadi menantu ku."

"Daripada berlama-lama. Akan ku berikan sebuah perusahaan agar Prapto melepaskan gadis itu."

"Tidak."

"Itu lebih mudah."

"Biarkan Darrel turun tangan sendiri."

"Aku yakin dia hanya bermain-main Baby."

"Kamu meragukan kepekaan ku?" Kai menghela nafas panjang. Dia meraih cangkir teh dan meneguknya sedikit.

"Aku mengingatkan saja. Mana mungkin Darrel bisa berhenti memacari para gadis itu."

"Aku Ibunya. Aku lebih tahu anakku daripada kau!"

Kai terkekeh kecil. Nay selalu punya cara melontarkan pembelaan pada anak semata wayangnya tersebut. Padahal Darrel bersikap selayaknya play boy akibat kesalahan Nay sendiri. Seharusnya Kai sudah menetapkan peraturan ketat tapi Nay selalu membebaskan pergaulan Darrel.

"Ya Baby. Aku hanya menitipkan benih. Aku sadar akan posisiku." Nay melirik malas lalu berpaling.

"Dia akan jadi lelaki yang lebih hebat darimu. Anakku bukan anak Mama apalagi pencinta wanita."

"Ya baik kita lihat saja. Apa dia serius dengan gadis itu atau hanya sekedar bermain." Nay akan beranjak pergi tapi Kai mencegah dengan melingkarkan tangannya ke pinggang rampingnya.

"Kamu ingat. Dia juga anakku." Ujar Kai pelan." Aku tidak bermaksud mengatakan dia seorang anak Mama. Aku hanya ingin Darrel menjadi lebih kuat agar bisa menghadapi kerasnya takdir yang ada di depan." Kai menyesal sudah melontarkan kalimat yang sampai sekarang selalu Nay ingat. Padahal kalimat itu hanya satu kali terlontar namun rupanya cukup meninggalkan bekas luka.

🌹🌹🌹

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!