Cindy berusaha sekuat tenaga menahan air matanya setiap kali menjenguk Rangga di penjara. Dan begitu pun setiap kali dia sembahyang selalu berdoa agar semua kemelut ini segera sirna. Tak ketinggalan butiran air matanya membanjiri sejadah. Malam-malam yang dilampauinya bagaikan mencekam segenap perasaannya, bila memikirkan beban penderitaan kekasihnya. Hanya itu yang bisa dilakukan oleh Cindy setiap saat.
Rupanya Doa Ikhlas Cindy di beri Rahmat dan Karunia oleh yang Maha Kuasa. Hingga datanglah ayahnya ke rumah yang disertai nenek Minah. Semula Cindy merasa was-was ketika pertama kali melihat kedatangan ayahnya. Muka Cindy mendadak berubah pucat dan mundur berapa langkah. Namun nenek Minah mengembang seulas senyum pertanda tidak akan terjadi sesuatu hal apa pun. Dan mendadak ayahnya memeluk Cindy erat-erat. Setitik air mata jatuh di pipi lelaki setengah baya itu.
"Cindy anakku... maafkanlah ayahmu nak." Kata ayahnya lunak dan penuh kasih sayang.
Cindy tak kuasa membendung kesedihan dan rasa terharu yang mendesak-desak perasaannya. Kembali perasaan Cindy dibangkitkan rasa rindu akan belaian seorang ayah. Kasih sayang dari seorang ayah yang selama ini pudar. Belaian kasih sayang dan elusan lembut telapak tangan ayahnya semakin membenamkan kesejukan dan kebahagiaan yang meresap.
"Ooooh...ayah..." Keluh Cindy dalam isak tangis.
"Kau terlalu banyak menanggung beban derita anakku. Ayah telah membelenggumu selama ini dengan persoalan yang sebenarnya tidak selayaknya kau ikut memikulnya." Ucap Hendry dengan penuh penyesalan yang dalam.
Anita membenamkan kepalanya di dada lelaki setergah tua itu. Bersamaan dengan itu muncullah ibu Cindy, Nelly dari ruang tengah bersama Zahra. Mereka tersentak kaget melihat kehadiran ayah Cindy. Pelukan ayah Cindy terlepas dan menyambui istrinya dengan perasaan haru dan bahagia. Ibu Cindy ikut menangis bahagia disaat suaminya memeluk dirinya.
"Aku telah sembuh bu. Aku telah berhasil menemukan diriku yang sebenarnya. Tuhan telah membuka alam pikiranku kembali." Kata lelaki
Setengah tua itu dengan mantap.
"Ooooh syukurlah pak." Sahut ibu Cindy ikut
tersenyum bahagia.
Nenek Minah tersenyum dengan linangan air
tanda gembira. Kemudian seisi rumah itu duduk di ruang tengah dengan suasana gembira namun hening. Mereka saling berpandangan bergantian. Seolah-olah suasana itu demikian terasa asing.
"Hendry telah kembali baik, Cindy." Kata nenek Minah memecah keheningan suasana.
"Alhamdulilah" Keluh ibu Cindy. Hendry tersenyum lega. Begitu pun Cindy dan Zahra.
"Aku kembali ke rumah ini untuk menyesali persoalan masa lalu yang menyangkut rumah tangga. Apa yang telah terjadi selama ini Cindy?"
Tanya Hendry.
Anita tak dapat menjawab. Wajahnya tertunduk dengan sedih.
"Ayah mengharapkan kau mau memberikan keterangan yang jelas dan jujur anakku." Kata Hendry lunak.
"Sudah terlalu banyak penderitaan yang melibatkan orang, ayah. Rupanya masih ada juga orang yang mau menggantikan diri ayah." Jelas Cindy.
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, Cindy?" Tanya Hendry terlihat bingung dengan ucapan Cindy.
"Seorang pemuda bernama Rangga telah dengan rela menanggung semua kesalahan ayah dan Cindy " Gumam Cindy dengan mata berkaca-kaca.
"Rangga, siapa dia?" Tanya Hendry.
"Kekasih Cindy," sergah ibu Cindy.
"Ooooo...!" Hendry bengong.
"Bila saja Rangga tidak melibatkan diri dan menyatakan dirinya sebagai otak perencana, sudah pasti Cindy masuk ke dalam penjara." Sambung ibu Cindy.
"Kita telah berhutang budi dengan pemuda itu." Gumam Hendry.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang ayah?" Tanya Cindy.
"Aku akan menemui pemuda itu." Jawab Hendry.
Hendry bangkit dari tempat duduk, wajahnya
murung. Lelaki setengah tua itu berjalan mondar
mandir di ruangan hening. Karena penghuni seisi
rumah itu hanya termenung di tempat duduknya.
"Sekarang kita temui Rangga." Ajak Hendry.
"Sekarang juga pak?." Tanya ibu Cindy.
"Yah." Jawab Hendry.
"Nenek Minah dirumah saja ya?" Bujuk ibu Cindy.
Perempuan tua yang sudah berambut putih itu hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum. Maka buru-buru saja Cindy berganti
pakaian ke dalam kamarnya. Selang beberapa lama kemudian Cindy dan kedua orang tuanya meninggalkan rumah dan menuju ke lembaga pemasyarakatan.
***
Udara panas menerobos diantara cela-cela jeruji besi. Penghuni di dalam kamar tahanan itu nampak tertidur pulas di lantai. Keringat membasahi mukanya yang pucat. Agaknya pemuda ini semalaman tak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Suasana di lembaga pemasyarakatan itu cukup ramai meskipun demikian tak bisa mengusik tidurnya Rangga yang pulas.
Pengurus lembaga mengantar Cindy dan kedua orang tuanya sampai di depan kamar tahanan Rangga. Ketika Cindy melihat kekasihnya tidur di lantai hampir-hampir dia ingin berteriak. Akhirnya yang bisa dilakukannya tak lain memeluk ibunya. Cindy menangis terisak-isak di dalam pelukan ibunya.
"Ibu... aku tak tega melihat kenyataan ini," pekik Cindy.
"Tabahkanlah hatimu nak." Tutur ibu Cindy.
Sementara Hendrt memandang penuh haru. Alangkah mulianya hati pemuda ini. Lelaki setengah tua itu menghela nafas panjang.
"Cindy bangunkanlah dia." Hendry menyuruh
anaknya.
Cindy melepaskan pelukan ibunya pelan-pelan dan dengan perasaan berat memandang Rangga yang tertelantang di lantai. Cindy berusaha sekuat tenaga untuk membendung perasaannya yang tak menentu. Begitupun berusaha menahan air matanya yang semakin deras mengalir. Cindy
mendekati jeruji besi nafasnya dirasa sesak.
"Rangga..." panggil Cindy parau.
Namun panggilan itu masih belum bisa
membangunkan Rangga.
"Rangga." Ulangnya Cindy agak keras. Baru kemudian Rangga mulai menggeliatkan badannya.
Tubuh pemuda itu kelihatan lesu dan lemah. Dengan setengah bermalas-malasan Rangga hanya membalikkan badan dan tidur kembali.
"Kasihan...agaknya dia terlalu capai." Gumam Ibu Cindy.
"Betapa besar pengorbanannya." Sambung ayah Cindy.
Ketiga insan yang berdiri mengamati tubuh Rangga yang tertelentang di lantai itu dengan perasaan iba.
"Coba bangunkan sekali lagi Cindy." Kata Hendry.
"Rangga...Rangga!." Panggil Cindy agak keras.
Bagai disengat kala jengking Rangga bangun dari tidurnya. Dan alangkah kaget tatkala melihat Cindy bersama kedua orang tuanya. Rangga buru-buru bangkit meskipun sekujur badannya masih dirasa lesu dan lemas. Sambil menghusap kedua matanya Rangga berdiri di belakang jeruji besi.
"Cindy?" Panggil Rangga sembari memperhatikan kedua orang tua Cindy. Di kedua mata mereka bergenang butiran air bening.
"Rangga, ayahku ingin berbicara dengamu." kata Cindy parau.
Rangga mengangukkan kepala hormat. Hendry membalas anggukan Rangga dengan senyuman. Lalu Hendry mengulurkan telapak tangannya untuk mengajak berkenalan dengan Rangga. Rangga menyambut uluran tangan Hendry dengan senyuman cerah.
"Pengorbanan saudara Rangga atas keluarga kami tiada taranya. Tapi saudara tidak sepatutnya menjadi penghuni kamar ini." Rangga hanya tersenyum kecut. "Saya akan menghadap komandan untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya, supaya kau bisa keluar dari penjara ini. Sepatutnya akulah yang menggantikanmu di sini." Lanjut Hendry menjelaskan.
Rangga tertunduk memandangi ujung kakinya yang telanjang. Sementara Cindy hanya bisa memandang Rangga penuh iba.
"Semoga setelah aku menghadap komandan dapat secepatnya kau dibebaskan." Tutur Hendry
penuh harap.
Rangga menghela nafas dalam-dalam. Lantas dia tersenyum kepada Cindy. Senyum berikutnya menghias wajah Cindy yang berseri-seri.
Malam harinya seluruh keluarga Hendry berkumpul di ruang tengah. Suasana ruangan itu mencekam. Cindy duduk dengan sepegenap perasaan gelisah. Sebab dia tak tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya Hendry sebelum membuka pembicaraannya terlebih dahulu mengambil sebatang rokok gudang garam dari dalam kantongnya. Rokok gudang garam itu ternyata masih utuh dan belum terbuka bungkusnya.
Dengan wajah kuyu Hendry membuka bungkus rokok dan diambilnya sebatang. Lantas rokok itu disulutnya dengan korek api. Asap menghembus keluar dari mulutnya. Hendry terbatuk-batuk kecil.
"Besok aku akan menghadap komandan untuk menjelaskan perkara sebenarnya. Aku mengharap kalian semua menerima kenyataan apa pun yang bakal terjadi." Kata Hendry.
"Apa yang akan ayah lakukan?" Tanya Cindy.
Hendry menyedot rokoknya sambil berpikir. "Aku akan menjelaskan semua persoalan agar supaya Rangga bisa keluar dari tahanan. Dan aku yang seharusnya menggantikannya." Jelas Hendry.
"Ayah!." Pekik Cindy, tertahan.
"Jangan gelisah dan cemas Cindy. Semua ini memang harus kujalani. Apa pun akibatnya harus
kutanggung tanpa membuat orang lain menderita." Sergah Hendry.
"Ayah akan menjadi narapidana?" Tanya Zahra.
"Yah." Jawab Hendry sambil mengangguk.
Zahra langsung memeluk ayahnya sambil menangis tersedu-sedu. Suasana diruang itu berubah menyedihkan. Sebab tak lain karena selama ini keluarga Cindy mengharapkan terciptanya keharmonisan rumah tangga.
Antara Cindy dan Zahra semenjak Hendry berkenalan dengan Romeo, kasih sayang dan perhatiannya berkurang. Apalagi setelah Hendry menderita gangguan jiwa. Kedua anaknya seperti kehilangan kasih sayang yang selalu diharapkan. Tapi setelah Hendry sembuh kembali, harus menerima kenyataan menjadi seorang narapidana.
Dengan kesadaran penuh Hendry menerima apa pun yang akan terjadi. Disamping itu dia tidak ingin merusak kebahagiaan Cindy. Hendry mengakui bila Rangga seorang pemuda baik dan bertanggung jawab. Salah satu bukti telah ditunjukkan kepada Hendry. Bukti itu tidak lain adalah pengorbanan yang tak kecil artinya. Dia rela mengorbankan diri masuk penjara demi keluarganya.
"Ayah akan meninggalkan kami lagi?" Tanya Zahra.
"Ayah bukan berarti meninggalkan kalian semua, akan tetapi demi rasa tanggung jawabku terhadap semua perkara. Juga demi kebahagiaan
Cindy dan Rangga." Ucap Hendry menjelaskan.
Zahra memeluk Hendry sembari menangis. Begitupun ibu Cindy tak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Kedua anak gadis itu di dalam pelukan Hendry tak bisa mengatakan apa-apa. Yang bisa dirasakan tak lain hanya kesedihan dari tekanan perasaan.
"Sudahlah anakku. Tak perlu kau tangisi lagi kejadian ini. Ayah akan memikul semua beban dan penderitaan." Lanjut Hendry.
"Tapi ayah...aku tak tega melihat ayah berada di dalam penjara. Betapa sedihnya hati kami ayah." Kata Zahra disela-sela isak tangisnya.
"Ini memang sudah akibat dari semua perbuatan ayah di masa lalu. Walaupun perbuatan itu sebenarnya bukan atas kehendak hatiku sendiri." Kata Hendry memberi ketabahan kepada anak dan istrinya yang menangis di hadapannya.
"Yang penting sekarang jalan yang terbaik adalah supaya Rangga bisa keluar dari penjara. Dia tidak sepantasnya menanggung beban itu." Lanjut Hendry.
Hendry membelai rambut Cindy penuh kasih sayang. Di kelopak matanya mengalir butiran air bening. Lalu perlahan-lahan jatuh di pipi. Nafas lelaki setengah tua itu menjadi sesak. Dadanya naik turun menahan sedih yang sukar terlukiskan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments