Rangga tidak bisa menghapus bayangan imajinasinya yang melayang-layang mengitari pikiran seakan-akan logikanya sirna tertutup perjumpaannya dengan seorang gadis yang telah meninggalkan kesan teramat manis, walau hanya dari sekilas berpandangan dan saling tersenyum.
Bagi Rangga kesan manis itu telah terukir di kalbunya tanpa mau perduli dengan kegelisahan yang selalu kembali dan kembali lagi mengganggu kedamaian hati dalam menjalani kehidupannya. Sehingga membuat pemuda ini jadi sosok seorang lelaki yang suka sekali melamun dan duduk menyendiri. Beberapa rekannya satu kampus merasa heran melihat sikap Rangga belakangan ini jauh berubah draktis dan dramatis sekali di bandingkan dengan hari-hari kemarin yang telah pernah terlalui dan dilaluinya.
Ucok mencoba untuk mendekati Rangga dan menegurnya.
"He!...ngapain melamun terus Ngga? Apa semalam kau bermimpi basah banyak sekali sampai-sampai kasurmu banjir?" Gurau Ucok.
Rangga tersentak dan mencoba menoleh ke arah Ucok yang tersenyum mengejek.
"Sialan," Gerutu Rangga setengah mendongkol.
"Lalu apa yang kau lamunkan?" Tanya Ucok.
"Kemarin aku berjumpa dengan bidadari yang turun dari langit Cok, seorang gadis yang cantiknya selangit luas nan biru." Ucok meledak tawanya.
"Di Lampung ini banyak gadis-gadis cantik yang sering bikin kepala pusing, Nggak. Kalau setiap kau berjumpa dengan gadis cantik lalu jatuh cinta, bisa-bisa jadi gila sendiri kau di buatnya!" Sambil berkata Ucok tertawa terpingkal-pingkal.
"Tapi yang kujumpai kemarin sangat luar biasa Cok." Tukas Rangga.
"Sekarang kau bilang luar biasa, nanti ketemu yang lebih cantik berubah lagi. Lalu apa? Super? Kau lelaki bermental oncom Rangga." Ucap Ucok mengejek.
"Diam!" Bentak Rangga keki.
"Hidup di Lampung jangan mudah jatuh cinta, Rangga. Aku kasih saran yang penting kepadamu. Cinta di sini mahal harganya." Ucok berkata seraya meninggalkan Rangga yang masih termangu di tempat duduknya.
Rangga kesal dan teramat mendongkol di tertawakan Ucok dan sangat mendongkol dikatakan Ucok sebagai lelaki bermental oncom. Untung saja tidak di katakan lelaki kacangan yang kampungan, jadi rasa mendongkolnya tidak terlalu sakit.
"Ah!, persetan dengan segala macam Ucok. Pokoknya aku telah berkata dengan jujur, bahwa gadis yang ku jumpai di mikrolet tua itu benar-benar sangat istimewa. Aku telah jatuh hati padanya."
Selesai mengikuti kuliah, Rangga menunggu mikrolet tua jurusan kota. Kalau dahulu Rangga paling senang naik bis kota, sekarang dia beralih senang naik mikrolet tua. Tak lain dan tak bukan, dia hanya bisa berharap dapat berjumpa lagi dengan gadis pujaan hatinya itu. Tapi apa yang mau di kata, pertemuan yang di harapkan justru sulit di alami untuk hari ini dan untuk pertemuan yang berikutnya sulit di pastikan.
Hari-hari yang di lalui Rangga jadi berubah kelabu tanpa semangat untuk menghiasi dengan bunga-bunga harapan yang merekah di taman hati mengeluarkan harum yang membuat semua orang ingin memetinya. Setiap pulang dari kuliah pemuda itu tidak pernah berjumpa lagi dengan gadis itu. Rangga jadi putus asa untuk selalu mengharapkan bisa bertemu dengan gadis yang selalu di impi-impikannya itu.
Sekarang Rangga beranggapan pertemuan nya dengan gadis itu bagai ibarat impian yang indah dalam tidurnya yang saat terbangun semua hanya kosong dan tiada nyata adanya.
Bagaimana mungkin dia dapat berjumpa dengan gadis itu kembali jika tak tahu tempat tinggalnya?
Tak tahu di mana dia bekerja?
Dan tak tahu pula namanya?
Rangga jadi menempelak jidatnya. Kenapa aku ketika itu tidak berani bertanya di mana alamatnya dan siapa namanya?
Demikian keluhan yang terjadi di diri Rangga yang di sertai dengan penyesalan. Namun meski demikian Rangga tidak pernah lepas untuk melalui dan menunggu di tempat halte bis itu.
Kali ini kenyataan itu bukan lagi sekedar angan-angan belaka karena di saat Rangga menyetop mikrolet tua jurusan kota, di dalam oplet itu nampak seorang gadis yang selama ini meresahkan hatinya. Bergegas dia naik dengan jantung yang berdetak kencang dan menentu terus berdetak tanpa ada aturan yang jelas. Rangga memberanikan diri untuk menatap gadis yang duduk di depannya dan hatinya sedikit kecewa, kenapa tempat duduk yang kosong tadi bukan di sebelah gadis itu? Kenapa yang musti kosong di depannya? Aaaah! Keluh Rangga dengan perasaan bimbang yang berada di antara keberanian yang teruji.
Gadis yang duduk di depan Rangga hanya tertunduk malu, namun bibirnya mengulum senyum yang penuh arti. Mata mereka saling bentrok untuk beberapa detik dan hati Rangga benar-benar sangat-sangat super bahagia. Gadis itu sempat tersenyum pada Rangga, aduh haaii...! senyumnya yang sedikit tersipu itu sangat mempesona. Giginya yang berjejer rapi dan putih, bibirnya yang ranum merah merekah ibarat kelopak bunga mawar yang masih segar. Rangga membalas senyuman itu dengan arti ingin bersahabat, ingin dia segera memulai mengajak bicara gadis itu, namun di rasakan suasananya sangat-sangat tidak menguntungkan.
Dengan menahan gejolak perasaan yang tidak kunjung bersabar, Rangga menunggu sampai gadis itu turun di persimpangan dan ternyata apa yang di harapkan oleh Rangga meleset. Gadis itu masih tetap duduk sampai mikrolet tua itu memasuki terminal yang sangat-sangat ramai dengan pengunjung yang hilir mudik tak menentu arah tujuannya. Pada hal Rangga sudah bersiap-siap bila saja gadis itu turun dan akan mencoba mengikutinya. Dengan gesit Rangga membayar ongkosnya, sebelum gadis itu mendahului.
"Sudah ku bayar." Demikian kata Rangga sambil tersenyum ramah.
Gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa, dengan perasaan yang canggung dia memasukkan kembali uangnya ke dalam dompet.
"Terimakasih." Sahutnya datar.
Setelah gadis itu turun dari oplet, Rangga mengikutinya dari belakang dan langkah Rangga semakin di percepat guna menyamai langkah gadis itu. Ketika langkah mereka sudah bersisian, Rangga memberanikan diri untuk menegurnya.
"Dari pulang kerja Non?" Tegur Rangga sedikit terasa canggung.
Gadis itu menoleh sekilas, lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum. Rambutnya yang hitam legam terurai ditiup angin semilir siang itu, betapa anggunnya penampilannya.
Langkah-langkah kakinya berjalan yang demikian lunak dan semampai membuat keinginan Rangga semakin menggebu-gebu untuk selalu jalan di sisi gadis itu. Siang itu dia memakai kaos hijau muda dengan celana levis yang sedikit ketat membalut tubuhnya. Alangkah indahnya bentuk tubuh gadis itu dengan pinggangnya yang begitu tampak ramping, pinggul meliuk bagaikan gitar spanyol dengan bentuk paha ramping yang amat serasi membuat mata yang memandang akan menelan liurnya kembali saat melihatnya.
"Apa aku boleh tahu namamu?" Tanya Rangga lunak.
Gadis itu tidak langsung menjawab melainkan berjalan dengan tertunduk dan memandangi ujung sepatunya yang berwarna hitam berhak tinggi meruncing. Bukan sepatu yang kemarin dipakai gadis itu, mengingatkan pertama kali dengan semua di perhatikannya dari ujung kaki sampai ujung rambut sehingga Rangga paham benar seperti apa saat pertama berjumpa dengan gadis itu. Yah dia masih hafal betul dengan hari dan tanggal perjumpaan di hari kemarin dan dadanya yang gemuruh akan gejolak perasaan tak menentu, kini di rasa semakin bergelora menahan lerupan-letupan bak kawah yang ingin melepaskan diri dari perut bumi.
"Namaku Rangga. Dan bolehkah aku tahu namamu?" Desak Rangga penuh harap.
Gadis itu menoleh lagi sekilas dan jantung Rangga berdetak keras. "Mata gadis itu alangkah indahnya dan senyum gadis itu alangkah manisnya. Semua yang terdapat pada dirinya banyak menimbulkan daya tarik bagi setiap lelaki. Tetapi kenapa dia agaknya terlalu berat untuk memberi tahu namanya? Adakah sesuatu yang disembunyikan di balik kenyataan yang mempesona itu? Ataukah dia sombong? Ah! kurasa tidak dan nampak wajar-wajar saja!" Suara hati Rangga memberikan pertanyaan yang belum bisa terjawab dalam hati Rangga yang semakin gelisah.
Meski demikian Rangga masih saja mengikuti langkah gadis itu sampai di jembatan. "Apakah namamu terlalu mahal untuk ku ketahui Non?"
Gadis itu tersenyum di kulum mendengar pertanyaan Rangga.
"Tidak." Jawab gadis itu datar.
"Lantas kenapa?" Tanya Rangga lagi.
"Tidak apa-apa." Jawab gadis itu singkat.
Rangga mulai berdecap resah dan gadis itu terlihat meliriknya sepintas. Lalu mereka berdiri bersisian di persimpangan jalan sambil menunggu bis jurusan Raden Intan. Rangga berdiri tercenung sambil memegangi dagunya. Terik sinar mata hari yang menimpa ubun-ubunnya tidak dirasakan lagi karena yang di rasa baginya tidak lain hati dalam kebimbangan dalam pengharapan sesuatu hal yang sepertinya sangat sulit untuk terwujud.
"Kamu mau ke mana?" Tanya gadis itu hingga menyentakkan Rangga dari lamunannya.
"Nggg... ke Jalan Raden Intan!." Jawab Rangga tergagap. Gadis itu berdehem pelan.
"Kenapa?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Kita satu tujuan" Sahut gadis itu tanpa menoleh ke arah Rangga berada.
"Apa ruginya sih memberi tahu namamu? Bukan kali aku telah memberi tahu namaku tanpa merasa dirugikan?" Celetuk Rangga.
"Siapa yang menyuruh kamu memberi tahu namamu?" ketus gadis itu.
Herman tidak dapat menyahut karena dia merasa terpojok. Sungguh tak disangka bila gadis itu pintar memutar balik kata dalam bicara yang membuat keadaan bisa berakhir menyedihkan. Maka Rangga hanya bisa garuk-garuk kepala yang sebetulnya tidak di rasa gatal pada saat itu. Itu hanya sekedar improvisasinya belaka untuk menutupi sesuatu kejadian yang tidak di harapkan terjadi atau perkataan yang tidak harus di ucapkan sebab akan membuat pembicara akan menyerah dalam sudut kekalahan.
Mata gadis itu memandang Rangga dengan makna yang dalam, setengahnya menyelidik. Yang kemudian dia merasa bahwa lelaki yang ada di sampingnya ini kelihatan polos dan jujur. Lantas gadis itu memandang Rangga dengan seulas senyum yang ramah dan Herman merasa sedikit sangat-sangat terhibur dengan senyum gadis itu. Yang di rasa detik sebelumnya berlalu penuh kebimbangan berubah draktis 180 derajat seketika berubah dengan keramahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
YUSIKO
mantap!
2023-04-07
1