Mobil yang mereka tumpangi telah memasuki pekarangan tempat yang dituju. Rangga membuka pintu mobil seraya berkata, "Tinggalkanlah aku di sini Cindy."
"Tidak. Aku akan menunggumu sampai persoalan, selesai." Balas Cindy.
"Tapi kemungkinan akan lama jika kau menungguku sampai selesai." Balas Rangga.
"Biarlah." Kata Cindy dengan disertai senyumnya yang tulus.
Rangga membalas senyum Cindy sembari melangkah pergi. Sementara Cindy menunggu Rangga di mobil sambil menikmati lagu-lagu. Dia tidak merasa jenuh menunggu lelaki itu sampai berapa lama lagi, karena hatinya begitu bahagia. Tak berapa lama kemudian nampak Rangga keluar dari gedung tata usaha. Wajahnya cerah berseri-seri dan tak pernah meninggalkan senyumnya. Cindy menyambut kedatangan Rangga dengan membukakan pintu mobil. Lelaki itu lantas duduk di sisi Cindy. Kunci kontak diputar oleh Cindy dan suara derum knalpot terdengar. Mobil Honda Civic itu melaju meninggalkan debu dan asap yang beterbangan.
"Sudah selesaikan persoalanmu Rangga?" Tanya Cindy sembari memegang stir.
"Berkat doamu semua berjalan dengan lancar." Jawab Rangga tersenyum.
"Syukurlah. Tinggal kau sekarang menemani aku ke proyek Way Halim Permai untuk membeli keperluan kosmetik. Kau tidak ada acara lain kan?" Balas Cindy.
"Sekalipun ada aku tidak keberatan untuk membatalkannya." Lanjut Rangga.
"Rupanya kau tahu balas jasa juga Ngga." Sahut Cindy menyindir.
"Jelas dong, aku selalu tahu diri kok. Justru kau yang tak tahu diri," celetuk Rangga.
Cindy agak tersentak mendengar ucapan Rangga.
"Apa?" Kata Cindy kaget.
"Jangan pura-pura Cindy " balas Rangga.
"Iya apa?, aku tak tahu." Desak Cindy.
"Cintaku tak kau balas dengan cintamu." Ucap Rangga.
Dada Cindy mendadak jadi sesak untuk bernafas. Benarkah aku tak tahu diri selama ini?
"Pada hal di balik mulutku yang tertutup rapat dan tak pernah menyinggung soal cinta, sesungguh nya bara yang membakar hatiku adalah bara cinta Rangga. Betapa kau tak tahu perasaan yang kuderita." Batin Cindy.
"Ya kah? akui saja dengan kejujuranmu." Lanjut Rangga.
"Kau selalu tak mau mengerti Rangga." Keluh Cindy.
"Aku merasa tersudut bila kau ucapkan kata-kata tak mau mengerti. Kata-katamu itu seolah-olah menutup mulutku untuk tidak berkata apa-apa. Yah inilah mungkin salah satu bentuk harapan yang kabur dan suram." Cindy menghela nafas panjang, sedangkan Rangga hanya melirik sepintas. Mobil yang dikemudikan Cindy telah memasuki areal parkir Proyek Way Halim Permai. Di antara mobil-mobil yang berhenti secara paralel, si tukang parkir memberi aba-aba agar mobil Cindy berhenti menurut tempat yang sudah disediakan.
Lantas Cindy mengajak Rangga untuk segera turun dan menemui masuk ke toko membeli alat-alat kosmetik. Langkah-langkah Cindy yang gemulai mendatangkan banyak mata memandang bentuk tubuhnya yang indah. Lekukan tubuhnya begitu kelihatan jelas karena T-shirt yang dikenakan terlalu ketat. Begitu pun celana blue jeans yang membalut dari pinggang sampai pergelangan kaki, membentuk body Cindy amat mempesona. Pinggulnya yang kini semakin membesar meliuk-liuk di waktu berjalan.
Rangga yang berjalan di sisi gadis itu merasa darahnya naik ke ubun-ubun. Selesai Cindy membeli semua keperluannya mengantar Rangga sampai ke tempat kostnya.
"Kau tidak ingin mampir dulu Cindy?" Tanya Rangga.
"Lain kali aku akan bermain ke tempat kostmu, Rangga." Balas Cindy.
"Kapan kita berkencan lagi?" Lanjut Rangga bertanya.
"Bila ada kesempatan yang baik Ngga." Sahut Cindy sembari tersenyum.
"Aku selalu menunggu balasan cintamu Cindy." Kata Rangga mantap.
Mata Cindy menatap sayu ke wajah Rangga yang tampan. Rasanya ada sesuatu yang ingin dikatakan, namun Cindy bergegas menjalankan mobilnya. Sempat dia melihat lambaian tangan Rangga penuh penantian.
***
Rembang petang telah menyelimuti alam semesta memamerkan keindahan nan elok. Bagi remaja yang sedang getol-getolnya bercinta sibuk berhias diri di depan cermin. Maklum, malam itu adalah malam minggu. Tak berbeda pula dengan Rangga yang sejak sore nampak sibuk mencoba baju barunya. Baru tadi sore ketiga baju barunya itu selesai dari tukang jahit, soalnya dua hari yang lalu dia baru terima honor novel ciptaannya.
Langsung beli tiga stel pakaian dan kepingin bertemu dengan Cindy sebab sudah satu minggu lebih Cindy tak pernah menemuinya. Rasa rindu Rangga sudah tak bisa dibendung lagi. Berangkatlah Rangga menemui Cindy di rumahnya. Di sepanjang perjalanan Menuju ke rumah Cindy, dia sempat dibebani bermacam-macam pertanyaan.
Mungkinkah Cindy jatuh sakit hingga tak dapat menemuinya? Ataukah Cindy menemui kesulitan, lantas dia tak sempat meluangkan waktunya untuk menjumpainya. "... Ah! semoga saja tidak terjadi sesuatu terhadap diri Cindy."
Rangga masih teringat kata-kata Cindy, bahwa dirinya tak boleh datang ke rumah Cindy. Tapi waktu yang berlalu sudah lebih dari satu minggu membuatnya tak bisa lagi menahan rasa rindunya kepada Cindy. Dan sekaligus ingin tahu di balik kenyataan Cindy yang sebenarnya.
Mobil taxi yang ditumpangi Rangga berhenti di depan pagar halaman sebuah rumah yang mewah. Keadaan rumah itu kelihatan sangat sunyi dan sepi. Pintu rumah yang selalu tertutup rapat, seolah-olah segan untuk menerima kedatangan tamu. Rumah mewah itu tak jauh berbeda dengan rumah tua yang tak dihuni. Dengan langkah gontai Rangga memasuki pekarangan rumah itu. Mata Rangga memandang seputar tempat itu, alangkah sepi, alangkah sunyi, lalu rumah siapa yang sebenarnya Namun setelah Rangga mendekati pintu rumah dan menekan beli, keadaan tetap sunyi. Tak terdenar suara langkah orang yang menghampiri pintu, tak ada pula sura sahutan dari salah satu penghuni rumah itu. Sudah berkali-kali beli itu ditekan oleh Rangga, tetap saja tiada orang yang mau membuka pintu rumah.
Rangga jadi resah.
Akhirnya setelah ditunggu-tunggu pintu rumah itu tak juga terbuka, Rangga berjalan meninggalkan teras. Baru saja Rangga melangkah belum jauh, dia melihat seorang wanita setengah baya. Wanita itu adalah pembantu rumah Anita yang bernama mbok minah. Lantas Rangga mencoba untuk melempar senyuman kepada wanita itu dengan ramah. Dan wanita itu membalas dengan setengah meneliti.
"Saudara mencari siapa?" Tanya mbok Minah.
"Betulkah di sini rumah Cindy, Bi.?" Balas Rangga.
"Bukan." Sahut mbok Minah. Rangga jadi termangu mendengar jawaban wanita itu.
"Jadi di sini bukan rumah Cindy, Bi?" ulang Rangga termangu.
Wanita itu menggelengkan kepala. Rangga menghela nafas panjang. Ketika dia hendak melangkah meninggalkan rumah itu, tiba-tiba mendengar suara teriakan seorang wanita di dalam rumah itu. Rangga seketika menghentikan langkah karena mengenal suara wanita itu. Mata Rangga memandang kearah jendela kamar yang mendatangkan suara teriakan wanita itu lewat celah-celah lobang angin. Mbok Minah dalam sekejap berubah pucat dan gemetar sekujur badannya. Rangga bertambah curiga dan tak percaya keterangan mbok Minah, bahwa wanita itu mengatakan rumah ini buka tempat tinggal Cindy.
"Tidaaak!" Teriakan nyaring terdengar lagi dari arah kamar. Bulu kuduk Rangga jadi merinding. Apa gerangan yang lelah terjadi di dalam kamar itu? Kata hati Rangga dengan disertai rasa ingin tau. Dia tidak lagi menyangsikan bahwa suara teriakan itu pasti Cindy. Maka Rangga segera mendesak mbok Minah.
"Bibi tidak usah membohongi saya. Ketahuilah Bi, saya adalah teman akrab Cindy. Saya tidak mempunyai maksud buruk." Ucap Rangga meyakinkannya.
Mbok Minah hanya menggelengkan kepala dengan perasaan cemas. Dari kecemasan itu dapat diterka oleh Rangga jika dibalik kesemuanya ini terselubung misteri. Dan wanita ini seakan-akan menyimpan segala rahasia yang terkandung di dalamnya.
"Kalau bibi tidak mau menceritakan kepada saya secara terus terang, akan saya laporkan kepada polisi." Ancam Rangga.
Wanita itu bertambah ketakutan mendengarkan ancaman Rangga. "Bagaimana bi? Apa perlu saya laporkan polisi?" Ucap Rangga menakuti.
"Jangan... se... sebaiknya jangan." Sahut wanita itu terbata-bata.
"Kalau, demikian bibi harus mengatakan siapa yang berteriak-teriak di dalam kamar itu." Tandas Rangga.
"Non... non Cindy." Gugup sahutan mbok Minah.
Rangga menghela nafas lega.
"Kenapa dia berteriak-teriak seperti itu bi?" Wanita itu seakan-akan mulutnya tersumbat untuk menjelaskan. Tiba-tiba terdengar keras sebuah benda yang jatuh ke lantai, praaang!. Rangga jadi tak sabar lagi ingin segera tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. Dia bergegas mendekati jendela kamar dan memukul berulang kali sehingga mengejutkan kedua orang yang ada didalam kamar itu.
"Siapa berani melakukan itu!!." Terdengar suara keras seorang lelaki dari dalam kamar.
"Aku! Rangga!!." Balas Rangga tak kalah kerasnya pula.
Sementara mbok Minah semakin dilanda ketakutan. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Jendela kamar itu akhirnya terbuka dan Rangga menemukan seraut wajah pria tua yang pernah dijumpainya di proyek Way Halim Permai ketika bersama Cindy dulu. Dengan sepasang mata penuh bara, pria tua itu menatap Rangga yang berdiri tegap.
Sedangkan Cindy yang saat itu sedang duduk di pinggir tempat tidur, kelihatan mendekap gaunnya yang telah terbuka di bagian atas. Rangga juga menemukan wajah Cindy yang pucat pias.
"Siapa kau?! dan apa urusanmu ikut campur persoalan kami!." Bentak si pria tua itu.
"Aku teman Cindy. Kita bicara di ruang tamu!." Tantang Rangga.
"Jangaaan Rangga!." Teriak Cindy menimpah.
"Baik!" Sahut si pria tua itu.
Rangga berjalan ke teras dan si pria tua telah menyambut dengan membuka pintu rumah lebar-lebar.
"Silahkan masuk!." Kata si pria tua itu.
Sebelum melangkah masuk dan duduk di kursi yang telah dipersilakan oleh si pria tua, Rangga sempat memandang wajah Cindy yang cemas sekali. Kedua tangan gadis itu mendekat erat lengan si pria tua. Rasanya ada sesuatu yang dikawatirkan. Namun Rangga tetap tenang dan duduk di kursi.
"Sudah lamakah anda mengenal Cindy?," tanya si pria tua serius.
"Baru dua bulan berselang." Jawab Rangga terus terang.
"Kau mencintainya?" Desak si pria tua itu lagi.
"Ya." Kata Rangga mantap.
"Bajingan!!" Teriak si pria tua sambil merogoh pistol di dalam saku kimononya. Namun Cindy berusaha sekuat tenaga untuk menahan agar tangan si pria tua itu tidak berhasil mengeluarkan pistol yang ada di sakunya. Dalam sekilas Rangga sempat melihat usaha si pria tua untuk mengeluarkan pistol itu. Debur jantungnya berdetak tak karuan. Dan keringat dingin membasahi jidatnya.
Namun meski demikian Rangga tidak akan melangkah mundur dan ingin melihat apa yang dilakukan lelaki itu terhadap dirinya.
"Rangga pergilah kau! pulanglah kau!." Teriak Cindy ketakutan.
Akan tetapi Rangga masih berdiri tegak menatap wajah pria tua itu, sekalipun perasaannya sudah tak karuan. Kedua orang yang ditatap Rangga masih saling tarik menarik tangan. Tapi bagaimanapun juga kekuatan perempuan masih belum bisa menandingi lelaki. Maka Cindy akhirnya tergelincir jatuh ke lantai dan si pria tua berhasil mengeluarkan pistol dari dalam kantong kimononya.
"Lariiiiii Hermaaaaaaan!!." Teriak Cindy sembari menarik kaki si pria tua hingga sama-sama jatuh ke lantai. Bertepatan dengan jari si pria tua menekan pelatuk pistol dan terdengar letusan, Rangga lari seraya menghindar dari serangan peluru yang mengancam tubuhnya.
Rangga terus berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. Lantas menyetop taxi yang kebetulan lewat dan buru-buru naik. Dengus nafasnya yang memburu membuat sopir taxi. Mengawasi muka Rangga melalui kaca spion. Rangga tidak ambil pusing sepasang mata si sopir memperhatikan kecemasannya itu. Yang penting dia telah berhasil menyelamatkan diri dari kematian.
Selama dalam perjalanan menuju pulang Rangga tak habis mengerti tentang semua yang dialaminya kini.
Siapa sebenarnya lelaki itu, dan apa hubungannya dengan Cindy masih merupakan tandan tanya besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments