Cindy berbaring diatas pembaringan reyot yang terbuai dari bambu dan hanya beralaskan tikar pada bagian tengahnya telah robek. Matanya masih selalu berlinangan butiran air bening yang berkilau-kilauan. Zahra duduk di tepi pembaringan juga turut menangis. Sementara seorang perempuan tua berwajah keriput memandangi Cindy dengan penuh belas kasih.
"Berhentilah menangis Cindy." Kata perempuan tua itu sambil terbatuk-batuk kecil.
"Ooooh nenek... mengapa semua ini harus terjadi pada diriku?" Tanya Cindy penuh keharuan.
"Tuhan telah mengaturnya cucuku. Apapun yang telah terjadi bukanlah atas kehendak kita. Terimalah dengan hati tabah." Tutur perempuan tua itu sambil membelai rambut Anita penuh kasih sayang.
Elusan tangan perempuan tua itu semakin dirasa oleh Cindy menambali kepedihan hatinya. Tangisnya semakin tersedu-sedu. Jari-jari nenek itu memegang tanganku lantas ditempelkan di
dadanya. Denyut jantung itu seakan-akan tidak
bekerja lagi. Tetapi bisa dirasakan oleh Cindy apa
yang terasa di dada nenek itu. Cindy menangis diharibaannya. Dan perempuan itu menyusul ikut
menangis pula.
"Selama ini kehidupan keluarga kita sangat menderita Cindy. Nenek tak bisa berbuat apa-apa dengan kenyataan yang dialami ayahmu. Kalau saja semua ini akan segera berakhir sebelum nenek meninggal, alangkah gembirannya. Kemungkinan mata nenek bisa tertutup rapat di saat menghembuskan nafas terakhir." Ucap nenek itu parau, tangannya yang kurus kering sekali lagi membelai rambut Cindy penuh kasih sayang.
"Kurasa semua persoalan kita semakin memburuk nek." Sahut Cindy sedih-sekali. Nenek itu memandang wajah Cindy yang kusut.
"Katakanlah apa yang telah terjadi Cindy." Tanya nenek itu.
"Minggu depan aku akan disidang mengenai
perkara romeo nek. Sudah pasti perkara ini
akan menyangkut juga diri ayah. Sedangkan
keadaan ayah sangat menyedihkan." Jelas Cindy.
"Jadi pihak polisi telah mengetahui jejak calon suamimu Cindy." Tanya nenek ingin tau.
"Yah, setelah kematiannya." Balas Cindy.
"Bagaimana polisi bisa tahu Cindy?" Tanya nenek lagi.
"Romeo ingin membunuhku di saat aku akan melarikan diri. Bersama seorang pemuda yang ku cintai. Terjadilah kericuhan itu di terminal Raja Basah. Romeo mengeluarkan pistolnya dan
terjadilah tembak menembak dengan petugas keamanan. Akhirnya dia mati tertembak oleh
beberapa petugas itu. Walau pun dalam keadaan
sekarat, masih sempat menembak lenganku nek.
Dari kemasannya itu telah membongkar kejahatan yang pernah dilakukan olehnya selama ini. Aku takut ayah akan tertekan jiwanya semakin parah bila saja harus tersangkut perkara ini." Tutur Cindy.
"Oooooh Tuhan." Keluh perempuan tua itu.
"Maka dari itu aku datang kemari untuk
menemui ayah nek. Mungkin aku dapat berbincang-bincang guna mengetahui persoalan yang sebenarnya. Kalau saja aku tidak lebih dahulu mendengar penjelasan yang sebenarnya, bisa-bisa kami akan lebih celaka." Jelas Cindy.
Perempuan tua itu menghela nafas berat. Pancaran matanya memandang keluar dengan kosong.
"Kurasa ayahmu tidak mungkin lagi berkata seperti apa yang kau harapkan. Dia susah untuk berbicara yang dapat ditanggapi oleh pikiran Cindy. Sebab kadang-kadang dia lupa siapa dirinya. Apalagi harus menceritakan semua kejadian di masa lalu." Jelas neneknya.
"Kak Cindy, sebaiknya kakak mencari seseorang yang mampu membela perkara ini." Sela Zahra yang gelisah.
Cindy mengalihkan pandangan kearah Zahra.
"Hal itu bisa saja aku lakukan Zahra. Tetapi
bagaimana mungkin aku bisa menang jika belum
tahu persoalan yang sebenarnya?" Zahra dan
perempuan tua itu tercenung.
"Bagaimana supaya aku dapat berbicara dengan ayah sebagai dahulu kala nek. Tolonglah aku nek." Balas Cindy meminta.
"Yah...yah, aku akan berusaha membujuk ayahmu dengan cara halus supaya dia bisa menemukan dirinya yang sebenarnya. Setelah itu baru kesempatan itu bisa kau peroleh Cindy." Kata perempuan tua itu sambil manggut-manggut.
"Usahakanlah nek. Usahakanlah agar ayah mau menemuiku dan berbicara soal ini. Tanpa penjelasan ayah pasti akan kutemui kehancuran. Kita semua akan lebih disiksa oleh keadaan yang
sebenarnya tidak kita inginkan." Jelas Cindy lagi.
"Semoga Tuhan akan memberikan pertolongan kepada kita Cindy." Ucap perempuan tua itu sembari berdoa. "Sekarang hentikanlah menangismu Cindy. Tidak cukup hanya dengan air matamu semua persoalan ini bisa terselesaikan."
Cindy menurut perintah neneknya. Air mata yang membasahi pipinya dihapus pelan. "Bagaimana pedihnya hati ini, biarlah tersembunyi di bilik jantungku. Asalkan siksaan batin tidak akan datang lagi menimpa seluruh keluargaku. Cepatlah kabut suram ini berlalu sebelum kebahagiaan sejati datang membalut perasaanku". Demikian kata hati Cindy sembari menghapus air matanya.
***
Perasaan tenang yang sesaat sempat menyejukkan Cindy, terenggut seketika diwaktu memasuki rumah ayahnya. Sepasang mata menyorot tajam dan buas. Bagaikan copot rasanya jantung Cindy ketika dia sadar yang berdiri tegak itu adalah ayahnya. Neneknya mencoba menutupi sorotan mata Ayah Cindy dengan seulas senyuman yang pasrah. Sementara Zahra yang berdiri di sebelah ayahnya menggigil ketakutan. Sebentar-sebentar tatapan matanya berpindah dari ayahnya beralih ke Cindy. Zahra menangkap dalam penglihatannya jika wajah Cindy pucat pias.
"Hendry, mak datang." Kata nenek itu lunak.
Lelaki setengah tua itu hanya tersenyum kecut. Pancaran matanya masih hampa menatap kehadiran seorang perempuan tua yang kurus kering itu. Kemudian perempuan tua itu meraih tangan Hendry dan dibimbingnya ke kamar. Cindy
dan Zahra mengikuti dari belakang. Nenek Minah mengajak Hendry duduk di sisi pembaringan. Sedangkan Anita dan Lisa duduk di kursi berhadapan dengan mereka. Nenek Minah kemudian mengeluarkan beberapa lembar foto yang warnanya sudah kusam. Sengaja nenek Minah membawanya dari rumah untuk mengingatkan kenangan di masa silam.
"Kau masih mengenali foto ini Hen?" Kata
nenek Minah sembari memperlihatkan foto-foto itu kepada Hendry.
"Siapakah ini Mak?" Tanya Hendry bengong.
"Anak kecil ini adalah kau Hendry. Dan yang memangku anak kecil itu adalah mak. Sedangkan yang berdiri disebelah mak itu ayahmu. Apakah kau masih ingat masa kecilmu yang nakal Hen?" Jelas Mak Minah.
"Aku nakal mak?" Tanya Hendry seperti anak
kecil yang bodoh.
"Nakalnya bukan main Hen, Sering kau mencuri mangga di rumah tuan Heru mandor perkebunan karet itu. Lantas melempar kaca rumah opsir Belanda sampai ayahmu dituntut untuk mengganti." Jelas Mak Minah.
"Ya... aku masih ingat mak. Malah aku pernah membunuh opsir Belanda." Balas Hendry.
"Betul...betul...ah, teruskanlah kau mengingat masa kecilmu Hen. Mak, senang sekali... senang sekali." Ucap nenek Minah sambil terbatuk-batuk. Senyuman perempuan itu terukir di wajahnya yang telah keriput. Dia merasa senang bila Hendry dapat mengenang kembali masa lalunya. Pasti dia akan menemukan dirinya sendiri yang selama ini kabur dalam kehampaan. Dalam kecamuk pikiran yang kacau.
"Coba kau lihat foto yang satunya ini Hen" Kata nenek Minah sembari menyodorkan foto yang bergambar seorang gadis manis.
"Siapakah ini Mak?" Tanya Hendry.
"Ini seorang gadis desa yang manis. Di masa
remajanya pernah menjadi kembang di desa ini.
Siapa lagi kalau bukan Nelly." Kata nenek Minah menjelaskan.
"Oh cantiknya ya mak?" Sahut Hendry sambil
tersenyum.
Cindy dan Zahra jadi ikut tersenyum seraya membuang muka. Mereka takut kalau dikira menertawakan kelakuan ayahnya yang seperti remaja masih ingusan.
"Itu kan istrimu Hendry." Nenek Minah menimpali.
"Ini istriku mak? Waaah cantiknya..." Kata Hendry dengan dibarengi tawanya berderai.
Perlakuan lelaki setengah tua itu telah membuat kedua anaknya jadi ikut tertawa. Namun saja tertawa Cindy dan Zahra di balik sapu tangan yang menutupi bibirnya masing-masing.
"Di mana dia sekarang mak?" Tanya Hendry.
"Sekarang dia tinggal di Lampung." Jawab Nenek Minah lagi.
"Di Lampung?" Tanya Hendry.
"Yah... Kota yang terkenal dengan tugu Sigernya. Kau masih ingat bukan?" Hendry manggut-manggut. Nenek Minah memperlihatkan lagi foto yang lainnya. Sepasang pengantin yang duduk di kursi penuh kebahagiaan.
"Siapakah kedua pengantin ini mak?" Tanya Hendry.
"Kau dan Nelly." Jawab nenek Minah.
"Alangkah cantiknya istriku disaat mengenakan gaun pengantin." Gumam Hendry.
Nenek Minah tersenyum lagi.
"Kau masih ingat kebahagiaan yang kau rasakan waktu itu Hendry?" Tanya nenek Minah.
"Yah... yah... aku benar-benar bahagia waktu itu." Jawab Hendry.
Nenek Minah menyodorkan lagi sebuah foto seorang bayi yang tidur tengkurep. Bayi itu cantik dan lucu sekali.
"Beberapa tahun kemudian setelah perkawinanmu berlangsung, lahirlah seorang anak perempuan yang cantik dan lucu. Mak waktu itu tahu betul jika rumah tanggamu begitu bahagia setelah lahirnya si kecil ini. Kemudian anakmu yang pertama kau beri nama Cindy dan sejak lahirnya Cindy kemajuan dalam usahamu semakin meningkat. Lantas kau boyong istri dan anakmu ke Lampung demi karier. Dan ini fotomu bersama istri dan anakmu." Nenek Minah memperlihatkan lagi foto lainnya. Hendry memeluk pundak istrinya sedangkan Cindy berdiri di tengah-tengahnya. Hendry tersenyum melihat foto itu.
"Selang dua tahun kemudian lahiriah seorang
anak perempuan lagi. Lalu kau berikan nama kepada anakmu yang kedua itu Zahra. Dan ini
fotonya di waktu masih bayi." Nenek Minah memberikan foto Zahra kepada Hendry. Dan lelaki setengah tua itu memperhatikan dengan teliti.
Matanya segera berpindah kearah Zahra yang seiak tadi duduk memperhatikan ayahnya.
Tatapan mata mereka saling bertemu lantas Zahra tersenyum kepada ayahnya. Dahi lelaki itu berkerut seketika. Agaknya selama ini dia hanya mengenal Zahra bukanlah sebagai anaknya. Nama Zahra sering didengarnya. Dia pun sering memanggil nama Zahra namun saja belum tahu siapa sebenarnya Zahra itu.
Maka dengan keterangan yang diberikan nenek Minah ini sedikit banyak dapat merobah alam pikiran Hendry. Secara paksa dia harus bisa menemukan daya tangkap seperti semula. Dalam keadaan yang masih bimbang dan ragu nenek Minah memperlihatkan lagi foto ulang tahun Cindy dan Zahra. Kedua gadis yang sedang berulang tahun itu kelihatan cantik-cantik. Roti ulang tahun yang tertera tulisan selamat ulang tahun yang ke empat belas buat Cindy, berdiri megah di atas meja. Waktu itu Cindy baru saja menyelesaikan bangku sekolah dasar.
"Inilah Cindy...bahwa dia adalah anakmu. Begitu pula Zahra. Kedua gadis ini masih darah dagingmu, Hendry." Kata nenek Minah meyakinkan kenyataan dengan apa yang dilihat oleh Hendry.
"Jadi... Cindy dan Zahra... adalah anakku mak?" Tanya Hendry tampak bingung.
"Yah... mereka itu adalah darah dagingmu." Jawab nenek Minah.
Kedua mata Hendry menatap berganti-ganti dari Cindy berpindah ke Zahra. Pancaran mata lelaki itu tidak lagi hampa seperti tadi. Tidak pula sehampa hari-hari yang telah berlalu. Tetapi kini penuh makna dan jawaban. Hati Cindy dan Zahra bergetar perasaan iba. Lambat-lambat perasaan kasih sayang mulai dirasakan oleh Hendry.
Begitupun kesedihan menusuk-nusuk kalbunya. Kedua mata Hendry semakin lama semakin berair. Berkaca-kaca penuh keharuan melihat kedua anaknya.
"Peluklah kedua anakmu itu Hendry. Mereka masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian darimu. Mereka sudah lama tersiksa oleh siksaan batin yang tak ada tempat untuk mengadu. Kasihanilah mereka." Ucap nenek Ijah parau.
Hendry mengangkat kedua tangannya perlahan-lahan hingga terentang. Lelaki itu telah siap menerima pelukan kedua anaknya. Tanpa membuang waktu lagi, Cindy dan Zahra sama-sama memeluk ayahnya.
"Ayah!." Pekik Cindy yang hampir berbareng
dengan Zahra.
Kedua anak gadis itu tersimpuh didalam pelukan seorang ayah yang selama ini telah melupakannya. Serentak tangis kedua gadis itu tak dapat lagi dibendung. Bagaikan air bah semua kesedihan tertumpah dalam tangisnya. Di sinilah baru mereka dapat melepaskan semua tekanan batin. Dari belaian seorang ayah sedikit banyak mengurangi beban derita yang mereka rasakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments