Bunga mawar di taman sudah sepekan mulai menampakkan kuncupnya. Begitupun pohon flamboyan di halaman samping rumah bunganya semakin banyak tumbuh di ranting-rantingnya.
Sebelumnya apa yang dirasakan oleh Cindy tidaklah seperti sekarang ini. Keindahan begitu terasa menyusup kedalam kalbunya. Sebab dia telah merasa terlepas dari belenggu siksaan yang amat kejam. Baginya sekarang kebebasan itu bukan berarti kebahagiaan.
Pagi itu Cindy baru saja membersihkan tempat tidurnya dan kemudian merapihkannya. Sinar matahari pagi menyusup masuk melalui jendela kamarnya yang terbuka. Bahkan Cindy selesai merapikan tempat tidurnya, berdiri di jendela sambil menatap sang matahari. Kehangatan sinarnya menyentuh kulit wajah Cindy yang cantik dan mulus itu, seulas senyumnya yang manis terukir menantang sinar matahari. Seolah-olah dia bercumbu kehangatan seperti ketika Rangga membelainya sayang.
Benarkah pagi ini bagiku merupakan pagi yang mulai membuka lembaran baru dalam hidupku? Benarkah semua penderitaan itu tak akan datang kembali seperti waktu yang lalu? Kekalkah jalinan cintaku yang selama ini menggelora dalam batinku? Ooooh Rangga, seandainya kau dapat memiliki diriku, betapa berartinya sepanjang sisa hidupku, tetapi mungkinkah kau dapat menundukkan dan menyadarkan ayahku yang sekarang menderita gangguan jiwa. Dia teramat benci jika melihatku menjalin hubungan dengan lelaki mana pun. Penyebabnya tak lain adalah tekanan jiwa yang selama ini melihat dan mendengar diriku selalu disiksa oleh Romeo. Di samping hancurnya perusahaan yang dirintis sejak aku masih kanak-kanak. Dia jadi beranggapan semua lelaki yang mencintaiku mempunyai maksud buruk.
Rintihan hati sedikit banyak membangkitkan keresahan yang mulai muncul lagi dalam dirinya. Dia merasa takut kehilangan Rangga. Jika lelaki itu mudah putus asa, sudah pasti akan meninggalkan dirinya. Sambil memandang bunga flamboyan yang mesrah menghiasai ranting-ranting, helaan nafas panjang sayup-sayup terdengar melalui hidungnya.
Langkah-langkah lunak memasuki kamar itu. Dan seorang perempuan setengah baya sudah berdiri di dekatnya. Perempuan itu tak lain adalah ibunya.
"Apa yang kau lamunkan Cindy?" tegur ibunya lunak.
Cindy sedikit tersentak karena tidak melihat kedatangan ibunya. Maka dia menoleh ke belakang sambil menyembunyikan keresahannya.
"Cindy tidak memikirkan apa-apa bu." sahut Cindy datar.
Perempuan itu mencoba tersenyum meski hatinya gundah gulana. Sebetulnya yang tersimpan di dalam hati dan perasaan perempuan itu sangat menyedihkan. Namun sifatnya yang senantiasa menunjukkan kesabaran dan ketabahan menunjang penderitaan tanpa ada orang lain yang tahu.
"Bagaimana kabar ayah di rumah bu?" Tanya Cindy.
"Masih seperti biasa." Jawab Ibunya.
"Tidak ada perubahan?" Lanjut Cindy.
Perempuan itu menganggukkan kepala. Sedang Cindy menghela nafas panjang.
"Aku senantiasa bingung bila memikirkan keadaan ayah. Bagaimana pun juga aku tak sampai hati untuk memasukkan ayah ke rumah sakit gila. Dia amat sengsara bila harus bertinggal di sana. Seperti halnya kita yang melihat keadaan yang terkurung merasa lebih tertekan perasaan." Tutur Cindy dalam keluhan.
"Sebaiknya kita berkumpul bersama lagi Cindy" lanjut Ibunya kembali.
"Maksud ibu serumah lagi?," tanya Cindy.
"Yah" jawab ibunya singkat.
"Itulah kemungkinan yang sedang saya pikirkan ibu. Tapi saya rasa ayah tidak mau tinggal di rumah ini." Terang Cindy.
"Pendapatmu tak bisa disangkal lagi anakku." Balas ibunya.
Cindy tercenung beberapa saat. Dan perempuan setengah tua itu berbuat yang sama. Masa lalu telah meninggalkan kenangan buruk yang menyerupakan bayangan menakutkan bagi keluarga Cindy. Rumah mewah dan mobil peninggalan Romeo sedikit banyak melukiskan kepribadian yang sudah ternoda hitam.
Cindy memegangi kepalanya yang tiba-tiba dirasakan berat. Sebab dia masih ingat sebelum pulang dari rumah sakit pihak kepolisian sempat mengusut semua perkara yang tersembunyi di balik kenyataan.
"Perasaan Cindy mengatakan jika kita tinggal di rumah ini tidak akan lama lagi bu." Gumam Cindy lesu.
"Kenapa demikian nak?" Tanya ibunya.
"Tak lama lagi pihak kepolisian akan mengusut semua perkara mas Romeo. Dan pasti aku akan tersangkut pula. Rumah ini pun pasti akan di sita oleh negara." Jelas Cindy.
"Oooooh..." Keluh panjang perempuan itu.
"Mudah-mudahan saja hal itu tidak akan terjadi bu." Kata Cindy menghibur keresahan hati ibunya.
"Lantas apa usahamu selanjutnya Cindy?" Tanya ibunya lagi.
"Hanya mengharap kemurahan Tuhan atas
belas kasih NYA. Kita pasrah kepada NYA." Ucap Cindy dan bersamaan dengan selesainya ucapan Cindy, terdengar suara bell rumah berdering. Ada perasaan cemas yang bercampur dengan bahagia bercokol di dalam dada Cindy. Siapa gerangan yang datang? Demikian pertanyaan ketika Cindy berjalan menuju kepintu. Tentu saja bila Rangga yang datang hatinya bermadu. Tetapi kalau selain dia, ah... apa yang akan terjadi? Maka Cindy sambil berjalan diiringi pertanyaan yang membingungkan.
Dia sadar sepenuhnya jika penderitaannya belum berakhir sampai di situ. Sebelum Cindy membuka pintu dia mencoba untuk melongok melalui jendela kaca siapa gerangan yang datang. Ah. detak jantungnya mendadak berubah cepat sekali. Wajahnya dalam sekejap sudah berubah pucat dan sekujur tubuhnya gemetar ketakutan. Yang datang ternyata bukanlah Rangga melainkan dua orang polisi berpakaian dinas.
Cindy dengan tangan gemetar membuka pintu rumah. Dua orang polisi itu menganggukkan kepala.
"Selamat pagi nyonya." Ucap salah seorang polisi itu.
"Se...selamat pagi." Sahut Cindy bergetar.
Salah seorang polisi itu menyerahkan sepucuk surat kepada Cindy.
"Dalam waktu seminggu lagi nyonya diharus menghadap ke sidang pengadilan." Kata polisi itu.
"Ba...baik pak " Tergagap jawaban Cindy.
"Permisi nyonya." Kata polisi lagi.
"Ya...ya." Jawab Cindy.
Cindy langsung menutup pintu rumahnya ketika kedua polisi itu belum jauh meninggalkan teras rumahnya. Cepat-cepat di sobeknya surat panggilan itu dan dibacanya. Oooooh Tuhan, seminggu lagi aku harus menghadap ke meja sidang. Dan untuk selama ini diriku masih dalam pengawasan yang berwajib. Lalu apa yang harus aku lakukan di depan hakim? Apa pula yang harus kujawab setiap pertanyaannya? Sudah jelas ayah akan tersangkut dalam perkara ini. Tuhan tolonglah kami. Rintih Cindy dengan setitik air mata yang jatuh ke pipinya.
Ibu Cindy terhenyak ketika melihat anaknya menangis sambil memegang sepucuk surat. Perempuan itu lantas berjalan mendekati anaknya.
"Apa yang telah terjadi Cindy?" Tanya perempuan itu sendu.
"Dua orang polisi telah datang kemari dan memberikan surat panggilan. Minggu depan aku harus menjalani sidang perkara Romeo ibu." Kata Cindy dengan berlinangan air mata.
Perempuan itu langsung memeluk anaknya dan turut menangis.
"Oooh anakku...apa gerangan yang akan menimpa dirimu nak. Betapa malangnya nasibmu." Ucap perempuan itu tersedu-sedu.
Cindy membenamkan kepalanya di dalam pelukan ibunya. Hanya dialah tempat buat mengadu semua penderitaannya. Dan perempuan itulah yang senantiasa mau mengerti perasaannya.
"Ibu kalau toh nasib dan penderitaan isi hanya Cindy yang mengelami bukan soal lagi. Tetapi akan menyangkut juga diri ayah. Sedangkan keadaan ayah sangat perlu dikasihani." Ucap Cindy menjelaskan.
"Lalu apa yang akan kau lakukan Cindy?" Tanya Ibunya.
"Hanya satu harapanku ibu. Semoga Rangga bisa menolong kita" balas Cindy.
"Yah... melihat sinar matanya dia sangat mencintaimu Cindy." Balas Ibunya.
"Aku percaya bahwa Rangga bukanlah lelaki pengecut ibu." Ucap Cindy.
"Aku akan selalu berdoa agar kau selamat anakku." Lanjut ibunya lagi.
Kedua insan yang dirundung malang ini saling berpelukan erat-erat. Tangan perempuan itu membelai rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. Kenapa semua penderitaan ini harus menimpa dirimu sayang? Seharusnya hal ini tak boleh terjadi atas dirimu. Rintih perempuan itu sambil membimbing anaknya yang menangis tersedu-sedu ke kamar.
***
Sejak Cindy menerima surat panggilan dari kejaksaan, wajahnya jarang terukir senyum manisnya. Dia lebih sering bertopang dagu dan termenung seorang diri. Tempat untuk meminta perlindungan dan pertolongan tak lain adalah Rangga. Maka di senja itu Cindy mendatangi rumah Rangga. Selama Cindy memegang kemudi mobil hampir kurang konsentrasi. Dan nyaris dia menubruk penjual somay. Hanya yang dapat didengar caci maki si penjual somay itu. Dan di tikungan jalan yang hampir-hampir di rumah Rangga, Cindy nyaris menubruk arak kecil ketika akan menyeberang. Ooooooh kenapa bisa begini? Keluh Cindy dengan detak jantung memburu.
Dengan diliputi pula perasaan cemas. Perasaan ketakutan. Setelah mobilnya berhanti di depan rumah Rangga, dia mencoba untuk melapangkan dadanya yang sesak.
Mencoba antuk memulihkan alam pikirannya supaya jernih. Sebab tanpa pemikiran yang jernih, tiada mungkin dia dapat menjelaskan duduk perkaranya kepada Rangga. Untuk beberapa saat Cindy masih duduk terpekur di belakang stir. Rangga ketika melihat mobil Cindy berhenti di depan rumah bergegas menghampirinya. Lelaki itu merasa heran melihat sikap Cindy yang aneh. Apa yang dilakukan gadis itu? Duduk termenung dibelakang stir dengan raut muka yang pucat.
Rangga menegur Cindy sambil bergurau. "Hai Cindy, kenapa tidak langsung turun? Apakah pantatmu pegal?" Cindy tersentak dan memaksa untuk tersenyum.
"Oh ya, aku hampir lupa." Cindy lalu beranjak turun dari dalam mobil dan menghempaskan pintunya. Mereka berdua lantas berjalan bersisian menuju ke paviliun.
Rangga mengajak Cindy duduk di teras paviliun. Udara senja yang berhembus dan membawa aroma segar bunga taman di depannya cukup menambah romantis suasana.
"Kau nampak murung dan sedih Cindy. Kenapa?" Tanya Rangga.
"Terlalu berat bagiku untuk menghadapinya Rangga." Balas Cindy.
"Boleh aku tahu?" Tanya Rangga.
Cindy tertunduk beberapa saat. Kesedihan tertera jelas melalui kerut keningnya. Dan di mata gadis itu mengambang butiran air bening yang berkilau-kilauan.
"Kenapa kau diam saja Cindy?" Tanya Rangga kembali.
"Maukah kau menolong diriku Rangga?" Cindy balik bertanya.
"Bagaimana aku bisa menolongmu apabila belum tahu duduk masalahnya. Katakanlah terus terang Cindy. Bukankah di antara kita tidak ada kabut misteri lagi?" Balas Rangga.
Cindy menganggukkan kepala mantap. Matanya yang berkaca-kaca menatap wajah Rangga dalam-dalam.
"Kau menangis Cindy? Katakanlah apa yang telah menyiksa perasaanmu. Masih ragukah kau dengan cintaku?" Ucap Rangga meyakinkan.
"Rangga... kemelut telah datang lagi. Sanggupkah kau melepaskan diriku dari kemelut itu?" Desah Cindy menyayat.
"Kau harus mengatakan terlebih dahulu persoalannya Cindy. Percayalah kepadaku, tanpa dirimu hidupku tak akan berarti lagi." Balas Rangga.
"Rangga... minggu depan aku harus menghadap sidang pengadilan untuk menyelesaikan perkara Romeo. Lantas apa yang bisa kuperbuat Rangga? Sedangkan ayahku pasti akan tersangkut pula dalam perkara ini." Jelas Cindy.
"Tenangkanlah hatimu Cindy. Kau harus percaya dengan keadilan Tuhan. Siapa yang bersalah pasti akan mendapat imbalan yang pantas. Bila kau tidak pernah melakukan kesalahan, Tuhan pun tidak akan menghukummu." Terang Rangga.
"Tetapi ayahku..." Ucap Cindy.
"Cindy, sudah kukatakan kepadamu bukan, terimalah kenyataan yang terjadi apabila ayahmu turut menanggung perkaranya." Jelas Rangga.
"Tapi aku tak tega Ngga." Balas Cindy.
"Yah apa boleh buat. Semoga saja ada jalan
lain yang bisa menyelesaikan ayahmu. Aku akan membantumu dengan sepenuhnya Cindy. Percayalah, bila kau tak berbuat salah pasti usahaku tidak akan sia-sia. Dan kau tak perlu takut-takut untuk mengutarakan apa yang telah terjadi. Hakim akan bisa membandingkan perkara. Semoga saja Tuhan memberikan kemurahan atas dirimu." Rangga berkata sembari membelai rambut Cindy dengan penuh kasih sayang.
Dia sangat terharu melihat permainan nasib Cindy yang selalu terbelenggu oleh siksaan batin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments