Keesokan harinya Rangga duduk seorang diri di ruang paviliun. Bunga-bunga yang tumbuh di taman kelihatan segar dan indah-indah warnanya. Tapi keindahan wama bunga yang sejuk di pandang mata bukan lagi dirasakan oleh Rangga. Kalau sebelumnya dia sangat senang kepada bunga-bunga itu, tapi sementara ini pikirannya sedang di balut keresahan yang belum menemukan duduk persoalan yang sebenarnya. Dia masih diliputi tanda tanya besar, siapakah sebenarnya lelaki itu.
Belum lama Rangga bertanya-tanya dalam hati, tiba-tiba terdengar klakson mobil. Dan sebuah mobil Honda civic berwarna biru muda berhenti di depan pintu halaman. Rangga bergegas bangkit karena dia tahu yang ada di dalam mobil itu adalah Cindy.
Gadis yang mengenakan gaun violet muda dengan hiasan bunga putih dan merah nampak segera turun dari mobil. Rambutnya yang hitam legam sebatas bahu kali ini tidak terurai, melainkan di kuncir dengan pita merah. Di mata Rangga Gadis itu nampak lebih keibuan, Rangga tersenyum kepada gadis itu, tapi balasan Cindy cuma tatapan mata yang sendu. Ah, matanya itu alangkah murungnya. Apa sebenarnya yang tersimpan di dalam perasaannya, hingga kecerahan pada pantulan wajahnya yang anggun dan cantik begitu suram. Rangga menghembuskan nafas berat sampai Cindy dekat dengannya.
"Aku ingin berbicara kepadamu, Rangga," kata Cindy lirih.
"Ayo masuk dulu." Ajak Rangga. Tetapi gadis itu menolak.
"Kita berbicara jangan di sini Ngga, kita cari tempat yang tenang dan cocok." Ucap Cindy kemudian.
"Baik" Sahut Rangga.
Lantas mereka berdua berjalan ke mobil. Cindy membawa Rangga ke tempat biasa mereka memadu kasih. Selama dalam perjalanan menuju ke pantai gadis itu lebih banyak diam. Namun di hati mereka berbicara masing-masing.
Sampai mobil berhenti di tempat parik dan mereka berdua jalan berdampingan di pesisir pantai, masih juga saling membisu. Seperti angin yang bertiup membisu. Seperti batu-batu di pinggir pantai yang di jilat air laut tetap diam saja.
Setelah mereka duduk di bawah pohon mangga yang berdaun rindang, Cindy menegur Rangga lunak. "Kau tak apa-apa bukan Rangga?"
"Seperti apa yang kau lihat, aku sehat-sehat saja." Gumam Rangga.
"Kau tahu apa sebabnya aku melarangmu untuk datang ke rumah. Hanya demi menjaga hubungan kita dan keselamatan atas dirimu, Rangga." Kata Cindy datar.
"Siapakah sebenarnya lelaki itu Cindy?" Tanya Rangga.
"Dialah calon suamiku." Jawab Cindy.
"Hah?" Rangga termangu.
Cindy tersenyum hambar memandang Rangga. Sedangkan lelaki yang dipandang Cindy membuang muka dan memandang jauh ke laut yang biru.
"Kenapa sejak dulu kau tak mau berterus terang kepadaku, Cindy " Gumam Rangga terlalu kecewa.
"Karena banyak hal yang tak kuinginkan di dalamnya Rangga." Balas Cindy.
"Maksudmu?" Tanya Rangga.
"Aku tidak mencintai lelaki itu." Balas Cindy.
"Kenapa masih juga kau jalani, jika kau tak mencintai? Berarti kau menyiksa, dirimu sendiri. Kau masih mempunyai harapan buat memperoleh kebahagiaan dengan orang lain." Tandas Rangga setengah mencibir melihat kelemahan Cindy. Sebab dia tahu Cindy memiliki kelebihan banyak dari pada dirinya. Kenapa mesti harus menikah dengan pria tua. Banyak pemuda kaya yang akan jatuh cinta kepadanya.
"Orang tuaku terlalu silau dengan harta yang akhirnya menjadi gila. Akulah yang menjadi korban atas permainan nasib." Kata Cindy dalam keluh.
"Kau masih bisa menolak. Kau masih bisa menentang kehendak orang tuamu jika kau tahu bakal membuat dirimu menderita. Alasan masih belum dapat kuterima dengan kenyataan Cindy." Gadis itu tertunduk dan matanya di rasa hangat, Debur ombak di pantai mengusik ketenangan alam sekeliling pesisir pantai yang begitu indah membuat hati Cindy bertambah sedih, kenapa keindahan dimasa remaja harus berakhir dengan penyesalan? Kenapa pula takdir telah menentukan harus hidup di sisi seorang lelaki yang tak dicintai?
Ooooh, alangkah kejam kehidupan ini.
Alangkah pahit yang disuguhkan realita dari orang tuanya dimana harus menikah dengan pria tua yang tidak mempunyai perasaan. Tidak mengenal sama sekali halusnya perasaan seorang wanita. Begitulah penyesalan yang bertumpuk di dada Cindy. Gadis itu sejak tadi masih membisu, cuma kedua matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Itu terserah pendapatmu Rangga. Kalau kau tetap beranggapan bahwa aku terlalu menyerah kepada nasib." Ucap Cindy lirih.
"Jadi selama ini kau menganggap diriku hanya teman pemuas kesepianmu, begitu ya?" Rutuk Rangga.
Gadis itu tidak dapat memberikan jawaban, diam tertunduk. Rangga semakin ditekan perasaan kecewa.
"Alangkah kejamnya kau... terkutuklah kau Cindy," desah Rangga setengah memaki.
"Ucapanmu menyakiti hatiku Rangga. Pada hal kau belum tahu kejadian yang sebenarnya. Aku telah menjadi korban hutang ayahku di meja judi. Berapa kau tahu hutang ayahku di meja judi?, tidak sedikit Rangga. Hampir lima puluh juta rupiah. Semua kekalahan yang diderita ayahku karena permainan curang dari teman-temannya Romeo, yang sekarang menjadi calon suamiku. Romeo adalah kepala orang perkapalan yang sering berlayar ke luar negeri. Perkenalan dengan ayahku belum lama, tapi sempat menaruh minat untuk menghancurkan usaha ayahku di bidang perkapalan. Tak tahunya Romeo hanya disewa oleh seorang pengusaha lainnya yang ingin menjatuhkan ayahku. Setiap hari memaksa ayahku untuk berjudi di tempat khusus, anehnya ayahku tak lagi bisa menolak. Romeo pengaruhnya dikalangan penjahat-penjahat perkapalan sangat besar. Karena itulah ayahku menjadi korban permainan licik. Semua yang menjadi milik kami telah habis. Usaha ayahku jatuh sampai akhirnya dia menjadi gila dan aku menjadi korban melunasi hutang ayah ku. Kau mau mengerti sebab dari diriku yang terbelenggu ini bukan Rangga?" Kata-kata Cindy yang panjang itu cukup membuat Rangga mengetahui duduk persoalan yang jelas. Sekarang dia tidak lagi menyalahkan gadis itu. Justru sebaliknya dia merasa amat kasihan.
"Aku ingin melepaskan belenggu penderitaanmu Cindy." Gumam Rangga mantap.
Matanya menatap Cindy dengan penuh semangat yang menyala-nyala. Disamping bara cinta yang menggelora di dadanya.
"Kau tak akan mampu berbuat itu Rangga." Potong Cindy.
"Katakanlah kalau aku seorang yang kaya raya dan bisa membayar hutang ayahmu, baru aku dapat menang? begitu? Lantas hidupku sebagai pengarang tak mampu memberi makan kepadamu, begitu? Kau sendiri hampir lupa dengan apa yang pernah kau ucapkan tentang nasib. Dan kau merasa senang jika membicarakan nasib. Tapi kenapa kau jadi mengelak pernyataanmu sendiri? Betapa munafiknya kau Cindy. Sekali pun setiap detik pikiran manusia dapat berubah. Tapi yang penting faktor kepercayaan diri menunjang segala bentuk ketidak pastian. Bukankah di atas dunia ini segala sesuatunya bisa terjadi kalau Tuhan menghendakinya?" Kata Rangga hampir menghentikan denyut jantung Cindy. Dia seperti di hadapkan pada sesuatu tantangan yang sangat membutuhkan kepercayaan untuk bisa menang. Dan sebetulnya kemenangan itu sangat mudah untuk didapat, karena dia tahu siapa sebenarnya Romeo itu. Tapi dia takut untuk di dapat, karena dia tahu siapa sebenarnya Romeo itu. Tapi dia takut untuk membuka kedok lelaki itu dengan siapa pun termasuk ayahnya sendiri. Kekayaan yang di dapat Romeo sekarang tidak lain dari hasil perampokan yang dilakukan terhadap seorang cukong pedagang mobil di Batam. Dia tahu bahwa Romeo masih dalam pelacakan pihak yang berwajib. Maka lekaki itu jarang sekali tinggal di rumah, untuk menghindarkan diri dari ancaman hukum yang akan mengurungnya di dalam sel. Tapi kenapa Cindy takut untuk membuka kedok lelaki itu? Dia hanya memikirkan tentang keselamatan orang tuanya. Maka biarlah dirinya menjadi sandera kenyataan yang tak dikehendaki. Tapi untuk di jamah tubuhnya oleh lelaki itu, dia lebih baik mati.
Karena itulah Romeo seringkah menamparnya. Seringkah menyiksanya, seperti waktu Rangga melihatnya di kamar tempo hari. Cindy berkeras menolak untuk melayani Romeo di atas ranjang. Dan setiap hal itu akan dilakukan Romeo, Cindy menolak sehingga terjadilah pertengkaran seru.
Sampai-sampai mbok Minah merasa kasihan melihat nasib Cindy.
Tanpa terasa air mata Cindy menetes membasahi pipinya. Betapa pahit dan menderitanya kenyataan itu. Haruskah masa remajanya yang indah itu diliputi siksaan hati dan perasaan seperti ini terus menerus?. Keluh Cindy dalam hati.
"Kau selalu menggunakan senjata air matamu untuk meluluhkan hati dan semangatku Cindy. Katakanlah jika aku lelaki yang tak mampu membahagiakan hidupmu. Aku akan segera berlalu. Biarlah semua kenangan yang kau berikan ke dalam hati ku abadi selamanya.
Biarlah aku berlalu dengan membawa duka hati karena cinta yang tak kesampaian. Tapi aku telah manunjukkan. bahwa cintaku semurni air sorgawi. Bahwa cintaku ingin membahagiakan dirimu." Tandas Rangga emosi.
"Kalau kau hanya menganggap semua yang terjadi sekedar iseng, baiklah akan kuterima dengan hati gembira. Dan aku akan mundur dengan baik-baik" Lanjut Rangga kesal.
"Aku tidak pernah bilang begitu. Aku tidak aku berkata begitu. Kuharap kau mau bersabar merunggu saat yang baik Ngga. Aku percaya kita bakal menang, kita bakal bisa mewujudkan mahligai cinta." Suara Cindy di selasela isak tangisnya yang pilu.
"Lalu sampai kapan aku harus bersabar Cindy? Sampai tanggal hari perkawinanmu dengan
Romeo? begitu?. Alangkah kejamnya kau!" Desah Rangga berat.
Kesedihan yang bercampur kemurungan dengan himpitan perasaan bingung itulah Cindy. Yang dulu di jumpai Rangga ketika pertamakah amat mempesona dan anggun. Sederhana dan bersahaja, ternyata mempunyai keterikatan yang membelenggu dirinya. Rangga seperti sadar, bahwa dia tidak seharusnya lebih menyiksa perasaan gadis itu.
Maka dia lantas memeluk gadis itu penuh kasih sayang. Meneliti wajah Cindy yang cantik dalam kesedihan. Tangan Rangga membelai rambut Cindy yang mulai kusut.
"Biarlah aku tetap Rangga, seorang pengarang yang tak kesampaian cintanya. Seorang pengarang yang tak berdaya untuk mendapatkan seorang gadis cantik yang gampang sekali menangis. Yang pernah hadir di alam sorga dunia untuk menikmati manisnya madu seorang perawan. Sungguh mati aku tak dapat melupakan semua kenangan yang pemah kau berikan." Tutur Rangga.
"Rangga, bagiku kau adalah segala-galanya. Jangan kau tinggalkan aku Ngga, aku sangat membutuhkan dirimu. Bersabarlah untuk mencari kemenangan percayalah Ngga, kita pasti berhasil mendobrak kemelut ini." Jelas Cindy.
"Apa yang bisa kau harapkan atas diriku yang tak mampu berbuat sesuatu untukmu Cindy?" Tanya Rangga lunak.
"Kau mencintai aku bukan Ngga?" Balas Cindy.
"Kau masih ragu padaku Cindy?" Gadis itu menatap dalam-dalam mata Rangga. Kemudian wajahnya semakin mendekat ke wajah Rangga. Bibir Cindy yang mengulum lembut sekali.
Mereka tidak lagi saling berbincang, melainkan terbenam dalan hangatnya cinta dan nafsu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments