Cindy kembali ke Jakarta dengan di temani oleh Zahra. Kedua remaja itu seperti telah kehilangan harapan buat menempuh hari-hari mendatang. Setibanya di Jakarta Nelly menyambut kedatangan kedua anaknya ini dengan perasaan bahagia. Lebih-lebih karena rasa rindunya kepada Zahra, perempuan setengah tua itu memeluknya dengan erat sekali. Hampir kurang lebih enam tahun ibu dan anak ini tidak berjumpa. Maka sekali berjumpa perasaan mereka benar-benar bahagia. Di kelopak mata mereka masing-masing bercucuran air bening yang berkilau-kilauan.
"Zahra anakku." Gumam lirih Nelly dengan sendu.
"Ibu... Zahra rindu sekali kepadamu." Sahut Zahra terasa sesak.
"Ibu pun demikian nak. Betapa bahagi hati ibu bila kalian bisa berkumpul lagi." Ucap Nelly lalu Nelly membimbing masuk kedua anak gadisnya ke dalam rumah. Koper pakaian Zahra dibawa masuk Kedalam kamar oleh ibunya.
"Rumahmu bagus sekali kak Cindy." Kata Zahra polos.
"Kemungkinan kita tak akan lama tinggal di sini Zahra Sebab rumah ini adalah peninggalan Romeo. Semoga saja dalam sidang nanti rumah ini tidak disita oleh yang berwajib. Romeo membangun rumah ini dengan uang tak halal Zahra." Jelas Cindy pada Zahra.
"Aduh amat disayangkan bila rumah ini di sita kak." Jawab Zahra.
"Yah apa boleh buat kalau musti demikian. Kalau sampai rumah ini tidak disita akan ku jual dan kita pindah dari sini. Perasaanku tak tenang tinggal di rumah ini Zahra." Lanjut penjelasan Cindy.
"Itu memang rencana yang baik kak. Zahra akan turut berdoa semoga rumah ini tidak akan di sita." Balas Zahra.
"Seandainya hal itu musti terjadi, hidup kita akan menderita Zahra, dimana kita akan tinggal?" Ucap Cindy.
Zahra tertunduk sedih. Demikian juga Cindy. Tak lama kemudian Nelly keluar dari kamar dan menghampiri kedua anaknya yang sedang duduk termenung.
"Apa yang sedang kau pikirkan anakku?" Tanya perempuan setengah tua itu.
"Kak Cindy sedang bingung memikirkan bila saja rumah ini akan di sita. Lalu kita akan tinggal di mana ibu?." Terang Zahra.
"Tuhan maha pengasih dan pemurah anakku. Bagi hambanya yang berniat tulus dan suci selalu akan mendapat karunianya. Percayalah. Yang penting bagi kita sekarang bisa terhindar dari perkara yang menyangkut semua perbuatan Romeo. Soal tempat tinggal bisa di manapun kita inginkan." Nelly menjelaskan pada kedua anaknya itu.
"Itulah harapanku itu. Dalam hal ini Rangga pasti akan turut membantu Cindy." Cindy menimpali kata-kata ibunya.
"Nah sekarang kita pasrah saja Kepada Tuhan. Dia Lebih Kuasa menentukan segalanya. Ayo sebaiknya kalian bertirahat di kamar. Kalian tentu sangat lelah menempuh perjalanan tadi." Balas ibu mereka kembali.
Cindy bangkit dari tempat duduk yang disusul oleh Zahra. Kedua kakak beradik itu berjalan bersisian menuju ke kamar. Lalu di pembaringan mereka berdua merebahkan diri. Perjalanan yang baru saja mereka tempuh cukup melelahkan.
Padahal mereka berangkat dari kampung pagi hari dan sampai di rumah menjelang tengah malam. Tanpa pergi mandi mereka langsung beranjak tidur. Agaknya kelelahan yang mereka rasakan menyebabkan mudah sekali tertidur dengan pulas.
***
Angin senja membelai rambut Cindy. Sementara matahari yang bersembunyi separuh di balik cakrawala Onarnya merah keamanan. Rambut Cindy menjadi merah tembaga dijilati sinar matahari senja. Gadis itu melirik pemuda yang duduk di sebelahnya. Dan pemuda bernama Rangga, hanya membalas, dengan senyuman mesra.
"Kau kelihatan murung sekali Cindy?" Cindy tertunduk seraya mempermainkan kancing-kancing kemejanya. Rangga memandang Cindy dengan penuh perhatian. Perasaan iba terselip di rongga dadanya.
"Apakah usahamu berhasil Cindy ?" Lanjut Rangga. Cindy menggelengkan kepala berat.
"Ayahmu tidak bersedia memberikan keterangan?" Ucap Rangga.
"Yah." Jawab Cindy sembari menghela nafas panjang.
"Lantas apa yang akan kau lakukan?" Tanya Rangga.
"Terpaksa semua perkara kutanggung sendiri." Jawab Cindy.
Rangga menatap wajah Cindy yang sedih. Sepasang mata yang dimiliki Cindy berkaca-kaca. Rangga tahu benar jika Cindy menanggung beban perasaan yang demikian berat. Bagi Rangga apa yang harus dilakukan? Dirinya tak bisa berbuat apa-apa. "Aku kasihan melihatmu Cindy." Cindy menatap Rangga dengan linangan air mata. Lantas merebahkan kepalanya di dada bidang Rangga. Telapak tangan Rangga membelai rambut Cindy penuh kasih sayang.
"Kenyataan pahit ini harus ku teguk dengan hati tabah. Demikian juga sebagai anak harus rela berkorban demi orang tua, apa lagi ayahku tidak normal lagi." Cindy berkata dengan nada suara tercekam.
"Sebaiknya biarlah aku turut menanggung perkara ini. Bukankah aku terlibat pula? Kuharap kau mau mengerti. Demi cintaku yang suci kepadamu, akan kupertahankan jiwa dan raga untuk membelamu." Ucap Rangga lirih.
"Jangan, sebaiknya jangan Rangga. Biarkan saja semua persoalan kuseiesaikan seorang diri." Sergah Cindy.
"Itu tak mungkin Cindy. Kau akan celaka." Balas Rangga.
"Apa boleh buat Rangga. Aku tak ingin kau turut menderita." Jawab Cindy kembali.
"Tapi aku telah mengecap kebahagiaan di sela-sela yang bakal tumbuh penderitaan dan persoalan ini. Sudah selayaknya bila aku turut menanggung beban." Lanjut Rangga.
Cindy menatap dalam-dalam wajah Rangga yang pasrah. "Alangkah mulianya hatimu Rangga." Bisik dalam hati Cindy Maka sepasang mata Cindy sinar-sinar. Telapak tangannya yang halus belai rambut Rangga.
"Rangga. aku mengerti perabaanmu. Tapi saat ini jangan libatkan dirimu. Aku takut kau turut masuk penjara." Ucap Cindy.
"Itu resiko kita Cindy." Sergah Rangga mantap.
"Sudahlah Rangga." Balas Cindy.
"Aku cinta padamu Cindy " ucap Rangga tulus.
"Aku tahu." Kata Cindy sambil menghusup pipi Rangga lembut.
Wajah mereka saling mendekat dan akhirnya bibir mereka saling mengulum mesra. Kedua mata Cindy terpejam meresapi kenikmatan dicumbu sang kekasih. Sementara matahari yang semakin
tenggelam diufuk barat sinarnya tinggal meremang. Pohon kelapa yang tumbuh di pesisir pantai sedikit bergoyang ditiup angin kelam. Sepasang remaja itu bangkit dari tempat duduk dan berjalan meninggalkan pantai di kala senja terbenam meremang. Dibelahan perasaan masing-masing terlilit beban berat.
***
Proses perbal mengenai perkara Romeo telah menghadap meja sidang. Seluruh keluarga Cindy hadir dibelai sidang. Ibu Cindy selalu menangis di
sebelah Zahra. Sedangkan Rangga duduk di samping perempuan itu. Suasana di dalam ruang sidang cukup ramai. Banyak yang simpatisan dari kasus Romeo ini.
Hakim memukulkan palu di meja sidang. Berarti secara resmi sidang dibuka. Hakim membacakan tuduhan kepada almarhum Romeo yang disampaikan di depan Cindy. Di dalam tuduhan itu menyangkut ayah Cindy dan diri Cindy sendiri. Herannya Cindy tidak menyangkal semua tuduhan yang dibaca Hakim pada dirinya. Membuat Rangga jadi tersentak dan bangkit dari tempat duduk.
"Tuduhan itu tidak benar!" Teriak Rangga.
Hakim dan semua hadirin di dalam ruang sidang mengalihkan perhatiannya kepada Rangga. Suasana hening namun tegang.
"Siapa kau? dan apa hubungannya dengan kasus ini." Tanya hakim sambil melototkan mata.
Rangga berjalan mendekati hakim. Jarak antara hakim dan Rangga hanya tiga meter. Pemuda itu berdiri dengan gagah dan penuh wibawa. Cindy yang duduk di bangku seorang diri, mendadak kedua kakinya gemetaran. Jantungnya berdetak keras, tatkala melihat Rangga berdiri di depan hakim.
"Namaku Rangga. Perlu hakim ketahui jika semua kasus ini bukanlah Cindy yang bersalah. Melainkan aku." kata Rangga mantap.
Hakim tersentak. Matanya yang terlindung oleh kaca mata putih memperhatikan dalam-dalam wajah Rangga.
"Kau termasuk kaki tangan Romeo ?" Tanya hakim menghardik.
"Ya, Bahkan aku otak dari semua kejahatan yang dilakukan Romeo !" jawab Rangga tegas.
"Tidak!... itu tidak benar !" Teriak Cindy.
"Diam!." Bentak yang mulai menangis. Sekalipun dia hangat menguatkan hati dan perasaannya. Rangga bagaikan batu cadas yang kukuh menghadapi kemelut ini karena telah pasrah dengan apapun yang bakal terjadi, asalkan Cindy
terlepas d ari hukuman.
"Saya harap tuduhan yahg dilimpahkan kepada Cindy dihapus. Sebenarnya dia tidak bersalah di dalam kasus ini." Kata Rangga memecah keheningan beberapa saat.
"Kau harus bisa membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Demikian juga ayahnya." Sahut hakim tegas.
"Baik pak hakim, akan saya jelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Tujuan pokok perdagangan harus bisa melemahkan musuh
persaingan dagang, sengaja aku berniat menghancurkan usaha Ayah Cindy dengan jalan mengajak bermain judi. Bila dia menolak ajakan kami, ancaman selalu terlontar dari mulut kami.
Dan segera secara perlahan-lahan telah ku sabot
relasinya. Praktis usaha ayah Cindy semakin
bangkrut hingga akhirnya menanggung hutang
Romeo telah kutekankan supaya menggaet Cindy
sebagai isterinya, supaya kasus kami tidak
terbongkar. Namun kumohon kepada pak hakim
agar membebaskan perkara ini terhadap Cindy."
Hakim hanya tersenyum mendengar penjelasan Rangga.
"Tidak semudah itu membebaskan seseorang tanpa bukti." Sahut hakim.
"Masih belum cukupkah keteranganku pak hakim?" Ucap Rangga tegas.
"Kenapa di dalam kasus ini namamu tidak
tercantum?" Tanya Hakim.
"Karena aku berada di balik layar. Tetapi mengingat Cindy tidak bersalah, barulah aku membuka kedokku sendiri. Aku kasihan kepadanya." Jawab Rangga.
"Tetapi bukankah Cindy sudah mengakui semua perbuatannya?" tanya hakim itu mendesak Rangga.
"Karena dia hanya ingin menolong ayahnya. Disinilah aku terharu menyaksikannya. Bebankanlah semua perkara itu kepadaku dan jangan bawa-bawa Cindy." Jelas Rangga.
"Ternyata kau seorang bajingan yang berhati budiman." Ucap sang Hakim. Hakim memandang Cindy yang terisak-isak sambil menutup mukanya dengan telapak tangan.
Dia sangat terharu melihat pengakuan Rangga. Meskipun sebenarnya hal itu tidak dilakukan olehnya. Dia rela berkorban demi cinta. Alangkah mulianya hatimu Rangga, kata hati Cindy pilu.
"Bagaimana dengan keterangan saudara Rangga, Cindy?" Tanya hakim.
Cindy mengangkat kepalanya dan memandang Rangga dengan linangan air mata. Bibirnya bergetar ingin mengucapkan sesuatu namun tak terucapkan.
"Jawab dengan jujur!." Desak hakim itu.
Cindy menggelengkan kepala berat. Wajahnya sedih dan tercekam.
"Aku tidak akan membalas dendam." Kata Rangga menghardik Cindy. Walau sebetulnya perlakuannya bersandiwara cukup meyakinkan. Sehingga membuat hakim ketua menilai semua
ucapan Rangga bisa dipercaya.
"Kalau begitu saudara harus kami tahan." Kata hakim tegas.
"Itu baru adil." Sahut Rangga.
Sementara Cindy hanya dapat memekik sambil termangu di tempat duduknya.
"Ranggaaaaa!."
Pemuda yang dipanggil oleh Rangga tak menoleh sedikitpun. Semakin dililit kepiluan hati Cindy melihat keteguhan hati Rangga menghadapi semua perkara ini. Walau sebetulnya Rangga tidak melakukan apa yang diucapkan didepan hakim ketua.
"Baik, sidang kami tunda sampai besok. Saudara Rangga sejak detik ini menjadi tahanan pihak kepolisian guna diusut perkara yang sebenarnya.
Tangkap Rangga!." Kata hakim sambil memukulkan palunya di atas meja.
Dua orang polisi menghampiri Rangga dan memborgol kedua tangannya. Cindy yang menyaksikan kejadian itu tak kuasa menahan tangisnya. Begitupun ibu Cindy, perempuan itu
demikian terharu melihat pengorbanan Rangga demi kebebasan Cindy.
Rangga segera dibawa ke kantor polisi. Wajah pemuda itu tetap cerah dan tegar, seolah-olah menerima kenyataan itu dengan pasrah. Langkah kakinya yang mantap menuju ke mobil polisi.
Sementara itu Cindy memeluk ibunya sambil menangis pilu. Dia menangisi pengorbanan Rangga.
"Ibuuuuuu... tak kusangka bila Rangga mengorbankan dirinya demi kebebasanku. Aku tak sampai hati menyaksikannya." Ucap Cindy dengan air mata yang berlinang membasahi pipinya.
"Dia seorang pemuda yang berhati mulia anakku. Ibu percaya jika cintanya kepadamu tulus dan suci." Sahut ibu Cindy dengan nada suara sedih.
Zahra yang turut menyaksikan kejadian itu hanya dengan nada suara sedih. Zahra yang turut menyaksikan kejadian itu hanya bisa menangis. Cindy dibimbing oleh ibunya keluar dari ruang
sidang. Langkah kakinya demikian lesu dan lemas ketika meninggalkan tempat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments